Love is Acknowledge
Title : Love is Acknowledge
Author : IpoNovi23
Cast :
Jung Ara
Park Chanyeol
Park Chanyoung
Genre : School life, Romance, and friendship
Rating : 15+ (?)
Maaf apabila banyak typo bertebaran:'x
Cerita ini tidak mengandung unsur menarik!!
Menyebabkan bosan akut dengan alur yang mudah ditebak!!!!xD
Hihihihi>_<
Jika tidak berkenan untuk membaca, silahkan tinggalkan halaman ini dan mencari cerita yang lebih menarik dan berkualitas.
Cerita ini hanya untuk para pembaca yang bersedia dengan ikhlas membuang waktunya untuk menyempatkan membaca^^
Semoga tidak timbul penyesalan dari para readers..TT
Selamat membaca->->->->->->>>
"Cinta itu sederhana. Hanya butuh pengakuan dari orang yang merasakannya."
Author POV
Seorang gadis tengah berdiri sambil memainkan ujung sepatunya dengan terus menunduk. Gadis berseragam dengan rambut hitam sepunggung sedikit bergelombang pada bagian bawahnya itu, ia biarkan terurai begitu saja. Hembusan angin yang cukup menusuk kulit putihnya itu, tidak lantas membuatnya beranjak dari tempatnya berpijak saat ini. Gadis cantik itu tetap berdiri di depan gedung sekolahnya, walaupun lebih dari satu jam yang lalu bel pulang sekolah itu bergeming.
Kedua pipi chubby gadis itu menggembung, menandakan ia mulai merasa bosan akan aktivitas yang sedari tadi ia lakukan. Aktivitas yang hanya berdiri lebih dari satu jam, yang tentunya cukup membuat kaki gadis itu merasa pegal. Gadis itu menoleh ke arah gedung sekolahnya yang bernuansa coklat itu, berharap menemukan seseorang yang sedang ia tunggu sejak tadi. Namun nihil, tak ada seorang pun terlihat oleh sejauh pandangan matanya itu. Gadis itu tampak kecewa, ia merasa tidak ada gunanya terus menunggu seseorang yang mungkin tak pernah akan datang untuk menemuinya saat ini.
"Bodoh! Kenapa aku bisa mempercayai perkataannya?"
"Dengan bodohnya aku menunggu berjam-jam. Bodoh! Kau bodoh, Jung Ara."
Gadis bernama Jung Ara itu terus memaki dirinya sendiri atas perbuatan yang menurutnya bodoh itu, menunggu seseorang berjam-jam yang tak mungkin datang hanya karena ia ingin mempercayai lelaki itu. Dengan memukul-mukul kecil kepalanya, ia berusaha meredam emosinya yang bergejolak. Namun, tiba-tiba saja sebuah tangan meraih lengan Ara dan otomatis aktivitas penganiayaan diri sendiri itu terhenti. Gadis itu mendongak berniat melihat wajah seseorang yang berani meraih tangannya itu. Ara bukanlah gadis biasa, ia jago bela diri dan juga ahli dalam spesialis olahraga, khususnya basket. Jadi, tidak sembarangan orang bisa berani menyentuh permukaan kulit Ara begitu saja.
"Kenapa kau memukul kepalamu sendiri? Apa kau berniat melukai kepalamu itu?"
Gadis itu menghela napas kasar, merasa muak melihat wajah seseorang yang sudah membiarkannya menunggu berjam-jam di depan gerbang sekolah, dengan udara yang cukup dingin. Ara melirik sekilas wajah tanpa dosa lelaki sialan itu, namun, tidak dipungkuri olehnya rasa bahagia yang menjalar dalam tubuhnya ketika melihat wajah tampan lelaki itu.
"Apa perdulimu? Lepaskan tanganku!" ujar Ara ketus.
Ara memasang wajah garang menatap lelaki itu, ia benar-benar kesal atas tingkah lelaki itu beberapa hari belakangan ini. Selalu saja membuatnya kesal dan naik darah, pernah terpikir oleh gadis itu untuk mencekik leher lelaki itu, namun akal sehatnya masih melekat dalam otaknya dan juga ia masih mempunyai hati nurani yang selalu memberitahunya bahwa ia harus terus bersabar menghadapi lelaki itu.
"Maafkan aku, Ahra-ya. Aku lupa ada janji denganmu sore ini." lirih lelaki itu masih menggenggam tangan Ara.
Ara mendesis mendengar penuturan lelaki itu. Gadis itu dengan kasar melepaskan tangannya dari genggaman lelaki itu. Menatap binar mata teduh lelaki yang menurutnya telah berubah itu. Lelaki yang telah berhasil memenuhi pikirannya saat ini. Lelaki yang dulu mengikrarkan diri sebagai sahabatnya itu. Lelaki yang selalu menjadi pusat perhatiannya. Lelaki yang berhasil membuat jantungnya berdegup kencang hanya dengan mengingat namanya. Dan lelaki yang telah berhasil membuat Ara merasa seperti gadis gila setiap harinya.
"Namaku Ara. Berhenti memanggilku Ahra! Dan tentang permintaan maafmu itu__"
Bug!!
Ara menendang kaki lelaki itu dengan ujung sepatunya cukup keras. Rasa kesalnya mencapai puncak dan batas kesabarannya sudah melewati batas yang telah ditentukan. Lelaki itu meringis kesakitan akibat berbuatan Ara barusan. Mungkin saja timbul warna kebiruan pada kakinya nanti.
"Aku membencimu, Park Chanyeol!"
Ara melangkah pergi tanpa memperdulikan lelaki yang ia sebut Chanyeol itu yang tengah kesakitan. Gadis itu tampak menahan amarahnya yang belum sempat ia luapkan semuanya pada lelaki itu. Mungkin saja jika ia luapkan semuanya, tamatlah riwayat lelaki itu hari ini juga.
"Hey! Jung Ahra! Mau kemana kau?!" teriak Chanyeol. Namun tidak digubris oleh Ara sedikitpun. Gadis itu mengabaikan teriakan Chanyeol dan terus melangkah pergi meninggalkannya.
Bukannya pergi menuju rumahnya, Ara justru lebih memilih pergi ke tepi sungai Han. Sungai itu cukup terkenal di Korea Selatan khususnya para remaja disana. Karena di tempat itu-lah para remaja biasa menghabiskan waktu luang dengan pasangan mereka masing-masing. Tetapi tidak dengan Ara, dia hanya sendirian. Gadis itu menatap sendu matahari yang mulai tenggelam sehingga menciptakan pemandangan yang cukup indah. Hari pun semakin gelap tatkala matahari tenggelam sepenuhnya.
Ara POV
"Kenapa sunset tidak terlihat indah seperti biasanya?"
Duduk sendirian di tepi sungai Han sambil menanti matahari tenggelam sudah menjadi rutinitasku beberapa hari belakangan ini. Aku mendesah pelan tanpa aku sadari, mendesah dan terus mendesah. Seperti ada kekecewaan di dalam hatiku yang membuatku selalu melakukan hal itu.
Mengingat kejadian-kejadian tempo hari maupun hari ini, membuat dadaku semakin terasa sesak saja seperti ada bongkahan batu yang mengganjal. Aku bingung apa yang terjadi pada diriku saat ini. Perasaan yang seharusnya tak boleh aku rasakan terhadapnya, membuatku seperti orang bodoh yang tidak tahu harus melakukan apa. Perasaan ini justru membuatku semakin jauh darinya. Merasa sangat canggung ketika berada di dekatnya, membuatku selalu menghindar dan menutup diri, takut jika ia menyadari perasaanku terhadapnya. Detak jantungku dan juga anggota tubuh lainnya terasa tidak karuan ketika mengetahui ia sedang melangkah mendekat kearahku sambil terus melontarkan sebuah senyuman yang terukir di sudut bibirnya.
Perasaan yang baru aku sadari beberapa hari belakangan ini membuatku bingung harus bersikap apa padanya. Aku yang berstatus sebagai sahabatnya, kini justru hatiku meminta lebih dari status itu. Sungguh, aku ingin memberontak dan mengatakan 'tidak' pada perasaan ini, namun apa daya, semakin aku bersikeras mengatakan tidak, justru perasaan ini semakin kuat menunjukkan bahwa aku menyayanginya lebih dari seorang sahabat.
Mungkin benar, seorang lelaki dan seorang wanita tidak bisa bersahabat tanpa ada rasa ketertarikan lebih dari salah satu pihak. Dalam persahabatanku dengan Chanyeol, salah satu pihak itu adalah aku. Dan bodohnya, aku membenarkan pernyataan yang sejak dulu sangat ku tentang itu. Jika dikatakan, aku saat ini sedang berperang dengan hatiku sendiri yang sangat sulit ku menangkan. Dan sialnya, pikiranku pun mulai berpihak pada hatiku.
Aku beranjak saat dirasa hari sudah gelap dan tinggal aku sendiri yang masih setia berada disana. Belum sempat melangkah, aku justru terpaku di tempat itu. Mataku membulat sempurna ketika melihat lelaki itu sedang berdiri tegap di hadapanku saat ini. Entah sejak kapan ia berada disini, aku tidak tahu itu dan tidak terlalu memikirkannya. Yang aku pikirkan, untuk apa ia disini saat ini.
"K-kau? Ada apa?" tanyaku padanya karena ia menghalangi jalanku.
Chanyeol menghembuskan napas yang terdengar berat. Aku justru tak berani menatapnya dan hanya menunduk melihat tali sepatuku yang terikat cukup rapi.
Satu detik.
Dua detik.
Aku terus menunggu jawaban darinya. Ia tidak kunjung menjawab ataupun merespon pertanyaanku barusan dan hanya hembusan angin yang terdengar oleh gendang telingaku. Apa dia sudah pergi?
"Ahra-ya.. Ada apa denganmu, hm? Kenapa kau berubah belakangan ini?"
Deg!!
Pertanyaan yang tidak ingin aku dengarlah yang ia katakan. Pertanyaannya membuat detak jantungku kembali tak normal. Darahku mendesir. Aku tidak mungkin menjawab pertanyaan itu. Aku tak ingin mengakui perasaan ini. Terlebih lagi, aku tidak ingin merusak persahabatan kita. Aku tidak ingin karena perasaanku terhadapmu saat ini, membuat kita semakin jauh dan terasa canggung satu sama lain. Dan sebernarnya, hal yang paling aku takuti adalah perasaanmu terhadapku yang aku yakini hanya sebatas sahabat saja dan tidak akan mungkin lebih dari itu. Itu hal yang paling aku takuti. Takut akan harapan semu yang tak mungkin menjadi sebuah kenyataan.
"W-wae? Be-berubah? Apa maksudmu?" ujarku gugup.
Wajahku pasti terlihat bodoh.
Baiklah. Aku gadis bodoh dan justru berpura-pura bodoh, menambah tingkat kebodohanku saja jika berbicara dengannya. Ya Tuhan! Ada apa denganku? Kemana hilangnya rasa percaya diriku selama ini?
"Belakangan ini kau selalu menghindar dariku. Apa kau tidak menyadarinya? Menyapaku saja tidak. Kita tidak pernah saling berbicara belakangan ini." ujarnya tegas dengan suara bassnya itu.
Aku hanya menunduk. Menatapnya terlalu beresiko untukku saat ini, selain berbahaya bagi jantung, aku takut tidak bisa berbicara untuk menjawab pertanyaannya. Yang lebih parahnya lagi, aku takut lupa cara bernapas jika menatap manik mata coklatnya itu.
"Apa maksudmu? Mungkin aku terlalu sibuk. Lagipula belakangan ini aku harus les gitar bersama Eunsoo. Iya, les gitar." jawabku sekenanya yang terlintas di otakku saat ini. Sambil tersenyum kikuk, aku melirik wajah tampannya yang terlihat sayu. Apa dia kelelahan?
Mata bulatnya kini terlihat aneh dengan lingkaran hitam layaknya panda, dengan sedikit kantung di bawah mata teduhnya itu. Aku menatapnya sendu. Sahabat macam apa aku ini?
Aku sama sekali tidak mengetahui apa yang dilakukan Chanyeol sampai mata teduhnya berubah menjadi seperti itu. Aku justru sibuk memikirkan perasaan sialan ini.
"Ahra-ya. Kita sudah saling mengenal cukup lama. Apa aku terlihat bodoh dimatamu? Aku memahami sifatmu. Kenapa kau harus berbohong padaku?"
Deg!!
Seperti ada sebuah belati menusuk relung hatiku. Hatiku terasa sangat sakit mendengar perkataannya. Entah bagian kata mana yang membuat hatiku terasa sakit, aku tak mengerti apa yang aku rasakan. Jika benar ia memahami sifatku, seharusnya ia tak perlu bertanya padaku tentang semua ini. Dia membuatku menjadi orang terbodoh dari yang terbodoh sekalipun. Berhenti berbicara atau aku akan membencimu, Park Chanyeol.
"Aku sama sekali tidak mengerti perkataanmu dari awal. Sebenarnya apa maumu?" tanyaku sinis.
"Aku hanya ingin kau jujur padaku. Apa yang terjadi padamu? Apa kau tahu, kau mengabaikanku beberapa hari ini."
"Ck! Semua urusanku tidak bisa aku ceritakan semuanya padamu. Aku butuh yang dinamakan privasi. Lagipula, kita hanya berteman. Tidak lebih dari itu."
Aku melangkah pergi. Melangkah menjauhi sosoknya yang membuatku menjadi seorang gadis bodoh yang jahat. Cairan bening yang sedari tadi aku tahan akhirnya mengalir dengan bebas menerobos pelupuk mataku. Tebing pertahanan yang telah lama aku bangun selama ini dengan susah payah, akhirnya roboh begitu saja dalam kurun waktu yang singkat.
Ya Tuhan!
Apa seperti ini rasanya cinta?
Kenapa aku justru merasa sangat sakit?
Kenapa tidak seperti orang lain yang mengatakan jika cinta itu indah?
Perasaanku ini telah mengalahkanku. Hatiku mengalahkan akal sehatku. Aku mengakui bahwa aku menyayanginya dan bahkan menyukai semua yang ada padanya. Jung Ara menyukai Park Chanyeol. Ya, itu benar adanya. Tetapi semua itu tidak berpengaruh apa-apa dan justru membuatku semakin frustasi akan perasaan ini.
Chanyeol POV
Aku mengikuti langkahnya dari belakang tanpa sepengetahuannya. Dia terus melangkah sambil terus menunduk tanpa memperdulikan sekitarnya. Sampai akhirnya ia menghentikan langkahnya di tepi sungai Han. Dia duduk sendiri sambil terus menatap matahari yang mulai terbenam dan akhirnya hari pun menjadi gelap.
Semua orang mulai beranjak pergi meninggalkan tempat itu, namun tidak dengan gadis itu, ia tetap diam tak bergeming. Sebenarnya apa yang sedang dipikirkan gadis itu sampai ia tetap bertahan dalam posisi terus menunduk sampai larut malam. Aku terus memperhatikannya dari jauh sampai kemudian aku melihatnya beranjak berdiri. Aku menghampirinya dan ia terlihat terkejut akan kehadiranku.
"Kau? Ada apa?" tanyanya.
Aku menghela napas kasar. Aku terdiam sejenak, mengingat akan sikap gadis yang berada di hadapanku itu belakangan ini. Sikapnya yang ceria entah hilang kemana. Belakangan ini ia selalu menghindar dariku dan terus mengacuhkanku seperti orang asing. Aku benar-benar bingung akan sikapnya itu, sederet pertanyaan bermunculan dibenakku, seperti, apa kesalahanku? Apa yang terjadi padanya? Cukup pertanyaan itu yang ingin saat ini aku lontarkan padanya. Dan yang aku tahu, ia bukanlah tipe gadis pendiam yang selalu menutupi masalahnya. Dia justru pribadi yang ceria dan terbuka dalam hal pemikiran kepadaku.
"Ahra-ya.. Ada apa denganmu? Kenapa kau berubah belakangan ini?" tanyaku.
Aku hanya bisa bertanya-tanya. Berbicara dan bertanya padanya saat ini, hanya menambah kebingunganku saja. Jawaban demi jawaban ia lontarkan dengan bahasa lugas yang membuatku cukup terkejut. Bukan karena kalimatnya yang lugas, melainkan kosa katanya yang menurutku cukup kasar dan terdengar sinis. Aku mengernyit bingung, sikapnya yang saat ini, bukanlah sikapnya yang dulu.
'Ada apa denganmu, Ara-ya?' pikirku.
Melihat dirinya yang seperti itu saat ini, entah kenapa membuat dadaku terasa sesak. Aku terus memikirkannya sampai seluruh tugasku terbengkalai. Mengkhawatirkannya sampai tidak bisa tidur dan akhirnya tercipta lingkaran mata panda yang jelek ini. Aku merindukan keceriaan dan sifat-sifatnya yang dulu, sifatnya yang selalu membuatku tertawa dan kesal dalam waktu yang bersamaan.
Dia yang selalu terbuka padaku, membuatku merasa nyaman berada di dekatnya. Pribadinya yang apa adanya berbeda dengan para gadis yang sering aku temui. Dia Jung Ara. Dia gadis yang berhasil menyita seluruh perhatianku terhadap gadis-gadis lain di luar sana. Dia gadis yang terlihat cantik hanya dengan tersenyum tanpa tersentuh oleh make up sekalipun. Dia gadis yang sederhana dengan segala kekurangan dan kelebihanya. Dia gadis yang membuatku merasa terkagum-kagum dari hari ke hari.
Tetapi ada apa dengannya?
Hanya dengan beberapa hari sikapnya berubah padaku. Aku terus berpikir apa salahku padanya. Namun nihil, waktuku yang terbuang sia-sia itu tidak menghasilkan apapun.
"Ck! Semua urusanku tidak bisa aku ceritakan semuanya padamu. Aku butuh yang dinamakan privasi. Lagipula, kita hanya berteman. Tidak lebih dari itu." ujarnya.
Deg!!
Aku hanya bisa terdiam tak bergeming. Mencerna kata per kata dari kalimat yang baru saja ia lontarkan. Aku hanya bisa menatap punggungnya yang semakin menjauh dariku. Menatap sosok gadis yang membuatku menjadi gila karena sikapnya itu. Kalimat yang baru saja ia lontarkan terus terulang secara otomatis dalam ingatanku.
'Lagipula, kita hanya berteman. Tidak lebih dari itu.'
Kalimat itu yang ia katakan penuh penekanan disetiap katanya. Aku tersenyum kecut mengingat bahwa aku secara tidak langsung sudah ditolak olehnya, padahal aku belum melakukan apapun untuk setidaknya berusaha. Aku seperti orang bodoh yang mengharapkan sesuatu yang tidak mungkin. Mengharapkan kemungkinan-kemungkinan manis yang akan terjadi dengan adanya perasaan ini. Namun kini, semua khayalan itu terdengar bodoh dengan perkataannya barusan.
Author POV
Hari demi hari terus berlalu. Jarum jam terus berputar sesuai porosnya mengikuti waktu yang terus berjalan tanpa henti. Waktu tidak akan berhenti atau bahkan terulang kembali meskipun keadaan dua insan yang tidak kunjung membaik. Mungkin hanya jarum jam yang bergerak mundur, tetapi tidak dengan waktu. Sejatinya, hanya perlu memperbaiki saat ini, detik ini, dan tak perlu mengulang waktu atau kembali pada masa lalu. Karena sesungguhnya masa lalu hanya sebuah kenangan yang sifatnya tidak nyata. Yang nyata adalah masa kini dan masa depan. Jadi, pergunakan waktu sebaik mungkin dan jangan sampai menyesal.
Satu minggu.
Dua minggu.
Satu bulan.
Dua bulan.
Sudah dua bulan berlalu sejak kejadian di tepi sungai Han. Kejadian tersebut membuat hubungan mereka semakin memburuk dan bahkan bertambah buruk dari hari ke hari. Tidak ada yang mengalah dari salah satu pihak. Mereka masing-masing berpegang teguh pada prinsip masing-masing yang mereka yakini kebenarannya. Sungguh disayangkan.
Tidak ada percakapan atau bahkan sapaan sekalipun. Mereka yang dulu sangat akrab, sekarang justru saling menghindar satu sama lain. Saling membuang muka seakan acuh saat berpapasan.
Ara yang berniat menuju perpustakan saat waktu istirahat, tidak sengaja berpapasan dengan Chanyeol di koridor sekolah. Namun mereka saling acuh dan berpura-pura tidak saling mengenal satu sama lain. Mereka hanya berjalan dengan arah yang berlawanan. Sungguh kekanak-kanakan.
Saat kembali dari perpustakaan, Ara membawa setumbuk buku materi yang harus ia bawa ke kelasnya. Namun karena jarak pandang yang tertutup oleh tumpukan buku, membuatnya terjatuh saat bagian lantai yang menurun. Namun beruntung, seseorang menahan tubuhnya agar tidak terjatuh menimpa kerasnya keramik dan akhirnya hanya buku-buku itu yang terjatuh berserakan di lantai.
"Terima kasih." ujar Ara tersenyum yang dibalas senyum balik oleh orang itu.
Ara memungut buku-buku yang terjatuh tadi.
"Biar aku bantu." ujar pria itu seraya membantu Ara memungut buku.
Mereka berjalan beriringan sambil masing-masing membawa sebagian buku tadi, walaupun bagian orang itu sedikit lebih banyak. Mereka saling berbincang dan tak lupa melempar senyum satu sama lain. Orang itu yang kini dekat dengan Ara bernama Chanyoung, seorang pria yang cukup tampan dan ramah. Mereka cukup akrab walau hanya dengan beberapa kali pertemuan saja.
Chanyeol menyibukan diri dengan padatnya jadwal latihan. Ia lebih mengfokuskan pada bidang akting semenjak kejadian itu, entah alasan apa yang sedang dipikirkannya. Padahal, Chanyeol lebih menyukai bidang musik terutama alat musik dibanding akting yang menurutnya membosankan itu. Menurutnya, dalam bidang musik ia bisa lebih berimajinasi sebebas mungkin, berbeda dengan akting yang harus ditentukan ini dan itu yang membuatnya merasa tertekan dan merasa tidak bebas. Namun semua itu kini hanya teori semata. Semuanya kini berjalan bertolak belakang seakan-akan ucapannya yang dulu itu hanya sebuah omong kosong belaka.
Ara POV
"Ara, kenapa belakangan ini kau selalu saja makan mie ramen setiap hari? Apakah perutmu itu baik-baik saja?" tanya Eunsoo heran.
Aku mengerti mengapa Eunsoo bertanya seperti itu. Dahulu, lebih tepatnya dua bulan yang lalu, aku selalu mengomelinya jika ia ketahuan olehku sedang memakan mie ramen yang menurutku tidak baik bagi kesehatan. Dan anehnya, kini aku justru yang mendapat pertanyaan darinya yang dulu sering aku lontarkan padanya.
"Tentu." jawabku singkat tak beralih pandang dari mangkuk besar berisi mie ramen di hadapanku.
"Aneh." gumamnya yang masih terdengar oleh gendang telingaku seperti sebuah bisikkan. Aku hanya tersenyum menanggapinya sambil menyumpit mie ramen lagi dan memasukkannya kedalam mulutku.
"Ara, bukankah itu Park Chanyeol?"
Aku lantas berpaling dari mangkuk besar berisi mie ramen, tatkala mendengar nama pria itu yang dulu berstatus sebagai sahabatku. Nama pria yang kini sosoknya tak berada di dekatku lagi. Nama pria yang masih menjadi pusat perhatianku dan selalu berhasil membuat hatiku mencelos ketika mendengarnya. Dan anehnya, detak jantungku masih menjadi tak normal saat mengingatnya. Mengingat perasaanku terhadapnya yang masih melekat dan membelegu hatiku sampai saat ini, bahkan detik ini.
Pandanganku menangkap sosoknya sedang tersenyum masih dengan wajah tampannya. Aku tersenyum melihatnya. Ia terlihat lebih tampan dengan tatanan rambut yang menutupi dahinya yang cukup luas. Hembusan angin sedikit menerpa rambutnya, membuatnya terlihat seperti di sebuah drama-drama saja. Tampan, pikirku.
Namun senyumanku memudar ketika menyadari senyuman itu kini bukan untukku, melainkan untuk seorang gadis yang kini duduk tepat di hadapannya dan menghalangi pandanganku untuk melihat sosoknya. Aku menghela napas menyadari aku yang duduk disini dan bukan duduk di tempat gadis itu di hadapan Chanyeol seperti dulu. Ya, itu hanya kenangan masa lalu yang selalu berhasil mengiris hatiku ketika mengenangnya.
"Aku sudah lama tidak melihat kalian bersama. Apa kalian bertengkar?"
"Ya. Kami bertengkar hebat." jawabku.
Aku muak melihat pemandangan itu, aku lebih memilih fokus pada mangkuk mie ramenku lagi yang tadi sempat aku abaikan. Aku terkejut saat melihat mie ramen itu habis tak tersisa beserta kuah-kuahnya. Aku rasa saat aku beralih pandang masih tersisa cukup banyak, kenapa kini hanya mangkuk besar kosong yang ada di hadapanku. Aku mengangkat mangkuk itu, melihat bagian belakang permukaan mangkuk itu, namun tidak ada lubang sedikitpun.
Aku melirik sekilas seseorang yang berada tepat di sampingku, dia-lah pelaku yang sesungguhnya. Eunsoo hanya terkekeh pelan melihat keterkejutanku. Dengan wajah polos tanpa dosanya itu, ia menatapku sendu sambil memperlihatkan cengiran kudanya mengharapkan belas kasihan padaku.
"Eunsoo-yaaaa!!!!" teriakku kesal.
Eunsoo justru berlari menghindar dariku. Aku menghela napas kasar lagi sambil menatap sendu mangkuk besar itu.
Aku melangkah menuju toilet saat dirasa keadaaan perutku yang sedang tidak baik. Langkahku terhenti saat melihat sesuatu yang menarik perhatiaanku melebihi kepentingan perutku. Terpajang sebuah selebaran kertas di mading sekolah. Disana tertera sebuah kertas berisi promosi untuk pertunjukkan sebuah musikal drama yang biasa digelar setiap tahun di sekolahku.
Dan yang membuatku terkejut, seorang pemeran utama laki-laki dalam drama tersebut yang tak lain dan tak bukan adalah Park Chanyeol. Apa benar ia Park Chanyeol yang sedang aku pikirkan? Seseorang yang dulu sangat aku kenal. Seseorang yang aku tahu sangat membenci suatu hal yang berbau akting, karena menurutnya semua itu tidak menarik. Aku hanya bisa mengerjap sesaat, dan berpikir, 'apa yang terjadi padanya?'
"Chan, apa yang terjadi padamu? Kenapa kau berubah?" gumamku lirih menatap selebaran itu.
Author POV.
Perpustakan. Tempat itu kini menjadi tempat favorit bagi Ara. Kini gadis itu berubah, ia saat ini dikenal dengan gadis pendiam dan dingin sejak beberapa bulan yang lalu. Sifat ceria yang cenderung jail yang dahulu melekat erat dalam pribadinya, kini hilang entah kemana. Teman-teman Ara termasuk Eunsoo, tentu merasa bingung atas perubahan sikap sahabatnya itu, yang cukup drastis dan bertolak belakang. Mereka merasa kehilangan akan sosok Ara yang dahulu, yang selalu menjaili mereka, membuat mereka tertawa dan kesal dalam waktu bersamaan.
Perpustakan di lantai satu selalu terlihat sepi. Perpustakaan ini seperti sebuah tempat keramat yang enggan dikunjungi oleh murid-murid. Mereka cenderung memilih berlatih di ruang musik daripada harus duduk manis dengan setumpuk buku yang membuat mereka merasa bosan seketika dengan hanya melihat covernya saja.
Terlihat buku-buku yang sedikit berdebu karena tidak pernah tersentuh oleh tangan manusia. Rak-rak yang berisi banyak buku berjajar rapi dengan beberapa kursi dan meja yang terlihat sedikit 'horor'. Penerangan dan juga fasilitasnya pun terbilang sangat kurang. Sangat berbeda dengan perpustakaan yang berada di lantai dua, disana tidak hanya elit tetapi juga nyaman.
Lain halnya dengan murid yang lain, Ara justru lebih memilih berdiam diri di perpustakaan keramat itu. Duduk di salah satu kursi, Ara hanya menatap kosong sebuah buku yang ia biarkan hanya tergeletak di atas meja tepat di depannya. Tanpa berniat untuk membaca, Ara justru menjadikan buku itu sebagai alas kepalanya. Gadis itu menghela napas dan memejamkan matanya sejenak.
"Ara-ya.. Aku dengar Chanyeol akan melakukan adegan mesra dengan Jihyun. Apa kau tahu?"
"Tidak."
"Aku dengar mereka berdua akan melakoni adegan kisseu di pertunjukkan nanti. Aku tidak sabar ingin melihatnya."
Ara membuka kelopak matanya. Diangkatnya kembali kepala yang sejak tadi menempel pada permukaan buku itu. Ara kembali menghela napas kasar. Kata-kata Eunsoo terus terngiang di pikirannya, layaknya sebuah remakan yang secara otomatis terus berputar dalam otaknya dan sayangnya ia tidak mengetahui cara meng-off-kan rekaman itu. Ara memegang dadanya, terasa olehnya dibagian itu rasa sakit yang membuatnya sangat sesak untuk bernapas. Ara kembali memejamkan matanya, rasa sakit itu sungguh menyiksanya, ia pun memukul dadanya yang terasa sesak itu.
"Ada apa denganku?" gumamnya sambil menutup wajahnya dengan kedua tangan.
Ara menangis dalam heningnya suasana perpustakaan. Ternyata tepat di belakang Ara, Chanyoung berdiri tegap sambil menatap Ara sendu. Ia tidak tahu harus berbuat apa, ia tidak punya keberanian untuk mendekati gadis itu saat ini, ia tidak mempunyai keberanian untuk memberikan bahunya sebagai sandaraan gadis itu, dan ia tidak mempunyai keberanian untuk hanya sekedar menyeka air mata yang meluncur dengan bebas di pelupuk mata teduh gadis itu. Chanyoung berpikir ia hanya seorang lelaki pengecut yang membiarkan gadis yang dicintainya itu menangis sendirian.
Ara POV
Sudah lama aku tidak berlatih vokal ataupun bermain gitar. Beberapa bulan belakangan ini aku hanya bermalas-malasan saja. Aku malas melakukan apapun yang biasa aku lakukan, aku justru melakukan hal-hal yang menurutku sangat membosankan.
Mulai hari ini, aku bertekad untuk menjadi diriku lagi. Menjadi Jung Ara yang dulu, Jung Ara yang selalu tersenyum dan membuat orang lain tersenyum karenaku. Aku meraih tas sekolah yang biasa aku pakai, dan menyempatkan diri untuk melihat pantulan diriku di sebuah cermin yang seukuran dengan tubuhku.
"Jung Ara, ternyata kau sungguh menawan."
Dengan bangganya aku memuji penampilan diriku sendiri yang terlihat di cermin itu. Aku tersenyum, setelah cukup lama, baru hari ini aku mengukir senyumku lagi di sudut bibirku. Dengan gaya rambut yang baru, aku berharap hari ini aku akan menjadi Jung Ara yang baru, yang lebih baik dari yang dulu. Tentunya tanpa air mata dan tanpa mengharapkan akan dirinya lagi. Perasaanku terhadapnya membuat diriku terlihat lemah dan seakan-akan terpedaya oleh hatiku sendiri. Aku tidak ingin hal itu terjadi padaku lagi mulai hari ini.
Aku menarik napas dalam dan menghembuskannya pelan melalui udara pagi yang sejuk, hembusan napas yang mengandung unsur harapan di dalamnya. Aku langkahkan kaki melewati gerbang sekolah dengan seulas senyum yang menurutku cukup manis. Aku menghampiri Chanyoung yang sedang duduk manis dengan sebuah gitar di pangkuannya. Ia terlihat serius dengan kening yang sedikit berkerut membuatnya terlihat sedikit lebih tua beberapa tahun.
Aku justru terpaku di tempatku berpijak saat ini dan terus menatap Chanyoung. Dia mengingatkanku padanya, terlebih lagi jika dilihat-lihat mereka memang cukup mirip dari faktor wajah ataupun kepribadiannya. Gitar. Mereka sama-sama menyukai alat musik bernama gitar. Bedanya hanya satu, yaitu terletak pada telinga. Chanyoung tidak memiliki telinga khusus sepertinya.
"Ara-ya..!!"
Lamunanku seketika buyar ketika mendengar teriakan seseorang memanggil namaku. Aku mengerjap-ngerjapkan mataku dan menoleh ke arah sumber suara. Terlihat Eunsoo yang sedang berlari cukup kencang menuju ke arahku. Aku melirik Chanyoung yang berada tak jauh dariku, ia hanya menatapku sekilas lalu kembali fokus pada senar gitarnya itu.
"Ada apa?" tanyaku pada Eunsoo yang berada tepat di hadapanku. Ia memegangi kedua lututnya yang pegal dengan napas yang tersenggal-senggal di pagi hari.
"Tidak." jawabnya singkat sambil menggeleng pelan.
"Lalu, untuk apa kau berlari seperti tadi?" tanyaku heran.
"Berolahraga pagi tidak buruk bukan?"
Aku mengeryit bingung. Menurutku itu hal yang konyol. Kadang aku merasa heran akan sikap aneh temanku yang satu ini, dia gadis yang cukup cantik dengan kemampuan vokal yang baik, tetapi sikapnya kadang-kadang melampaui orang normal pada umumnya. Dahulu, ia mengatakan bahwa ia benci padaku dan menganggapku musuh karena terlalu dekat dengan Chanyeol. Tetapi pada kenyataannya, dia justru menjadi temanku saat ini. Aku juga bingung bagaimana awal prosesnya. Mungkin ini yang dinamakan takdir.
Eunsoo menarik tangan kananku dan menyeretku mendekat pada Chanyoung. Eunsoo duduk di samping kiri Chanyoung sementara aku tetap berdiri mematung di tempat. Entah kenapa, saat menyadari ada kemiripan dari keduanya barusan, membuatku merasa canggung berada di dekat Chanyoung. Apa aku sudah gila?
"Hey! Apa kau sedang membuat lagu?" tanya Eunsoo pada Chanyoung.
Saat aku menatap Chanyoung, ia justru melirik ke arahku yang sontak membuatku terkejut dan salah tingkah karenanya. Eunsoo menyuruhku untuk duduk di bagian kanan bangku yang masih kosong. Aku dengan bodohnya menuruti perintah gadis aneh itu. Chanyoung hanya mengangguk kecil merespon pertanyaan Eunsoo tadi.
"Boleh kita bantu? Boleh ya? Aku ingin berpartisipasi membuat lagu. Ya?" ujar Eunsoo bersemangat.
Aku justru terdiam. Apa maksud dari 'kita' yang Eunsoo ucapkan? Apa ia memasukan dan melibatkan aku dalam kata 'kita' yang ia sebutkan barusan? Jika benar, yang benar saja!
Seenaknya saja ia melibatkan aku dalam situasi ini!
"Tentu." ujarnya.
Chanyoung tersenyum.
"Ara.. Bukankah kau pandai membuat lagu? Coba bantu dia."
Apa-apaan gadis aneh itu!
Sejak tadi aku hanya diam dan tidak ikut campur apapun dalam masalah pembuatan lagu. Bagaimana bisa aku yang membantu dia? Bukankah Eunsoo yang antusias ingin membantunya? Kenapa justru aku?
"Ya? Aku? Ti-tidak. Aku tidak bisa, Eunsoo-ya."
Aku menggeleng dengan wajah se-bodoh mungkin agar meyakinkan mereka. Menegaskan bahwa aku tidak bisa. Chanyoung justru menatapku dengan wajah seolah-olah mengetahui apa yang sedang aku pikirkan. Eunsoo justru semakin mendesakku agar mematuhi perintah konyolnya itu.
"Ayolah! Hari ini aku ada praktek. Jadi aku tidak bisa membantu. Besok. Aku janji besok akan membantu. Ya? Ara-ya.. hm?" ujarnya memelas.
Ayolah Eunsoo! Wajah memelasmu itu tidak berpengaruh bagiku. Berhenti bertindak bodoh. Aku sudah menolaknya secara halus. Apa aku harus menolaknya secara kasar?
"Baiklah."
Aku hanya bisa menghela napas kasar merutuki kebodohanku sendiri. Eunsoo justru bersenang-senang dalam penderitaanku. Teman macam apa kau ini?
Author POV
Chanyeol melangkah dengan cukup tergesa-gesa. Ia terus menoleh ke segala arah seperti sedang mencari seseorang. Pandangannya kini menatap Eunsoo yang sedang berjalan menuju kelas musik, tanpa berpikir panjang ia pun langsung menghampiri teman Ara itu.
"Eunsoo-ya.. Apa kau tahu dimana Ara?"
"Ara? Dia tadi di taman. Memangnya ada__"
"Baiklah. Terima kasih." ucap Chanyeol memotong perkataan Eunsoo.
Sudut bibir Chanyeol tertarik membentuk sebuah senyuman yang penuh arti. Entah apa arti dari senyuman itu, yang pasti ia kini terlihat bahagia. Chanyeol terus melangkah menuju arah taman. Namun, langkahnya terhenti ketika dilihatnya Ara tengah tertawa bersama seorang pria di sampingnya. Chanyeol terpaku di tempatnya, menatap sendu gadis itu yang tengah tertawa riang di pagi hari.
Chanyoung terlihat sedang mengacak-acak pucuk kepala Ara, lebih tepatnya mengacak potongan poni Ara yang kini menutupi bagian dahinya itu. Ara yang tidak terima, membalas perbuatan lelaki itu dengan mengacak kembali rambutnya. Adegan saling mengacak rambut dengan penuh tawa itu terekam jelas di memori Chanyeol, yang berhasil membuatnya terasa sesak menghirup udara pagi. Dua buah tiket konser boyband EXO itu ia tatap sendu. Janji mereka untuk melihat comeback stage EXO tahun ini tak akan pernah terwujud. Janji itu kini hanya sebuah perkataan masa lalu yang tak ada artinya, justru harus ia lupakan. Harus. Tahun lalu adalah tahun terakhir kebersamaan mereka.
Ara merapihkan kembali letak poninya yang sempat berantakan karena ulah Chanyoung. Gadis itu pun beranjak dan melangkah pergi menuju kelasnya karena bel masuk akan segera berbunyi. Chanyoung menatap punggung Ara yang semakin menjauh.
Sesampainya Ara diambang pintu, ia dikejutkan oleh kedatangan Eunsoo secara tiba-tiba. Ara tentu menjerit histeris karena kaget dengan kemunculan makhluk astral itu.
"Hey! Apa tadi kau bertemu dengan Chanyeol?"
Ara mengernyit bingung.
"Chanyeol? Tidak." jawabnya sambil menggeleng pasti.
Kini, justru Eunsoo yang mengernyit bingung.
"Tidak?"
"Hm. Memangnya tadi ia mencariku?" tanya Ara yang hanya direspon anggukan kecil oleh Eunsoo.
'Chanyeol mencariku? Benarkah?' pikir Ara.
Ara POV
Bel istirahat masih sekitar 10 menit lagi. Tetapi 10 menit itu rasanya seperti 10 jam bagiku. Bola mataku terus saja melirik jam yang bertengger sempurna di pergelangan tanganku. Bahkan, Kim songsaengnim yang merupakan guru favoritku itu khusus untuk hari ini aku abaikan ketampanannya sejak tadi, berharap ia segera beranjak keluar dari kelas.
Tanpa berniat untuk membereskan buku-buku yang tergeletak di atas meja, aku lantas mengambil ancang-ancang untuk berlari keluar kelas secepat mungkin setelah bel istirahat berbunyi. Bahkan, Kim songsaengnim belum keluar dari kelas, semua pasang mata menatapku, namun aku abaikan mereka semua dan bergegas pergi tanpa menoleh.
Aku berlari menyusuri koridor sekolah menuju kelasnya, kelas dimana Chanyeol berada. Seulas senyum terus mengembang di bibirku tanpa memperdulikan orang-orang yang melihatku dengan tatapan heran. Yang ada dipikiranku saat ini hanyalah secepat mungkin bertemu dengannya. Sudah cukup waktu yang aku abaikan begitu saja tanpa melewati hari-hari menyenangkan bersama dengannya seperti dulu.
"Permisi.. Apa kau tahu dimana Chanyeol?"
Aku bertanya pada salah seorang di kelas itu ketika pandanganku tidak menemukan sosoknya disana. Lelaki berkaca mata itu memakai name tag bertuliskan 'Do Kyungsoo'. Pada pandangan pertama, aku sudah menyimpulkan betapa membosankannya jika berteman dengan lelaki macam dia, wajahnya terlihat kutu buku dan kumal.
"Dia sedang berlatih dance untuk pertunjukkan minggu depan." ujarnya merdu. Dia sepertinya berbakat menjadi leader vokal di sebuah boyband. Andai saja jika ia bergabung dengan boyband favoritku EXO. Tampangnya lumayan, dengan sedikit make over pasti ia bisa menjadi seorang bintang. Sudahlah, berpikir apa aku ini. Tidak penting.
"Baiklah. Terima kasih." ujarku seramah mungkin untuk menciptakan kesan pertama yang baik padanya. Dia tersenyum dan mengangguk kecil.
Aku menarik napas dalam, mempersiapkan diri untuk bertemu dengannya setelah dirasa cukup lama kami tidak bertatap muka. Aku berdiri tepat di depan pintu ruang dance. Terdengar olehku sebuah musik yang bergema di dalam ruangan itu walau samar-samar. Tiba-tiba saja jantungku berdegup kencang. Sekejur tubuhku kaku dan telapak tanganku terasa beku dengan sensasi dingin yang tiba-tiba menjalar.
Brakk!!
Terdengar seperti seseorang terjatuh. Hatiku mencelos takut jika terjadi sesuatu pada Chanyeol di dalam sana. Aku membuka pintu ruangan itu, mataku membulat seketika. Dadaku terasa sesak seperti tidak ada lagi oksigen di tempatku berdiri. Aku menatap mereka. Menatap Chanyeol dengan seorang gadis yang berpenampilan cukup terbuka. Seakan tak bisa beralih menatap mereka, aku justru menangis dalam diam. Kakiku terasa lemas melihat pemandangan yang sama sekali tak ingin kulihat.
Chanyeol dengan raut wajah sangat khawatir mencoba membantu gadis itu, memegang kaki gadis itu tanpa ragu. Gadis itu terus merintih kesakitan saat Chanyeol memegang kakinya, sebuah rintihan yang terdengar begitu menjijikkan ditelingaku. Aku mengepalkan kedua tanganku saat melihat seulas senyum tersungging di bibir gadis sialan itu. Gadis itu hanya memanfaatkan Chanyeol. Gadis itu hanya berpura-pura terjatuh untuk mendapat perhatian Chanyeol.
"Gadis sialan!" umpatku.
Aku dengan bodohnya berjalan menghampiri dua makhluk itu. Dengan napas yang memburu, aku berusaha menahan amarah yang bergejolak dalam hatiku.
"Singkirkan tanganmu dari gadis sialan itu!!" bentakku sambil meraih tangan Chanyeol dari permukaan kaki kotor gadis itu.
"Ahra? Ada apa denganmu?"
"Aww!! Chanyeol-ah, sakittt..!!" lirih gadis sialan itu.
Chanyeol langsung melepaskan tangannya dari genggamanku dan menghampiri gadis tidak tahu diri itu. Aku tersentak karena ia lebih memilih gadis itu dan mengabaikanku. Aku langsung menghalangi Chanyeol untuk membantu gadis itu. Aku berada di antara jarak mereka berdua.
"Ahra, kau minggirlah! Dia kesakitan."
Chanyeol mencoba meraih kaki kotor gadis itu lagi. Namun, segera ku halangi dengan menepis tangannya sebelum menyentuh kaki gadis itu.
"Sudah kukatakan, JANGAN KAU SENTUH KAKINYA!!!" bentakku padanya.
Chanyeol terpaku mendengar volume suaraku, ia heran melihat reaksiku barusan. Napasku semakin memburu, emosiku meluap-luap. Sungguh, detik itu juga aku ingin membunuh gadis itu lalu membakar jasadnya menjadi abu. Bola mataku berair, Chanyeol semakin bingung melihatku.
"Chanyeol-ah.. Kakiku__"
"Diam kau!! Kau hanya berpura-pura kesakitan untuk mendapat perhatian Chanyeol bukan?" ujarku dengan sinis. Menatap gadis itu membuatku merasa ingin muntah di hadapan wajahnya. Gadis tidak tahu diri!!
"JUNG AHRA!! Ada apa denganmu?!" bentak Chanyeol.
Degg!!
Sakit. Terasa sakit mendengar volume suaranya seperti itu. Pertama kalinya ia membentakku hanya karena membela gadis sialan itu. Cairan bening berhasil meluncur dengan bebasnya di pelupuk mataku. Menatap wajahnya yang sangat aku rindukan membuatku semakin merasa sakit. Dia berubah. Dia bukan Chanyeol yang kukenal.
"Apa kau tidak bisa lihat? Dia kesakitan! Dan kau justru mengatakan ia sedang berpura-pura?" ujarnya seakan-akan menahan emosinya padaku. Sebenarnya, siapa disini yang berhak emosi? Aku! Aku yang berhak!
"Yeol.. Percayalah.. Dia hanya berpura-pura untuk__"
"CUKUP!! Kau berubah.." ujarnya memotong perkataanku. Wajahnya terlihat sendu.
Chanyeol mengangkat tubuh gadis itu di depanku. Menggendongnya di hadapan bola mataku. Dia melangkah pergi meninggalkanku dan aku hanya bisa menatap kepergiannya. Dia lebih mempercayai gadis itu daripadaku.
"Kau benar-benar bodoh, Yeol!! Bodoh!"
Gadis itu tersenyum sinis kearahku tanpa sepengetahuan Chanyeol dan melingkarkan tangannya di leher Chanyeol. Kakiku terasa lemas. Kepalaku terasa pening mengingat kata demi kata yang keluar dari mulut Chanyeol setelah sekian lama aku tak mendengar suara bassnya itu. Aku hanya bisa menangis dan menangis. Semua rencana hari ini gagal. Harapanku akan hari ini sirna. Yang ada hubunganku dengannya semakin jauh dan jauh saja.
Mata sembabku ini membuat murid lain menatapku aneh. Mungkin saja mereka berpikir jika aku dianiaya oleh ibu tiriku seperti di film-film. Aku hanya bisa menunduk sambil terus berjalan menuju kelasku di lantai 2. Aku memang benar sudah dianiaya. Dianiaya oleh cinta seorang pria bodoh seperti Park Chanyeol.
"Aish!! Memalukan." desisku melihat sekeliling.
Author POV
Chanyoung berlari menuju suatu tempat penyimpanan perlengkapan untuk pertunjukkan. Dengan tergesa-gesa Chanyoung mengobrak-abrik seluruh isi perlengkapan dalam laci, tanpa merapihkannya terlebih dahulu, ia justru pergi entah kemana. Dengan napas yang tersenggal-senggal karena terus berlari hampir mengelilingi seluruh bagian sekolah yang terbilang sangat luas itu, Chanyoung terus menoleh kekanan dan kekiri seperti tengah mencari seseorang.
Langkah Chanyoung terhenti tatkala melihat seorang gadis yang sedang berjalan di tengah-tengah kerumunan dengan terus menunduk. Chanyoung menghampiri Ara dan memakaikan sebuah kaca mata hitam secara tiba-tiba dan berhasil membuat gadis itu kebingungan. Chanyoung menarik tangan Ara dan menggenggamnya. Menuntun gadis itu ke sebuah taman belakang sekolah. Chanyeol menatap kepergian mereka di balik sebuah tiang yang menutupi tubuhnya.
Ara dan Chanyoung duduk di sebuah bangku tepat di bawah pohon yang cukup rindang, yang membuat udara terasa sejuk dengan pasokan oksigen yang cukup memadai. Ara melepaskan kaca mata hitam yang membuat pandangannya terlihat lebih gelap.
"Apa kau usai menangis?"
"Ya. Se-dikit." jawab Ara sambil menyipitkan mata bengkaknya.
"Sedikit? Berapa jam? Satu jam? Dua jam?"
"Aish! Sudahlah. Hibur aku dengan cara lain saja!"
"Siapa yang sedang menghiburmu?"
"Ck! Terserah kau saja." ujar Ara terkekeh pelan membuat matanya hanya segaris. Chanyoung yang melihat itu pun tersenyum.
Dalam sekejap, suasana pun mencair begitu hangatnya. Dengan sebuah perbincangan kecil, mampu membuat Ara sejenak melupakan kejadian barusan. Mereka tertawa bersama dengan hembusan angin yang cukup dingin namun menghangatkan suasana diantara mereka. Chanyeol justru hanya mengamati mereka dari kejauhan dan tak mampu melakakukan apapun.
"Kau mampu membuatnya tersenyum tanpa beban. Sedangkan aku? Aku hanya bisa membuatnya sedih dan menangis karena kebodohanku sendiri." gumam Chanyeol.
Chanyeol berbalik dan melangkah pergi menjauhi mereka. Chanyoung menyadari kehadiran Chanyeol, tawanya dalam sekejap terhenti. Menatap sendu Chanyeol yang sedang melangkah pergi dan meyakini bahwa Chanyeol melihat kebersamaannya bersama Ara barusan. Chanyoung berpamitan pada Ara, berniat mengejar Chanyeol.
"Hyung! Chanyeol hyung!!" teriaknya.
Tiba-tiba Chanyeol menghentikan langkahnya, ia paham betul siapa orang yang memanggilnya seperti itu. Chanyeol pun menoleh.
"Hyung! Semuanya tidak seperti yang kau bayangkan. Aku hanya__"
Chanyeol menepuk pundak kanan Chanyoung pelan. Ia tersenyum kecil.
"Aku tahu. Apa kau masih ingat permintaanku waktu itu?"
Chanyoung mengangguk dan hendak menyebutkan permintaan Chanyeol padanya. Namun, segera dipotong oleh ucapan Chanyeol.
"Aku akan meralatnya. Waktu itu aku memintamu menjaganya untukku hanya sebagai seorang teman. Namun sekarang, aku ingin kau menjaganya bukan untukku lagi. Tetapi kau harus benar-benar menjaganya. Dan kau boleh mengambilnya dariku." ujar Chanyeol.
"Mengambil bukan artian barang atau sejenisnya. Namun, aku menyerahkannya sebagai seseorang yang sangat berharga bagiku." tambahnya.
Chanyoung terdiam mendengar kata demi kata yang keluar dari seseorang yang ia sebut 'Hyung'. Chanyeol lagi-lagi mengukir senyumnya yang terlihat jelas dibuat-buat itu.
"Hyung.."
"Apa?! Kau mau menolak perintah hyungmu ini?! Adik macam apa kau ini?!" ujar Chanyeol sedikit bergurau pada Chanyoung yang ternyata adiknya. Tidak heran mereka mempunyai banyak kemiripan secara fisik ataupun sikap. Tak banyak yang tahu mereka ternyata bersaudara, termasuk Ara.
Dua hari jelang pertunjukan musikal drama. Chanyeol terlihat sedang berlatih akting untuk penampilannya nanti di atas panggung. Keringat bercucuran di wajah bahkan sekejur tubuhnya. Namun, rasa lelah tersebut tidak membuatnya lantas berhenti berlatih. Ia justru terus berlatih sampai langit berubah menjadi gelap gulita. Chanyeol tipe orang yang selalu maksimal dalam melakukan sesuatu. Tetapi hari ini, ia terlalu berlebihan dalam berlatih.
Dengan napas yang masih tersenggal-senggal karena terus berlatih dance sejak tadi, Chanyeol terduduk dengan kedua kaki yang menjulur ke depan dengan kedua lengan yang menempel pada lantai sebagai tumpuan. Tatapannya terlihat sendu, ia seperti sedang memikirkan sesuatu. Diraihnya ponsel yang sejak tadi tergeletak di samping botol air mineralnya yang belum tersentuh sedikitpun. Dilihatnya layar ponsel itu dengan tatapan yang semakin sendu. Terlihat hasil jepretan fotonya bersama Ara. Di foto itu, mereka terlihat bahagia dengan senyuman yang terukir di sudut bibir mereka masing-masing.
Brakk!!!
Chanyeol tiba-tiba saja membanting ponsel yang sedang ia genggam tadi. Raut wajahnya berubah, ia seperti sedang menahan amarah. Napasnya terdengar memburu menandakan ia benar-benar marah saat ini. Chanyeol seperti hilang kendali, ia beranjak berdiri dan langsung memukul dinding dengan cukup keras dengan tangannya. Tidak hanya satu kali, tetapi berulang kali ia lakukan itu sampai tangannya terluka dan mengeluarkan darah segar. Chanyeol kembali terduduk dengan punggung yang menyandar pada dinding, terlihat darah yang terus menetes dari permukaan tangannya.
"Hyung, kau masih menyukainya bukan?"
Chanyoung muncul di balik pintu yang tentu saja membuat Chanyeol terkejut. Ia segera menyembunyikan tangannya yang terluka itu. Chanyoung menghampiri Chanyeol dengan langkah pasti seperti di adegan film laga yang mana kedua pemeran utama pria muncul.
"Untuk apa kau membohongi dirimu sendiri? Kau tidak melakukan apapun untuk mempertahankannya dan justru menyakiti dirimu?" tanya Chanyoung sambil menatap sendu kakaknya.
"Apa maksudmu?"
Chanyeol menatap sinis adiknya itu dan beranjak berdiri mensejajarkan posisinya dengan Chanyoung. Mereka berdiri berhadapan dengan tatapan mereka masing-masing.
"Hyung, aku tahu kau mencintainya. Dan aku mohon berhenti bertindak bodoh." ujar Chanyoung lirih sambil berusaha meraih tangan Chanyeol yang terluka.
"Jangan sok tahu tentangku!! Dan satu hal lagi, jangan perduli padaku." bentak Chanyeol sambil menepis kasar tangan Chanyoung dan beranjak pergi meninggalkan tempat itu.
"Hyung__"
"Berhenti memanggilku dengan sebutan itu!! Aku bukan lagi saudaramu setelah kau meninggalkan ibu dan lebih memilih ayah dengan kehidupan mewahnya."
Chanyeol memotong perkataan adiknya dan menoleh sekilas dengan wajah penuh emosi. Napasnya memburu berusaha menahan amarahnya.
"Hyung.." ucap Chanyoung sambil berjalan menghampiri Chanyeol. Ia berusaha meraih pundak kakaknya.
Buk!
"Apa kau bodoh?!" bentak Chanyeol dengan rahangnya yang mengeras. Menatap adiknya penuh amarah sebelum beranjak pergi tanpa memperdulikan rasa sakit di sudut bibir adiknya yang berdarah karena perbuatannya barusan.
Ara POV
Cahaya mentari yang menerobos melalui celah ventilasi kamar berhasil membangunkanku, sungguh ingin rasanya aku hanya tidur seharian di rumah untuk hari ini. Mengingat hari ini, aku teringat akan sosok pria jangkung yang membuatku menjadi gadis gila yang terus mengharapkannya. Bodoh!
Aku membasuh wajahku dengan air lalu menatap pantulan diriku di cermin, menatap sendu seorang gadis yang terlihat sangat menyedihkan hanya karena seseorang yang begitu berharga di masa lalunya. Ya, masa lalu. Dia hanya sebagian kecil dari masa laluku, satu-satunya pria yang membuatku nyaman untuk menceritakan keluh kesahku padanya tanpa ada yang terlewatkan. Seorang pria yang selalu memberikan bahunya dengan suka rela menjadi tempat sandaranku ketika bersedih. Dia, hanya dia. Park Chanyaeol.
Aku meraih tas selempengan yang tergantung begitu saja berniat untuk sekedar mencari udara segar yang mampu menghilangkan kepenatanku karenanya. Hari ini bukanlah hari libur, hanya saja sekolah sedang mengadakan sebuah acara pertunjukkan yang sangat menjijikkan. Aku lebih memilih bolos daripada harus melihatnya berakting dengan gadis sialan itu.
Kulangkahkan kakiku tanpa tujuan yang pasti. Terlihat sebuah halte yang tidak terlalu ramai, aku memilih untuk beristirahat sejenak setelah dirasa kaki cukup pegal karena terus berjalan. Suasana hening membuatku kembali merenung akan masa lalu.
Flashback >>>>
“Semua ini karenamu! Karenamu kita terjebak dalam hujan seperti ini! Dasar bodoh! Aku membencimu!” bentak Ara pada Chanyeol yang terlihat acuh dan hanya duduk manis di bangku halte.
Ara melirik Chanyeol dengan wajah kesal, pria itu benar-benar tidak waras. Hari sudah hampir gelap dan ia masih bisa duduk manis menunggu hujan deras itu usai.
“Yak! Park Chanyeol! Berpikirlah sesuatu! Jangan hanya duduk manis dan menunggu hujan reda sampai esok hari!!”
“Apa? Kenapa aku yang harus berpikir? Kenapa tidak kau saja?!” cibir Chanyeol.
“Aku sudah berpikir. Sekarang giliranmu!”
“Sejak tadi aku hanya melihatmu terus mengoceh, kapan kau berpikir?”
Pletak!!
Ara memukul kepala Chanyeol karena terus bertindak menyebalkan. Gadis itu memasang wajah garangnya yang justru terlihat lucu. Chanyeol hanya mendesah pelan, ia hanya berpikir kapan gadis dihadapannya itu bisa bersikap dewasa sesuai dengan usianya yang terus beranjak.
“Berhenti bertindak menyebalkan, bodoh!”
Chanyeol melepaskan jaket seragamnya dan hanya kemeja putih yang melekat di tubuhnya, Ara mengernyit bingung.
“Apa yang kau lakukan?”
Chanyeol memakaikan jaket seragamnya pada tubuh Ara yang sejak tadi terihat kedinginan.
“Jangan berpikiran yang bukan-bukan tentangku.”
Chanyeol meraih tangan Ara dan menggenggamnya erat, ia meraih tasnya untuk dijadikan pengganti payung seperti dalam drama-drama di televisi. Mereka pun berjalan bergandengan di bawah guyuran hujan yang cukup lebat. Ara hanya menatap Chanyeol bingung akan sikap pria itu terhadapnya.
Flashback end <<<
Tanpa aku sadari, rintikan hujan turun membasahi bumi, walau tidak sederas seperti waktu itu, namun cukup berhasil membuat hatiku teriris mengingatnya. Mengingat kenyataan bahwa sosoknya tak ada lagi di sampingku, tidak seperti dahulu duduk manis persis dimana aku duduk sekarang. Dia telah berubah. Chanyeol yang dulu selalu ada untukku tidak ada lagi, dia telah mati. Ya, dia telah mati bersama kenangan yang terkubur seiring berlalunya waktu.
Aku menoleh menatap butiran air hujan yang terus jatuh tertiup oleh hembusan angin. Namun, pandanganku menangkap sosoknya di sebrang jalan sana. Lantas aku beranjak, namun seperkian detik kemudian aku teringat akan pertunjukkan itu, tidak mungkin itu dia. Aku terlalu bodoh untuk terus mengharapkan kehadiranya.
Guyuran air hujan tak menghentikan langkahku menuju sebuah tempat dimana aku selalu meluapkan perasaanku disana, sungai han. Tempat itu menjadi sumber rahasiaku, ditempat itulah aku selalu meluapkan semuanya. Tentang hidupku, tentangnya, dan tentang perasaanku. Menatap genangan air dengan bermacam bayangan ranting pohon membuatku semakin terlihat bodoh. Tanpa aku kehendaki, bola mataku terasa panas dan mulai mengeluarkan cairan bening yang sangat aku benci, cairan bening yang selalu menyadarkanku bahwa aku telah kalah oleh perasaanku sendiri.
Menutup mata membuatku selalu teringat akan dirinya, pikiran dan hatiku selalu memunculkan gambaran tentangnya, tentang kebersamaan kami dulu. Dua orang yang saling mengikrarkan janji untuk menjadi sahabat, dua orang yang selalu bertengkar hanya karena hal kecil dan berakhir dengan canda tawa karena kebodohannya. Dua orang itu kini saling acuh dan menghindar satu sama lain karena perasaan bodoh dalam hatiku.
"Ternyata kau disini. Apa kau masih sering ke tempat ini?" ujar seseorang membuyarkan lamunanku.
Suara itu..
Suara itu terdengar sangat familiar di telingaku. Suara bass yang sangat aku rindukan karena berbulan-bulan aku tidak mendengar suara itu. Suara seseorang yang selalu hadir dalam pikiranku dan mengusik ketenangan hidupku setiap detiknya.
Tepat dihadapanku, sepasang sepatu berwarna coklat yang tak aku ketahui siapa pemiliknya. Yang jelas, ada seseorang sedang berdiri tepat di depanku yang sedang menunduk sejak tadi. Aku enggan hanya sekedar untuk mendongak, terlalu menakutkan karena mengharapkan kehadirannya yang terasa mustahil. Aku menggelengkan kepala agar otakku tidak berhalusinasi tentangnya, aku tidak boleh menjadi gila karenanya. Tidak boleh!
"Sadarlah! Jung Ara, sadarlah.." gumamku.
"Apa yang sedang kau lakukan, Ahra-ya?"
Aku lantas terkesiap tatkala mendengar suara bass itu lagi. Sebuah tangan menyentuh pundakku dan langsung kutepis dengan kasar. Aku beranjak berdiri untuk melihat siapa pemilik tangan yang dengan beraninya menyentuh pundakku.
"K-kau?! Bagaimana bisa kau disini?"
"Tentu bisa. Memangnya apa yang tidak bisa aku lakukan untukmu?"
"Eh?"
Aku menatapnya, menatap Chanyeol dengan tatapan tak percaya. Bukankah seharusnya ia berada di pertunjukkan sekarang? Bagaimana bisa berada disini saat ini? Apa aku berhalusinasi? Tidak mungkin! Seseorang, aku mohon cubitlah permukaan kulitku untuk kembali menyadarkanku ke alam nyata.
"Aku saja bisa membuatmu jatuh cinta padaku."
Deg!!
Aku mohon, bangunkan aku dari mimpi indah ini. Aku terlalu takut untuk terbangun esok hari jika mimpi ini terus berlanjut.
"Ja-jatuh cin-ta?"
"Hm. Kau sudah lama suka padaku bukan?" tanyanya sambil mendekat ke arahku, mendekatkan wajahnya untuk mensejajarkannya denganku.
Demi apapun itu, saat ini aku tidak tahu cara bernapas. Dadaku terasa sesak melihatnya dalam jarak sedekat ini. Jantungku berdebar. Darahku mendesir. Tanganku terasa sangat dingin. Ditambah kaki yang terasa lemas. Aku rasa aku akan mati muda jika tetap seperti ini.
"Suka? Padamu? Ti-tidak." ucapku tergagap sambil memalingkan wajahku darinya. Menatapnya terlalu beresiko untukku.
"Ahh.. Kau tidak suka padaku. Tetapi kau jatuh cinta padaku." ucapnya lagi.
Apa dia senang menggodaku seperti ini?
Chanyeol melangkah mendekat lagi, membuat jarak kami semakin dekat. Aku yang terlalu gugup, lebih memilih untuk menghindar dan kembali duduk di tepian sungai.
"Ti-dak."
"Sudahlah. Kau jujur saja padaku! Di wajahmu itu tertulis jelas AKU MENCINTAI PRIA TAMPAN BERNAMA PARK CHANYEOL." ujarnya sambil duduk bersebelahan denganku.
"CK! Mana ada yang seperti itu?" cibirku.
"Masih mengelak rupanya. Cobalah bercermin! Bola matamu itu kini berubah bentuk menjadi bentuk hati saat menatapku."
"Sudahlah! Berhenti berkata omong kosong seperti itu." ucapku ketus.
Kenapa ia berubah menjadi percaya diri sekali seperti itu? Menyebalkan!
"Baiklah. Jika dugaanku salah, lebih baik aku pergi saja dari sini."
Chanyeol beranjak. Sungguh, aku tidak ingin mimpi indah ini berakhir seperti ini. Aku tidak ingin karena kebodohan dan keegoisanku aku kehilanganya lagi untuk kedua kalinya. Jika ini hanyalah sebuah mimpi, aku tidak ingin menyesal untuk kedua kalinya. Setidaknya aku jujur padanya untuk kali ini saja.
"Aku menyukaimu." ucapku mantap sambil berdiri tegap menghadap punggungnya yang tak terlalu jauh dari tempatku berpijak.
Langkahnya terhenti. Chanyeol menatapku, seperkian detik kemudian seulas senyum terlukis diwajah tampannya.
"Apa? Kau berkata apa?" ledeknya. Berpura-pura tuli adalah keahliannya.
"Aku menyukaimu." ucapku malas sambil memalingkan wajahku kearah lain. Saat ini, ia terlalu menyebalkan untuk kutatap.
"Aku tidak bisa mendengarnya. Lagipula, mana boleh berbicara sambil memalingkan wajah seperti itu."
Chanyeol mendekat kearahku lagi dengan seulas senyum penuh kemenangan. Dasar! Tiang listrik!
"Baiklah."
Aku mendesah. Dia terlalu menyebalkan!
Mana boleh wanita yang menyatakan cinta terlebih dahulu?
Dasar pria bodoh! Bisa-bisanya aku menyukai pria macam dia seperti itu.
"AKU MENYUKAIMU PARK__"
CHU
"Yak!! Apa yang kau lakukan?!"
Aku memegang pipi sebelah kananku yang telah ternodai olehnya. Sungguh, aku ingin mencekiknya detik ini juga!
"Mana boleh menyatakan cinta dengan volume sekeras itu? Apa kau sangat mencintaiku hingga rasa malumu itu hilang?"
"Yak!! K-KAU__"
"Apa kau ingin mendapatkan hukuman lagi dariku? Kau benar-benar gadis agresif rupanya." ujarnya dengan menyipitkan matanya.
"Berhenti berbicara atau aku akan membunuhmu!!" ancamku dengan mengangkat kepalan tanganku tepat dihadapan wajahnya.
Chanyeol justru tersenyum. Ia menatapku dalam dan mendekatkan wajahnya pada wajahku. Aku menatapnya bingung dan lantas membulatkan mata tatkala jarak wajah kami yang begitu dekat hanya beberapa senti. Aku segera menutup bibirku dengan tangan kananku, takut sesuatu yang buruk akan terjadi pada bibirku seperti halnya pipi kananku tadi.
"Apa yang kau pikirkan? Kenapa kau menutup bibirmu seperti itu? Dasar gadis mesum." ucapnya sambil menjentikkan jarinya pada keningku. Alhasil, muncul semburat merah di keningku.
Aku merasakan malu yang teramat sangat, sementara Chanyeol mengacak rambutku dan tersenyum melihat wajahku yang terkejut akan tindakannya barusan. Ternyata Chanyeol hanya berusaha mengambil daun kecil yang menempel pada rambutku. Namun, ia memang berniat menggodaku dan membuatku malu karenanya. Dasar licik!
Aku menatapnya sinis. Ia berhasil membuatku malu dengan memanfaatkan perasaan sialanku ini terhadapnya. Darahku mendesir, bukan karena merasa gugup, melainkan kekesalanku padanya sudah mencapai puncak. Dia benar-benar menyebalkan!
"Yak! Park Chanyeol! Aku membencimu!!"
Aku memukul lengannya sekaras mungkin dan menendang kakinya yang semakin bertambah panjang saja dari hari ke hari. Rasakan pembalasanku, Park Chanyeol!!
"Yak! Jung Ahra, berhentilah memukulku! Atau aku tolak kau menjadi pacarku?" ujarnya seraya menghindar dari seranganku.
"Terserah kau saja! Apa perduliku?!"
"Ayolah, maafkan aku, hm? Biar aku belikan es krim, bagaimana?"
"Tidak." aku melipatkan tanganku di depan dada tanda penolakanku terhadap sogokannya yang murahan.
"Benar kau tidak mau?"
"Baiklah! Baiklah! Aku maafkan, tetapi dengan syarat kau harus menghabiskan dua mangkuk jjajangmyun. Bagaimana?"
"Baiklah." ujarnya pasrah.
Aku tersenyum puas akan kemenanganku kali ini. Aku melangkah menyusuri jalan dengannya, dengan seseorang dari masa laluku. Dia kembali. Dia kembali ke sisiku seperti sebuah keajaiban. Aku berjanji, tidak akan melepaskan tangan yang sedang aku genggam erat saat ini. Aku menyukainya, menyukai pria jangkung yang menyebalkan itu.
Author POV
"Yeol, bagaimana dengan pertunjukkanmu?" tanya Ara teringat akan pertunjukkan itu.
"Aku pergi setelah beradegan mesra dengan Jihyun." ucap Chanyeol datar tanpa memperdulikan perubahan raut wajah gadisnya itu.
Pletak!!
"Yak! Kenapa kau memukulku?!"
"Kau menyebalkan." ketus Ara.
"Aku hanya bercanda, Ahra-ya. Aku tidak ikut dalam pertunjukkan itu."
"Berhenti memanggilku Ahra! Namaku Jung Ara! Ara!" bentak Ara pada Chanyeol yang selalu saja salah mengucapkan namanya.
"Ne, arraseo! Chagi-ya."
Uhuk! Uhuk!
Ara tersedak oleh makanannya akibat penuturan Chanyeol. Gadis itu menatap garang pria dihadapannya itu.
"Jangan memanggilku seperti itu, bodoh! Itu menjijikkan."
Chanyeol hanya tersenyum. Baginya, hari ini adalah sebuah keajaiban yang begitu luar biasa. Bisa melihat gadis itu tersenyum karenanya dan mendengar ocehannya lagi seperti sebuah mimpi indah baginya. Berada di sisi gadis itu lagi membuatnya menyadari bahwa cinta memang harus butuh pengakuan. Sebuah keterbukaan adalah awal dari segalanya.
"Aku harap kau akan selalu tersenyum. Jangan pernah menangis lagi. Karena kau benar-benar terlihat jelek ketika menangis" -Park Chanyeol-
END
Tidak ada komentar:
Posting Komentar