Author: NopIpon23
Title: My story is true
Rating: G
Cast: Temukan sendiri
Genre: Apalah-apalah
Warning!!!
Sebelumnya, ini merupakan pengalaman pribadi yang saya tulis. Ada sedikit perubahan demi tersajinya tulisan ini. Namun secara keseluruhan adalah kebenaran.
NO FICTIF!!!
Typo bertebaran, yes!!
Selamat membaca-->>
Pagi. Ketika ayam jago belum berkokok, suasana pun masih sangat hening dengan gelapnya langit yang belum tersinari oleh cahaya matahari, aku sudah terbangun dari tidur lelapku untuk memulai aktivitas. Mungkin sebagian orang mengatakan jika itu masih malam hari, tetapi bagiku, jika waktu menunjukkan lebih dari pukul 3.00 am, aku nyatakan itu sudah pagi.
Jangan salah paham!
Aku bangun jam 3 pagi bukan karena aku anak yang rajin, tetapi justru sebaliknya. Semua pekerjaan dan tugas sekolah aku kerjakan saat bangun tidur. Entahlah, kalian menganggapku malas atau rajin, terserah kalian.
Seperti pagi ini. Aku lantas membuka kelopak mataku yang terasa berat ketika mendengar suara ayam berkokok dari jam beker yang selalu bertengger rapih di atas sebuah meja kecil di samping kanan kasurku. Aku melirik setumpuk buku tulis di atas meja belajar, yang berada tepat di depan pojok kanan kamar tidurku yang cukup luas. Sengaja aku letakan meja belajar itu disana agar setiap aku bangun tidur dan membuka mata, langsung tertuju pada buku tugas yang sedikit berserakan dan menumpuk di atas meja itu.
Dengan pijakan kedua kakiku di lantai, aku melangkah tanpa berniat membuka kelopak mataku yang terasa dilem begitu kuat. Seakan sudah hafal betul lekuk demi lekuk sudut ruangan, dengan mudahnya aku berjalan menuju kamar mandi. Membasuh wajah saja sudah cukup, urusan mandi lain waktu.
Sekitar pukul 05.30am, aku berhenti mengerjakan tugas tanpa memperdulikan selesai atau tidak. Dalam pemikiran otak kecilku, yang penting sudah berusaha, hasil adalah bagian akhir. Baru setelah itu membersihkan diri dan melaksanakan kewajiban sebagai seorang muslim yaitu shalat subuh. Aku seorang gadis berusia 15 tahun yang beragama islam. Indonesia. Itulah nama sebuah negara yang ku anggap tanah air ku.
Setelah dirasa sudah siap, aku bergegas berangkat menuju tempat dimana aku menuntut ilmu dan belajar disana. Dengan jilbab putih yang menutupi rambutku, ditambah seragam sekolah yang sedikit kebesaran hampir menutupi seluruh tubuhku terkecuali telapak tangan, sudah menjelaskan bahwa aku adalah seorang muslim. Dengan kepribadianku yang sedikit menutup diri, membuat orang lain menyebutku anak pendiam atau anak rumahan. Entahlah, apa sebutan itu pantas aku dapatkan?
Sejak kecil, aku sudah terbiasa sendiri. Orang tua yang cenderung sibuk dan kakak yang usianya terpaut jauh denganku, membuat kami berbeda pemikiran dan itu membuat kami terasa berada di dunia yang berbeda. Bahkan, hampir aku tidak mengenali mereka sebagai keluargaku dan justru orang lain yang dekat denganku-lah yang aku anggap sebagai keluarga.
Tapi entah bagaimana prosesnya, aku selalu mendapat peringkat di kelas. Bahkan tak jarang mengikuti lomba dan mewakili sekolah dalam berbagai kejuaran tingkat kecamatan. Bisa membaca dan menulis pun aku tak tahu awalnya bagaimana. Sampai tingkat SMP pun sama. Dengan rasa malas yang begitu erat dalam diriku, aku bingung dengan semua prestasi itu.
Hari ini. Seperti biasa, setiap hari aku berangkat sekolah, berharap mendapat secuil ilmu yang bisa berguna bagi masa depanku kelak. Akan tetapi, lagi-lagi aku merasakan sesuatu yang aneh. Aku mengerjakan sesuatu hanya sekedar menganggapnya sebuah kewajiban. Sama halnya dengan sekolah. Salah satu kewajibanku adalah belajar bukan? Sebagai seorang muslim juga aku mempunyai kewajiban mengerjakan shalat. Setiap hari, shalat lima waktu berusaha aku kerjakan. Tetapi, entahlah, aku bingung. Aku merasa seperti mengerjakan shalat ya hanya mengerjakannya saja. Berangkat sekolah pun sama, ya hanya sekedar berangkat saja.
Setiap yang aku lakukan bukan berarti tidak mempunyai tujuan. Tujuan tentu selalu ada. Mengerjakan shalat agar masuk surga. Sekolah untuk mencari wawasan dan mempelajari ilmu pengetahuan. Aku mengetahui tujuan dari setiap perbuatan yang aku lakukan. Tapi anehnya, perasaan seperti ini selalu muncul, perasaan yang membuatku merasa tidak tenang. Perasaan yang aku pun tidak mengerti, susah dijelaskan dan membuatku merasa kacau dari hari ke hari.
Aku pergi ke sekolah selalu bersama dengan kedua temanku, seorang teman lama yang kembali menjadi dekat karena satu sekolah lagi walaupun berbeda jurusan. Sesampainya disana, aku harus kembali menunggu mereka. Menunggu menurutku sesuatu yang sangat menjengkelkan, selain menguras emosi, menunggu juga menguji kesabaran. Sebuah senyuman selalu aku lontarkan, berbanding terbalik dengan rasa kesal yang menggelutiku. "Iya, tidak apa-apa." kalimat itu dengan mudahnya keluar dari mulutku dengan mengabaikan perasaan yang sesungguhnya.
Munafik. Salah satu sifat tercela yang tanpa sadar selalu hadir dalam diriku. Demi kebaikan dan rasa tidak enak hati pada seseorang, membuat sifat munafik itu selalu muncul tanpa aku sadari. Bermodal sebuah senyum palsu, dengan seringnya aku menciptakan sifat tercela itu dalam diriku sendiri. Beralasan demi sebuah kebaikan, aku justru menjerumuskan diriku sendiri ke dalam sebuah lubang yang akan menuntunku ke salah satu pintu neraka.
Ketika aku sampai di depan kelas, tepat diambang pintu, aku dikejutkan oleh 'sosoknya' yang sedang berdiri tegap tak jauh dari tempatku berpijak. Sosoknya yang entah sejak kapan menjadi media pengetes jantungku. Setiap melihat sosoknya, jantungku selalu berdegup kencang. Apa kalian pernah menaiki wahana 'ombak banyu' di pasar malem? Aku rasa kurang lebih seperti itu rasanya.
Dengan jarak yang cukup dekat, sosok itu berjalan mendekat. Bukan menuju ke arahku, melainkan melewatiku dan berjalan menuju seorang gadis yang berdiri tepat di belakangku. Sebut saja gadis itu Mawar. Aku menoleh dan menatap sosoknya sekilas, seulas senyum di pagi hari terukir cukup manis di sudut bibirnya. Begitu mirisnya mengingat senyuman itu tersaji bukan untukku, melainkan untuk orang lain yang berstatus sebagai teman baruku.
Setidaknya aku bisa melihatnya tersenyum, itu sudah cukup untukku. Aku tidak boleh berharap lebih dari itu. Tidak boleh. Aku kembali melangkah meninggalkan dua insan itu yang saling melempar senyum di pagi hari.
Aku meletakkan tas berwarna pink kemerah-merahan itu. Meraih buku tulis berisi tugas yang belum selesai aku kerjakan. Dengan segenap kemampuanku, secepat mungkin aku menyelesaikannya.
"Ngerjain apa, Pon? Ada tugas tah?" tanya Mawar yang duduk di samping kananku, tetapi bukan satu bangku. Ada jarak yang dijadikan jalan diantara kami.
"Hm. Tugas PAI. Merangkum." ucapku sambil menoleh sekilas ke arahnya.
Satu detik. Dua detik. Tiga detik. Hening. Lima menit kemudian, konsentrasiku terganggu karena kehadiran 'sosoknya' di sampingku. Aku dengan ragu menoleh dan menatapnya.
"Bayar name tag." ujarnya datar.
Ayolah! Berharap apa aku ini?
"Ini. 22ribu 'kan?"
Ia hanya mengangguk kecil. Melangkah pergi tanpa sepatah kata pun. Aku tersenyum kecut dan kembali melanjutkan kegiatan yang sebelumnya terbengkalai.
Pelajaran pertama dimulai. Sebelum dimulai, kami semua berdiri, menyanyikan lagu wajib nasional dan satu lagu daerah. Mengingat negara, Indonesia, sebuah negara besar yang masih tetap berkembang tanpa ada kemajuan. Justru semakin terbelakang dan tertinggal oleh negara lain. Cinta tanah air. Tentu saja kata itu tertanam kuat di dalam hatiku. Ada keinginan kuat untuk membangun tanah air sendiri yaitu Indonesia.
Tetapi zaman terus berkembang, tidak menutup kemungkinan ada rasa kagum terhadap negara lain yang membuatku seolah-olah mengeyampingkan negara sendiri. Sejak dibangku SMP, aku menyukai dunia k-pop. Empat tahun sudah aku menjadi seorang k-popers. Apapun yang berbau Korea selatan selalu membuatku bersemangat. Pelajaran IPS yang sangat tidak aku sukai dan membuat mataku selalu terasa lebih berat, lain halnya ketika materi tentang perekonomian dunia. Materi itu selalu membuatku bersemangat, apalagi ketika negara k-pop itu dibahas, seulas senyum terukir tanpa sebab memikirkan sang idola yang bertempat tinggal disana.
Ibu guru bahasa indonesia mulai memberikan materi menggunakan infokus. Beberapa murid perempuan berteriak, aku lantas mendongakkan kepala yang sedari tadi ku tekuk. Mataku membulat, "Kim Woo Bin?!"
Sejak saat itu, aku merasa bersemangat ketika pelajaran indonesia diberikan. Dengan alasan karena ibu guru yang mengajar tidak hanya masih muda dan cantik, tetapi juga seorang k-popers yang mengaku sebagai istri Hyunbin.
Teks anekdot. Suatu cerita singkat yang menarik karena lucu dan mengesankan pembaca. Materi itulah yang sedang dibahas. Ketika sekretaris yang merupakan teman sebangku Mawar beranjak dari kursi dan menulis materi di papan tulis, sosok itu kembali melangkah menuju kursi yang kosong itu, tepat disebelah Mawar.
Mungkin perasaan yang tengah aku rasakan saat ini merupakan hal yang wajar saat menginjak usia remaja. Mengagumi seseorang yang merupakan lawan jenis sudah sering aku rasakan. Perasaan senang ketika melihat sebuah senyum dari sosok yang dikagumi dan salah tingkah saat berada di dekatnya. Semua itu adalah suatu hal yang wajar.
Saat ini, aku merasakan sesuatu yang disebut rasa cemburu. Cemburu melihat 'sosoknya' berada di dekat gadis lain. Melihatnya bersenda gurau atau hanya sekedar berbincang dengan gadis lain. Rasa kesal bergelut di hatiku, seakan-akan ingin memaki gadis lain yang sedang berada di dekat sosok yang aku kagumi itu. Tetapi yang bisa aku lakukan saat ini hanya bisa mendesah pelan. Membuang rasa kesal itu melalu udara.
Sekretaris sudah selesai menulis. Otomatis, sosok itu tersingkir dan beranjak pergi. Secercah rasa bahagia terbesit di hati. Akan tetapi, sosok itu meraih sebuah kursi yang kosong dan meletakkannya di jarak antara aku dan Mawar. Apa kalian bisa bayangkan? Kami seperti sedang berada di cinta segi tiga saja. Memperebutkan satu lelaki yang sedang sibuk menulis materi tanpa memperdulikan hatiku yang bergejolak menyadari 'sosoknya' berada di dekatku.
Tetapi, jika aku bersedia bersaing dengan Mawar, akan dipastikan aku keluar sebagai pengecut yang kalah dalam satu babak. 'Sosoknya' bahkan tak menganggapku ada dan hanya melihat Mawar. Hanya Mawar. Aku harus menyadari itu dan menerimanya.
Ketika sedang menulis materi yang diberikan, aku benar-benar merasa terganggu jika ada salah seorang mengatakan,"Ada pulpen lagi?" aku hanya bisa mendesah pelan. Dan lagi-lagi hanya bisa menggerutu dalam hati tanpa berniat mengatakannya langsung. Sebuah senyuman dengan mudahnya terulas sambil mengulurkan sebuah pulpen. Sungguh, di dalam hatiku, aku menggerutu."Niat sekolah ga sih? Beli jajanan banyak bisa, kenapa pulpen ga bisa?" karena bukan hari itu saja, keesokan harinya pun sama. Pemikiran untuk menolong sesama muncul hanya di dalam otak, tidak dengan hatiku. Selalu muncul secercah rasa kesal, entah bagaimana cara menghilangkan itu. Buruknya, perasaan itu sering sekali muncul tanpa disadari dan sudah melekat dalam diri menjadi suatu kewajaran dan kepribadian.
Shalat dzuhur selalu aku kerjakan di musola sekolah. Tentang kekhusuan, entahlah, itu suatu hal yang sulit dilakukan. Dengan kegaduhan yang ada dan begitu banyak murid lain yang menunggu giliran, membuat 'khusuk' semakin sulit saja dilakukan. Dalam keadaan tenang saja, belum tentu aku khusuk dalam shalat.
Masa remaja. Semua orang pasti mengalaminya, entah itu belum ataupun sudah. Saat ini, aku sedang mengalaminya. Masa remaja, masa dimana seseorang mencari jati diri. 'Siapa aku? Apa tujuanku? Mau jadi apa aku kelak?' itu adalah segelintir contoh pertanyaan yang muncul dibenakku sekarang. Entah apa pertanyaan yang kalian pikirkan, setiap orang pasti memiliki pemikiran yang berbeda. Bagaimana caranya menemukan jati diri, sampai saat ini masih menjadi tanda tanya besar dalam hidupku.
Tugas dan tugas selalu diberikan guru dalam setiap pertemuan, itu semua bukan suatu hal yang salah. Semua itu wajar dan justru dengan tugas-tugas tersebut membuatku lebih aktif dan memahami meteri secara keseluruhan. Dengan tugas itu, aku mengetahui seberapa jauh kemampuanku dalam memahami materi tersebut. Namun, ada kalanya merasa terbebani dengan berbagai tugas yang terus menumpuk dan justru membuatku kesal dan down seketika. Menyadari batas kemampuan sendiri, membuatku merasa tertekan dengan kemampuan orang lain yang lebih dariku. Sampai sempat terpikir olehku ingin memberontak pada lingkungan dan ingin bebas melakukan apapun. Tetapi semua itu terasa tidak mungkin dilakukan.
Suatu hari aku merasa sangat kacau, semua yang aku lakukan terasa salah dan itu membuat emosiku meluap-luap. Setiap pertanyaan dari teman, aku selalu meresponnya dengan sinis. Aku tidak mengerti dengan perubahan sikap yang terbilang sangat drastis itu. Rasanya aku ingin menangis, marah pada diri sendiri. Memaki sifat yang membuatku semakin jauh dengan jati diriku sendiri.
Kelas kosong. Tidak ada guru yang masuk untuk mengajar. Semua murid bercanda dan tertawa bersama. Bahkan, bernyanyi yang sama sekali tak ku ketahui lagunya. Berbeda denganku, aku hanya diam, meletakkan kepalaku di atas meja sambil menutupi wajahku yang muram dengan sebuah buku. Menutup mata, merenung tentang jati diri dan sifat-sifat buruk yang terus hadir dalam diriku akhir-akhir ini. Aku merasa seakan jauh dan terus menjauh dari Allah. Entahlah, aku merasa tidak tenang dan terus membayangkan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi padaku.
Beberapa saat terdiam, membuatku merasa sangat takut. Rasa takut yang muncul begitu saja tanpa aku tahu penyebabnya. Hatiku terasa sakit dan ingin rasanya aku menangis sejadi-jadinya. Aku hanya bisa beristigfar dan terus mengingat kesalahan demi kesalahan yang telah aku lakukan. Hatiku bergetar mengingat begitu banyak kesalahan yang aku perbuat satu hari ini saja. Bagaimana dengan hari yang lain? Kesalahan selama 15 tahun ini, tidak bisa aku bayangkan sebanyak apa itu, yang pasti sangatlah banyak.
Aku beranjak, melangkah menuju perpustakan tepat di samping kelas. Begitu banyak buku, tetapi yang paling menyita perhatianku adalah sebuah rak buku kumpulan novel. Aku meraih sebuah buku novel penggugah jiwa berjudul 'saat aku mengingat Tuhan'. Ceritanya biasa, sering terjadi pada kehidupan sehari-hari terutama para remaja seperti aku. Kisah tentang persahabatan yang justru membawa kita kepada hal yang salah. Yang perlu digaris bawahi adalah penulis itu menceritakan seorang gadis remaja yang tidak punya jati diri, namun pada akhirnya menemukan jati dirinya itu.
Aku lebih memilih duduk di lantai dengan punggung yang menyandar pada rak besar tempat buku-buku disimpan. Padahal, tempat untuk membaca sudah disiapkan berikut dengan meja dan kursi yang cukup nyaman menurutku. Namun, aku merasa lebih nyaman dengan duduk dilantai dengan kedua kaki yang menjulur ke depan. Toh, perpustakan masih sangat sepi karena belum jam istirahat.
"Baca apa, pon?"
Aku terkesiap mendengar suara seseorang bertanya padaku. Aku mendongak, terlihat seseorang yang cukup familiar tengah terdiam menunggu respon dariku dengan alis yang saling bertautan.
"Oh, ini. Lagi baca-baca buku novel. Ada apa?"
"Tidak. Aku hanya bosan saja di kelas. Novel apa, pon?" tanyanya sambil ikut duduk tepat di sebelah kananku. Dia adalah seorang gadis yang cukup aktif dan rajin. Tugas selalu ia kerjakan tepat waktu, tidak seperti diriku. Sebut saja dia Aan. Oh ya, namaku Novi Abdurahman. Pasti kalian ingin bertanya, nama bapaknya Abdurahman ya? Sudah basi. Hampir setiap aku memperkenalkan diri, orang-orang bertanya seperti itu.Tetapi panggil saja aku, ipon. Karena di kelasku terdapat dua nama Novi, maklum saja, nama Novi terlalu fenomenal. Jadi, untuk membedakan, aku membalikkan namaku menjadi Ipon. Baiklah, cukup sekian perkenalannya, terima kasih.
"Novel penggugah jiwa. Judulnya, saat aku mengingat Tuhan."
"Oh. Ceritanya seru?"
Aku mengangguk mengiyakan. Dengan antusias aku menceritakan garis besar cerita novel itu. Entah kenapa, aku merasa nyaman bersamanya, seolah-olah mendapat sebuah sandaraan untuk sekedar melepas letih. Bukan maksud untuk memanfaatkan atau apapun yang berbau negatif, hanya saja aku menemukan seorang teman yang bisa diajak bicara tanpa harus menjadi orang lain, cukup menjadi diri sendiri, apa adanya dan saling terbuka. Sama seperti sahabatku, sebut saja Lala. Dia seorang sahabat yang membuatku merasa nyaman melebihi saudara-saudaraku sendiri. Pemikiran kami yang sama, membuat kami merasa nyaman satu sama lain ketika bercerita.
Aku baru saja masuk bangku SMA dan belum merasa nyaman dengan lingkungan dan suasana yang ada. Termasuk pada teman-teman yang baru, mereka secara tidak langsung membuatku tertekan dengan berbagai sikap mereka yang tidak sesuai dengan sikapku.
Aku tidak tahu awalnya bagaimana, yang jelas, tanpa sadar aku menceritakan permasalahan yang aku pikirkan sejak beberapa hari terakhir. Tanpa ragu aku meluapkan semua yang aku rasa mengganjal di hati, berharap ia bisa sedikit membantu untuk menemukan jawabannya atau sekedar memberi penerangan pada gelapnya pemikiran yang terus bergelut dipikiranku.
"Sebenarnya, apa jati diri itu?"
"Menurutku, jati diri adalah kepribadian yang sesungguhnya. Bersumber dari dalam hati bukan dalam perbuatan."
"Bagaimana cara menemukan jati diri?"
"Hanya diri sendiri yang tahu. Biasanya sulit dan setiap orang itu berbeda cara. Tetapi, suatu hari nanti, kamu akan menyadarinya sendiri tanpa harus mencari tahu."
DEG!!
Hatiku bergetar mendengar setiap kata demi kata yang ia ucapkan, jawabanya itu membuatku tertegun dengan bahasanya yang lugas dan jelas. Rasanya ingin sekali suatu hari nanti aku dapat menemukan jati diriku. Jati diriku yang sebenarnya.
"Aan, apa kamu sudah menemukannya?"
Aku terdiam. Menunggu jawaban darinya. Dia tampak berfikir, dan memutar bola matanya. Seperkian detik kemudian, ia menghela napas kasar. Seperti ada sebuah kekecewaan disana, sorot matanya berubah sendu. Namun, ia kembali tersenyum dan menggeleng menatap ke arahku.
"Aku rasa belum."
"Apa pernah kamu merasa sangat kacau? Saat ini, aku merasa sangat kacau. Kau tahu, yang ada hanya emosi dan emosi. Itu sebabnya aku kesini."
Lagi-lagi tanpa sadar aku mengatakan hal yang seharusnya tak ku katakan pada orang lain. Apa boleh buat? Aku sudah terlanjur mengatakannya. Toh, tidak ada salahnya bukan? Mungkin saja setelah ini aku menjadi dekat dengannya.
"Tentu saja, pernah. Kamu kacau kenapa?"
"Entahlah, aku rasa apa yang aku lakukan semuanya terasa salah."
Untuk ke-sekian kalinya aku tertegun atas jawaban yang ia lontarkan. Ia mengatakan jika itu hanya perasaanku saja, itu tidak benar dan tidak baik. Perasaan seperti itu datangnya dari syaiton. Ia menyarankan agar aku lebih mendekatkan diri kepada Allah swt. dengan cara shalat tahajud. Shalat malam membuat kita menjadi lebih tenang dan berpasrah diri kepada Allah dengan cara bertawakal kepada-Nya. Itulah jawaban yang ia lontarkan dan berhasil menusuk-nusuk hatiku.
Penjelasannya yang terlampau panjang itu membuat hatiku bergetar, tubuhku terasa lemas, walaupun faktor lapar ikut mendominasi, tetapi ucapan Aan lebih berpengaruh. Aku merasa seakan tersindir dan seolah-olah tercekik atas ucapannya itu. Shalat tahajud, aku pernah melakukannya, tetapi disaat-saat tertentu saja. Seperti waktu menjelang UN, dengan giatnya aku bangun malam untuk shalat tahajud. Tetapi sekarang, sudah lama aku tak mengerjakannya lagi. Dikarenakan satu alasan, yaitu tidak sempat karena terlalu banyak tugas. Astagfirullah..
Aku baru saja menyadari sikap lalaiku selama ini. Sikap lalai yang membuatku menyepelekan hal penting dan menganggapnya suatu hal yang biasa. Shalat lima waktu. Suatu hal yang sangat penting untuk dilakukan, namun sering kali aku menyepelekan kewajibanku yang paling utama itu. Dengan berbagai alasan, aku selalu menunda-nunda waktu untuk sesegera mungkin mengerjakan shalat lima waktu itu. Berfikir jangka waktu shalat berikutnya masih lama, dengan begitu lalainya aku menunda dan terus menunda.
"Apa kamu setiap hari shalat tahajud?" tanyaku penasaran. Aku harap, pertanyaanku barusan tidak menyinggung perasaannya. Dengan perasaan was-was, aku menunggu jawaban darinya.
"Tidak setiap hari. Hanya sesekali, tetapi aku berusaha sesering mungkin. Karena tidak ada ruginya kita bangun malam dan menyempatkan diri untuk shalat tahajud. Justru, dengan itu kita akan merasa semakin dekat dengan sang ilahi. Perasaan itu merupakan nikmat terbesar yang aku rasakan."
Aku hanya bisa terdiam. Menatap sosok gadis remaja yang menurutku sangat luar biasa. Menatap wajahnya yang sedang menerawang ke atas, membayangkan perasaan dan nikmat yang telah ia rasakan dan mungkin, perasaan yang belum pernah aku rasakan selama ini. Gadis itu tersenyum. Berbeda denganku yang terus merasa semakin kecil dan kecil dihadapannya. Aku berpikir, sekecil apa aku dihadapan Allah sang Maha Pencipta?
Dibandingkan dengan sosok Aan saja aku merasa sangat kecil, bagaimana aku dihadapan sang ilahi? Mungkin hanya butiran debu yang kotor saja. Astagfirullah..
Begitu seringnya aku bangun malam hari, tetapi kenapa sama sekali tidak terpikir olehku untuk mengerjakan shalat tahajud, setidaknya dua rakaat. Ya Allah, aku merasa seakan-akan melupakan-Mu dan justru hanya mengingat urusan duniawi.
Rasanya aku ingin menangis sejadi-jadinya menyadari aku yang biasa-biasa saja tetapi selalu berbuat kesalahan. Seakan-akan merasa besar dengan kemampuan yang masih tidak ada apa-apanya hanya dibandingkan dengan sosok gadis remaja yang tengah duduk di sampingku saat ini.
Gadis itu beralih menatapku, menyadari binar mataku yang sedikit berair membuatnya merasa tidak enak hati. Ia menatapku sendu dengan raut wajah penyesalannya yang terlihat begitu alami, tidak dibuat-buat, dan tidak membuatku berpikir ia sok perduli atau sejenisnya.
"Kamu kenapa, Pon? Apa ucapanku barusan ada yang salah?" tanyanya khawatir dengan intonasi yang sangat pelan dan lembut. Mungkin takut jika ia salah pengucapan lagi yang bisa membuatku semakin menangis.
"Tidak. Hanya saja aku merasa sangat kecil jika dibandingkan denganmu."
"Eh? Kenapa begitu? Tidak, Pon. Aku hanya manusia biasa. Tidak sepantasnya membandingkan diri kamu dengan manusia biasa sepertiku. Aku tidak pantas."
Aku hanya bisa mengangguk dan tersenyum menatap sosoknya yang begitu mengagumkan. Bukan karena fisiknya, melainkan kepribadiannya. Mengingat kepribadian, mungkin itu adalah jati dirinya yang sebenarnya. Aku harap, aku bisa menjadi setidaknya seperti sosoknya. Aku tidak ingin berharap tinggi, cukup berusaha dan mencoba menjadi pribadi yang lebih baik.
"Pon, menurut kamu cinta itu anugerah atau ujian?"
Secara tiba-tiba, ia mengganti topik jati diri menjadi cinta. Entah apa yang terlintas dipikirannya. Aku hanya mencoba menjawab sepengetahuanku saja. Aku memutar bola mataku, menerawang dan merangkai kata demi kata yang akan dilontarkan sebagai sebuah jawaban.
"Menurutku ujian, yaitu melawan hawa nafsu. Karena perasaan cinta yang hadir pada saat yang tidak tepat akan berakibat buruk. Contohnya pada masa remaja seperti kita." jawabku penuh kehati-hatian disetiap katanya.
Dia tak merespon. Mungkin sama, sedang merangkai kata. Alisnya yang bertaut, menandakan ia sedang berpikir keras untuk menanggapi jawabanku barusan. Semoga obrolan ini tak berakhir dengan debat yang berujung pada konflik. Semoga saja.
"Apa kamu tak pernah merasakan perasaan cinta?"
Eh? Pertanyaan macam apa itu? Hubungan kita belum mencapai batas itu! Dikatakan berteman saja masih ragu. Tentu saja, aku ragu menjawab pertanyaannya, karena terlalu privasi dan bersifat sensitif menurutku.
"Tentu pernah. Itu hal yang wajar bukan?" tanyaku kikuk.
Aku menelan saliva dengan susah payah. Baiklah! Ini bukan test ataupun wawancara. Tidak perlu takut ataupun gugup. Ini hanya mengobrol biasa sesama teman. Rileks! Santai! Seperti di pantai.
"Tentu wajar, karena cinta adalah sebuah anugerah."
"Eh? Anugerah? Bagaimana bisa?"
"Tentu saja bisa. Tergantung dari tanggapan diri sendiri ketika cinta itu hadir dalam hati."
Untuk kesekian kalinya aku memutar bola mataku, mengulang kata demi kata yang ia ucapkan. Aku pahami dan resapi agar tidak salah mengerti maksud ucapanya barusan. Sungguh, lafal pengucapannya terlalu cepat dengan arti bahasa yang begitu tinggi. Membuatku semakin bingung saja. Jati diri saja belum aku temukan, nah ini harus mencari maksud dari ucapannya saja membuat kepalaku terasa pening.
Ia menjelaskan jika cinta yang datang dalam diri, kita tanggapi biasa saja dengan bersyukur kepada Allah, atas perasaan cinta yang muncul dalam hatinya sebagai perasaan yang wajar dirasakan oleh manusia normal, maka cinta tersebut dikatakan sebagai anugerah.
Sedangkan jika cinta yang hadir dalam diri, kita tanggapi dengan berlebihan, maka hawa nafsu pun sama, menginginkan yang lebih selain hanya bersyukur kepada Allah. Maka, cinta yang seperti itu dikatakan sebagai ujian, karena kita harus berperang melawan hawa nafsu kita sendiri. Kata Rasulullah, perang badar yang merenggut begitu banyak nyawa pejuang islam, hanya dikatakan sebuah perang kecil. Sedangkan perang yang besar, yaitu perang melawan hawa nafsu.
Suatu pelajaran yang aku pahami melalui sebuah obrolan kecil yang sangat bermanfaat. Tidak semuanya para perempuan berkumpul hanya untuk bergosip tentang kejelekan seseorang ataupun bergunjing. Kembali lagi kepada diri kita masing-masing. Semoga kita, para perempuan bisa berkumpul dan mengobrol tentang sesuatu yang bermanfaat dan tidak membawa unsur kejelekan di dalamnya.
Mengingat cinta. Setiap orang itu berbeda pendapat. Aku sebagai gadis remaja, saat ini sedang merasakan sesuatu yang sama sekali tak ku mengerti. Akan cinta, aku teringat akan 'sosoknya' yang membuatku merasa senang dan juga sedih secara bersamaan. Senang bisa melihatnya dan juga sedih mengingat ia bahkan tak pernah melihatku. Mungkin saja, ia tak menyadari kehadiranku disekitarnya.
Sosok yang aku kagumi justru melihat orang lain yang menurutku memang lebih baik dariku. Ada rasa kecewa, sedih, marah, kesal, yang bercambur aduk menjadi sebuah amarah dalam diri. Melahirkan sifat munafik dan iri hati yang begitu membelegu jiwa sampai akhirnya melupakan jati diri. Egoisme sering muncul dikarenakan ingin mendapat lebih dari 'sosoknya' dan menganggap diri lebih pantas dari orang lain.
Sampai detik ini, aku berusaha membatasi diri pada perasaan itu, perasaan yang orang lain menyebutnya sebagai cinta. Jujur, aku tidak ingin mengiyakan pendapat itu. Aku hanya ingin, perasaan itu cukup sebagai rasa kagum semata terhadap sosok yang aku anggap berbeda dan istimewa. Bahkan sampai saat ini, aku masih mempertanyakan apa itu cinta. Apa manfaat dan fungsi dari cinta itu sendiri. Jika cinta memang ketertarikan terhadap lawan jenis, menurutku itu kurang logis. Mungkin diusiaku saat ini, belum saatnya mengerti tentang devinisi cinta yang sesungguhnya.
Berpikir untuk berpacaran. Mungkin setiap remaja hampir berpikir tentang hal itu tak terkecuali aku. Era globalisasi seperti sekarang ini, membuat hal yang dinamakan 'berpacaran' itu suatu kewajaran dan biasa saja. Bahkan lebih parahnya lagi, jika seseorang yang belum pernah berpacaran, dikatakan orang yang tidak gaul dan justru jadul. Mereka dianggap terbelakang hanya karena belum pernah berpacaran. Apakah hal itu pantas?
Indonesia, sebagai salah satu negara yang mayoritas penduduknya beragama islam, apakah hal seperti berpacaran dianggap biasa dikalangan masyarakat? Jawabanya sudah dipastikan 'YA'. Akibat dari yang dinamakan 'era globalisasi' itulah, yang menjadikan negara Indonesia sama dengan negara-negara lain di dunia. Namun sayangnya, persamaan itu bukanlah dalam suatu konteks yang baik, melainkan persamaan dalam menganggap 'berpacaran' adalah suatu kewajaran semata.
Menurut agama islam, sependek pengetahuanku, berpacaran adalah suatu hal yang menjurus pada zinah. Otomatis, jika berpacaran dianggap suatu kewajaran, secara tidak langsung zinah pun dianggap hal sepele bukan? Entahlah, akupun hanya seorang gadis remaja, sama halnya dengan gadis lain, rasa bimbang yang didampingi dengan ketidakpastian melekat dalam diri. Hawa nafsu selalu muncul memerangi diri dan secara tidak langsung memberontak pada hati nurani yang mengatakan 'tidak' pada sesuatu yang buruk.
Sering aku alami, pikiran tidak sama dengan mulut. Lagi-lagi unsur kemunafikan aku temukan dalam diri. Kata 'ikhlas' selalu terpikir olehku, namun penerapannya selalu kurang tepat. Merasa ada sesuatu yang mengganjal di dalam hati ketika ingin menerapkan yang dinamakan 'ikhlas' itu. Entahlah, bagaimana cara menghilangkan sifat itu. Seperti aku ingin mengikhlaskan 'sosoknya' dengan gadis lain siapapun itu, karena aku memang tidak ingin menginginkan sesuatu yang lebih, aku tidak ingin hawa nafsu mengalahkan jati diriku sendiri. Tetapi, melihatnya tersenyum dan tertawa pada orang lain, aku merasakan sesuatu yang tak seharusnya aku rasakan.
Satu hari. Dua hari. Tiga hari. Aku mencoba membiasakan diri untuk tak memperhatikan 'sosoknya'. Suatu hari, ia tak masuk sekolah dikarenakan sakit. Apa kau tahu apa yang aku rasakan? Bahagia. Bukan bahagia karena tak melihat 'sosoknya' ataupun berbahagia atas sakitnya itu. Aku bahagia karena seharian itu tidak melihat 'sosoknya' berdekatan bersama gadis lain. Pribadinya yang mudah bergaul, membuat ia dekat hampir dengan seluruh gadis di kelas, kecuali aku dan beberapa orang lainnya.
Temanku pernah bertanya pada seseorang,"Apakah berpacaran itu diperbolehkan?"
Jawaban yang terus aku pikirkan kebenaranya. Temanku mengatakan jika orang itu menjawab,"Boleh-boleh saja. Asalkan menurut ajaran agama islam."
Aku memutar bola mataku, alisku betaut dengan kening yang berkerut mendengarnya. Apakah benar? Apakah ada kata berpacaran dalam agama islam? Berpacaran menurut ajaran agama islam itu bagaimana? Sedangkan sepengetahuanku kata berpacaran saja dalam agama islam itu tidak ada. Itu menjadi sebuah PR yang belum terjawab olehku sampai detik ini.
Beralih dari topik cinta. Beberapa hari ini, aku merasa tubuhku semakin berat saja. Mungkin berat badanku naik lagi. Aku adalah tipe orang yang suka makan dalam relatif waktu yang singkat. Ketika pikiran-pikiran muncul dalam otak kecilku, menjadi kegelisahan yang tak beralasan, membuatku selalu merasa lapar. Aneh bukan?
Saat menjelang UN SMP, pipi tirusku berubah menyerupai sebuah bakpau. Pikiran-pikiran yang sebenarnya hal sepele, membuat rasa gelisah yang teramat sangat hingga membuatku menjadi takut. Takut akan hal yang akan terjadi kedepannya. Hasil UN dan kelanjutan dari pendidikanku adalah segelintir contohnya. Orang tua, teman, begitupun orang lain terkejut akan perubahan wajahku yang bengkak itu.
Jauh dari orang tua menjadi beban tersendiri untukku. Ketika berat badan bertambah, orang lain berfikir aku senang. Padahal kebenarannya justru bertolak belakang. Rasa takut akan masa depan membuatku merasa kacau dari hari ke hari. Ingin rasanya aku menghindari masa depan dan tak ingin menjadi dewasa.
Namun, dengan mengenal sosok Lala dan Aan, gadis remaja seusiaku yang mampu membangkitkan semangat yang telah lama terkubur jauh di dalam jiwa, kini kembali muncul dan mulai berkobar bak semangat pejuang kemerdekaan.
Terima kasih sobat..
Aku berharap, setidaknya rasa takut dan gelisah yang selalu membelegu diriku saat ini, dapat dihilangkan sedikit demi sedikit. Sehingga dengan sendirinya aku akan menyadari sosok seperti apa aku sebenarnya. Jati diri yang terkubur oleh rasa takut yang tak beralasan, akan aku coba gali dengan niat memperbaiki diri menjadi pribadi yang lebih baik tentunya.
Tidak hanya duniawi, namun akhirat pun harus dipikirkan. Jangan terlalu larut dalam mencari jati diri, namun harus dipikirkan juga sikap akhlakul karimah dalam diri dan hati nurani. Perbaiki diri agar jadi lebih baik, tidak hanya fisik namun hati nurani juga perlu dibenahi. Masa depan itu penting, namun lebih penting lagi akhirat tempat kita kembali kepada sang ilahi nanti.
'CINTA KEPADA ALLAH DAN RASUL-NYA HARUS MELEBIHI CINTA KITA TERHADAP MAKHLUK CIPTAANNYA'
Bukannya mau ceramah atau apalah-apalah, disini saya hanya mengajak pada suatu kebaikan. Belajar bersama dalam memperbaiki diri agar menjadi manusia sejati. Tidak hanya cukup materi, namun juga kaya hati.
Mari kita cari tahu makna dari kehidupan ini dan menemukan jati diri kita yang sesungguhnya.!!
Tak terasa, lebih dari satu jam aku berbincang dengan Aan. Suatu percakapan yang banyak mempunyai makna begitu dalam dan memberi banyak pelajaran. Aku menulis ini hanya sekedar membagi pengalaman. Sekaligus menyampaikan kata demi kata yang menurutku bisa membuka pemikiran yang lebih baik. Semoga semangat kalian menemukan jati diri dapat kembali berkobar dalam jiwa, sesudah membaca tulisan ini, sama halnya seperti yang aku rasakan.
Aku rasa ini sudah terlalu panjang. Jika diteruskan akan menjadi bosan bagi pembaca. Mohon maaf bila ada salah-salah kata atau pemikiran. Sekian dari secuil pengalaman pribadi saya sendiri. Saya ucapkan terima kasih yang sudah bersedia membaca cerita yang bisa disebut sebagai curhatan hati saya sendiri. Kurang lebihnya mohon maaf..
Semoga bisa diambil hikmahnya dan semoga pesan moral melalui tulisan ini bisa tersampaikan dengan baik.
Terima kasih~
See you next time^^
Tidak ada komentar:
Posting Komentar