Love is Acknowledge
Title : Love is Acknowledge
Author : IpoNovi23
Cast :
Jung Ara
Park Chanyeol
Park Chanyoung
Genre : School life, Romance, and friendship
Rating : 15+ (?)
Maaf apabila banyak typo bertebaran:'x
Cerita ini tidak mengandung unsur menarik!!
Menyebabkan bosan akut dengan alur yang mudah ditebak!!!!xD
Hihihihi>_<
Jika tidak berkenan untuk membaca, silahkan tinggalkan halaman ini dan mencari cerita yang lebih menarik dan berkualitas.
Cerita ini hanya untuk para pembaca yang bersedia dengan ikhlas membuang waktunya untuk menyempatkan membaca^^
Semoga tidak timbul penyesalan dari para readers..TT
Selamat membaca->->->->->->>>
"Cinta itu sederhana. Hanya butuh pengakuan dari orang yang merasakannya."
Author POV
Seorang gadis tengah berdiri sambil memainkan ujung sepatunya dengan terus menunduk. Gadis berseragam dengan rambut hitam sepunggung sedikit bergelombang pada bagian bawahnya itu, ia biarkan terurai begitu saja. Hembusan angin yang cukup menusuk kulit putihnya itu, tidak lantas membuatnya beranjak dari tempatnya berpijak saat ini. Gadis cantik itu tetap berdiri di depan gedung sekolahnya, walaupun lebih dari satu jam yang lalu bel pulang sekolah itu bergeming.
Kedua pipi chubby gadis itu menggembung, menandakan ia mulai merasa bosan akan aktivitas yang sedari tadi ia lakukan. Aktivitas yang hanya berdiri lebih dari satu jam, yang tentunya cukup membuat kaki gadis itu merasa pegal. Gadis itu menoleh ke arah gedung sekolahnya yang bernuansa coklat itu, berharap menemukan seseorang yang sedang ia tunggu sejak tadi. Namun nihil, tak ada seorang pun terlihat oleh sejauh pandangan matanya itu. Gadis itu tampak kecewa, ia merasa tidak ada gunanya terus menunggu seseorang yang mungkin tak pernah akan datang untuk menemuinya saat ini.
"Bodoh! Kenapa aku bisa mempercayai perkataannya?"
"Dengan bodohnya aku menunggu berjam-jam. Bodoh! Kau bodoh, Jung Ara."
Gadis bernama Jung Ara itu terus memaki dirinya sendiri atas perbuatan yang menurutnya bodoh itu, menunggu seseorang berjam-jam yang tak mungkin datang hanya karena ia ingin mempercayai lelaki itu. Dengan memukul-mukul kecil kepalanya, ia berusaha meredam emosinya yang bergejolak. Namun, tiba-tiba saja sebuah tangan meraih lengan Ara dan otomatis aktivitas penganiayaan diri sendiri itu terhenti. Gadis itu mendongak berniat melihat wajah seseorang yang berani meraih tangannya itu. Ara bukanlah gadis biasa, ia jago bela diri dan juga ahli dalam spesialis olahraga, khususnya basket. Jadi, tidak sembarangan orang bisa berani menyentuh permukaan kulit Ara begitu saja.
"Kenapa kau memukul kepalamu sendiri? Apa kau berniat melukai kepalamu itu?"
Gadis itu menghela napas kasar, merasa muak melihat wajah seseorang yang sudah membiarkannya menunggu berjam-jam di depan gerbang sekolah, dengan udara yang cukup dingin. Ara melirik sekilas wajah tanpa dosa lelaki sialan itu, namun, tidak dipungkuri olehnya rasa bahagia yang menjalar dalam tubuhnya ketika melihat wajah tampan lelaki itu.
"Apa perdulimu? Lepaskan tanganku!" ujar Ara ketus.
Ara memasang wajah garang menatap lelaki itu, ia benar-benar kesal atas tingkah lelaki itu beberapa hari belakangan ini. Selalu saja membuatnya kesal dan naik darah, pernah terpikir oleh gadis itu untuk mencekik leher lelaki itu, namun akal sehatnya masih melekat dalam otaknya dan juga ia masih mempunyai hati nurani yang selalu memberitahunya bahwa ia harus terus bersabar menghadapi lelaki itu.
"Maafkan aku, Ahra-ya. Aku lupa ada janji denganmu sore ini." lirih lelaki itu masih menggenggam tangan Ara.
Ara mendesis mendengar penuturan lelaki itu. Gadis itu dengan kasar melepaskan tangannya dari genggaman lelaki itu. Menatap binar mata teduh lelaki yang menurutnya telah berubah itu. Lelaki yang telah berhasil memenuhi pikirannya saat ini. Lelaki yang dulu mengikrarkan diri sebagai sahabatnya itu. Lelaki yang selalu menjadi pusat perhatiannya. Lelaki yang berhasil membuat jantungnya berdegup kencang hanya dengan mengingat namanya. Dan lelaki yang telah berhasil membuat Ara merasa seperti gadis gila setiap harinya.
"Namaku Ara. Berhenti memanggilku Ahra! Dan tentang permintaan maafmu itu__"
Bug!!
Ara menendang kaki lelaki itu dengan ujung sepatunya cukup keras. Rasa kesalnya mencapai puncak dan batas kesabarannya sudah melewati batas yang telah ditentukan. Lelaki itu meringis kesakitan akibat berbuatan Ara barusan. Mungkin saja timbul warna kebiruan pada kakinya nanti.
"Aku membencimu, Park Chanyeol!"
Ara melangkah pergi tanpa memperdulikan lelaki yang ia sebut Chanyeol itu yang tengah kesakitan. Gadis itu tampak menahan amarahnya yang belum sempat ia luapkan semuanya pada lelaki itu. Mungkin saja jika ia luapkan semuanya, tamatlah riwayat lelaki itu hari ini juga.
"Hey! Jung Ahra! Mau kemana kau?!" teriak Chanyeol. Namun tidak digubris oleh Ara sedikitpun. Gadis itu mengabaikan teriakan Chanyeol dan terus melangkah pergi meninggalkannya.
Bukannya pergi menuju rumahnya, Ara justru lebih memilih pergi ke tepi sungai Han. Sungai itu cukup terkenal di Korea Selatan khususnya para remaja disana. Karena di tempat itu-lah para remaja biasa menghabiskan waktu luang dengan pasangan mereka masing-masing. Tetapi tidak dengan Ara, dia hanya sendirian. Gadis itu menatap sendu matahari yang mulai tenggelam sehingga menciptakan pemandangan yang cukup indah. Hari pun semakin gelap tatkala matahari tenggelam sepenuhnya.
Ara POV
"Kenapa sunset tidak terlihat indah seperti biasanya?"
Duduk sendirian di tepi sungai Han sambil menanti matahari tenggelam sudah menjadi rutinitasku beberapa hari belakangan ini. Aku mendesah pelan tanpa aku sadari, mendesah dan terus mendesah. Seperti ada kekecewaan di dalam hatiku yang membuatku selalu melakukan hal itu.
Mengingat kejadian-kejadian tempo hari maupun hari ini, membuat dadaku semakin terasa sesak saja seperti ada bongkahan batu yang mengganjal. Aku bingung apa yang terjadi pada diriku saat ini. Perasaan yang seharusnya tak boleh aku rasakan terhadapnya, membuatku seperti orang bodoh yang tidak tahu harus melakukan apa. Perasaan ini justru membuatku semakin jauh darinya. Merasa sangat canggung ketika berada di dekatnya, membuatku selalu menghindar dan menutup diri, takut jika ia menyadari perasaanku terhadapnya. Detak jantungku dan juga anggota tubuh lainnya terasa tidak karuan ketika mengetahui ia sedang melangkah mendekat kearahku sambil terus melontarkan sebuah senyuman yang terukir di sudut bibirnya.
Perasaan yang baru aku sadari beberapa hari belakangan ini membuatku bingung harus bersikap apa padanya. Aku yang berstatus sebagai sahabatnya, kini justru hatiku meminta lebih dari status itu. Sungguh, aku ingin memberontak dan mengatakan 'tidak' pada perasaan ini, namun apa daya, semakin aku bersikeras mengatakan tidak, justru perasaan ini semakin kuat menunjukkan bahwa aku menyayanginya lebih dari seorang sahabat.
Mungkin benar, seorang lelaki dan seorang wanita tidak bisa bersahabat tanpa ada rasa ketertarikan lebih dari salah satu pihak. Dalam persahabatanku dengan Chanyeol, salah satu pihak itu adalah aku. Dan bodohnya, aku membenarkan pernyataan yang sejak dulu sangat ku tentang itu. Jika dikatakan, aku saat ini sedang berperang dengan hatiku sendiri yang sangat sulit ku menangkan. Dan sialnya, pikiranku pun mulai berpihak pada hatiku.
Aku beranjak saat dirasa hari sudah gelap dan tinggal aku sendiri yang masih setia berada disana. Belum sempat melangkah, aku justru terpaku di tempat itu. Mataku membulat sempurna ketika melihat lelaki itu sedang berdiri tegap di hadapanku saat ini. Entah sejak kapan ia berada disini, aku tidak tahu itu dan tidak terlalu memikirkannya. Yang aku pikirkan, untuk apa ia disini saat ini.
"K-kau? Ada apa?" tanyaku padanya karena ia menghalangi jalanku.
Chanyeol menghembuskan napas yang terdengar berat. Aku justru tak berani menatapnya dan hanya menunduk melihat tali sepatuku yang terikat cukup rapi.
Satu detik.
Dua detik.
Aku terus menunggu jawaban darinya. Ia tidak kunjung menjawab ataupun merespon pertanyaanku barusan dan hanya hembusan angin yang terdengar oleh gendang telingaku. Apa dia sudah pergi?
"Ahra-ya.. Ada apa denganmu, hm? Kenapa kau berubah belakangan ini?"
Deg!!
Pertanyaan yang tidak ingin aku dengarlah yang ia katakan. Pertanyaannya membuat detak jantungku kembali tak normal. Darahku mendesir. Aku tidak mungkin menjawab pertanyaan itu. Aku tak ingin mengakui perasaan ini. Terlebih lagi, aku tidak ingin merusak persahabatan kita. Aku tidak ingin karena perasaanku terhadapmu saat ini, membuat kita semakin jauh dan terasa canggung satu sama lain. Dan sebernarnya, hal yang paling aku takuti adalah perasaanmu terhadapku yang aku yakini hanya sebatas sahabat saja dan tidak akan mungkin lebih dari itu. Itu hal yang paling aku takuti. Takut akan harapan semu yang tak mungkin menjadi sebuah kenyataan.
"W-wae? Be-berubah? Apa maksudmu?" ujarku gugup.
Wajahku pasti terlihat bodoh.
Baiklah. Aku gadis bodoh dan justru berpura-pura bodoh, menambah tingkat kebodohanku saja jika berbicara dengannya. Ya Tuhan! Ada apa denganku? Kemana hilangnya rasa percaya diriku selama ini?
"Belakangan ini kau selalu menghindar dariku. Apa kau tidak menyadarinya? Menyapaku saja tidak. Kita tidak pernah saling berbicara belakangan ini." ujarnya tegas dengan suara bassnya itu.
Aku hanya menunduk. Menatapnya terlalu beresiko untukku saat ini, selain berbahaya bagi jantung, aku takut tidak bisa berbicara untuk menjawab pertanyaannya. Yang lebih parahnya lagi, aku takut lupa cara bernapas jika menatap manik mata coklatnya itu.
"Apa maksudmu? Mungkin aku terlalu sibuk. Lagipula belakangan ini aku harus les gitar bersama Eunsoo. Iya, les gitar." jawabku sekenanya yang terlintas di otakku saat ini. Sambil tersenyum kikuk, aku melirik wajah tampannya yang terlihat sayu. Apa dia kelelahan?
Mata bulatnya kini terlihat aneh dengan lingkaran hitam layaknya panda, dengan sedikit kantung di bawah mata teduhnya itu. Aku menatapnya sendu. Sahabat macam apa aku ini?
Aku sama sekali tidak mengetahui apa yang dilakukan Chanyeol sampai mata teduhnya berubah menjadi seperti itu. Aku justru sibuk memikirkan perasaan sialan ini.
"Ahra-ya. Kita sudah saling mengenal cukup lama. Apa aku terlihat bodoh dimatamu? Aku memahami sifatmu. Kenapa kau harus berbohong padaku?"
Deg!!
Seperti ada sebuah belati menusuk relung hatiku. Hatiku terasa sangat sakit mendengar perkataannya. Entah bagian kata mana yang membuat hatiku terasa sakit, aku tak mengerti apa yang aku rasakan. Jika benar ia memahami sifatku, seharusnya ia tak perlu bertanya padaku tentang semua ini. Dia membuatku menjadi orang terbodoh dari yang terbodoh sekalipun. Berhenti berbicara atau aku akan membencimu, Park Chanyeol.
"Aku sama sekali tidak mengerti perkataanmu dari awal. Sebenarnya apa maumu?" tanyaku sinis.
"Aku hanya ingin kau jujur padaku. Apa yang terjadi padamu? Apa kau tahu, kau mengabaikanku beberapa hari ini."
"Ck! Semua urusanku tidak bisa aku ceritakan semuanya padamu. Aku butuh yang dinamakan privasi. Lagipula, kita hanya berteman. Tidak lebih dari itu."
Aku melangkah pergi. Melangkah menjauhi sosoknya yang membuatku menjadi seorang gadis bodoh yang jahat. Cairan bening yang sedari tadi aku tahan akhirnya mengalir dengan bebas menerobos pelupuk mataku. Tebing pertahanan yang telah lama aku bangun selama ini dengan susah payah, akhirnya roboh begitu saja dalam kurun waktu yang singkat.
Ya Tuhan!
Apa seperti ini rasanya cinta?
Kenapa aku justru merasa sangat sakit?
Kenapa tidak seperti orang lain yang mengatakan jika cinta itu indah?
Perasaanku ini telah mengalahkanku. Hatiku mengalahkan akal sehatku. Aku mengakui bahwa aku menyayanginya dan bahkan menyukai semua yang ada padanya. Jung Ara menyukai Park Chanyeol. Ya, itu benar adanya. Tetapi semua itu tidak berpengaruh apa-apa dan justru membuatku semakin frustasi akan perasaan ini.
Chanyeol POV
Aku mengikuti langkahnya dari belakang tanpa sepengetahuannya. Dia terus melangkah sambil terus menunduk tanpa memperdulikan sekitarnya. Sampai akhirnya ia menghentikan langkahnya di tepi sungai Han. Dia duduk sendiri sambil terus menatap matahari yang mulai terbenam dan akhirnya hari pun menjadi gelap.
Semua orang mulai beranjak pergi meninggalkan tempat itu, namun tidak dengan gadis itu, ia tetap diam tak bergeming. Sebenarnya apa yang sedang dipikirkan gadis itu sampai ia tetap bertahan dalam posisi terus menunduk sampai larut malam. Aku terus memperhatikannya dari jauh sampai kemudian aku melihatnya beranjak berdiri. Aku menghampirinya dan ia terlihat terkejut akan kehadiranku.
"Kau? Ada apa?" tanyanya.
Aku menghela napas kasar. Aku terdiam sejenak, mengingat akan sikap gadis yang berada di hadapanku itu belakangan ini. Sikapnya yang ceria entah hilang kemana. Belakangan ini ia selalu menghindar dariku dan terus mengacuhkanku seperti orang asing. Aku benar-benar bingung akan sikapnya itu, sederet pertanyaan bermunculan dibenakku, seperti, apa kesalahanku? Apa yang terjadi padanya? Cukup pertanyaan itu yang ingin saat ini aku lontarkan padanya. Dan yang aku tahu, ia bukanlah tipe gadis pendiam yang selalu menutupi masalahnya. Dia justru pribadi yang ceria dan terbuka dalam hal pemikiran kepadaku.
"Ahra-ya.. Ada apa denganmu? Kenapa kau berubah belakangan ini?" tanyaku.
Aku hanya bisa bertanya-tanya. Berbicara dan bertanya padanya saat ini, hanya menambah kebingunganku saja. Jawaban demi jawaban ia lontarkan dengan bahasa lugas yang membuatku cukup terkejut. Bukan karena kalimatnya yang lugas, melainkan kosa katanya yang menurutku cukup kasar dan terdengar sinis. Aku mengernyit bingung, sikapnya yang saat ini, bukanlah sikapnya yang dulu.
'Ada apa denganmu, Ara-ya?' pikirku.
Melihat dirinya yang seperti itu saat ini, entah kenapa membuat dadaku terasa sesak. Aku terus memikirkannya sampai seluruh tugasku terbengkalai. Mengkhawatirkannya sampai tidak bisa tidur dan akhirnya tercipta lingkaran mata panda yang jelek ini. Aku merindukan keceriaan dan sifat-sifatnya yang dulu, sifatnya yang selalu membuatku tertawa dan kesal dalam waktu yang bersamaan.
Dia yang selalu terbuka padaku, membuatku merasa nyaman berada di dekatnya. Pribadinya yang apa adanya berbeda dengan para gadis yang sering aku temui. Dia Jung Ara. Dia gadis yang berhasil menyita seluruh perhatianku terhadap gadis-gadis lain di luar sana. Dia gadis yang terlihat cantik hanya dengan tersenyum tanpa tersentuh oleh make up sekalipun. Dia gadis yang sederhana dengan segala kekurangan dan kelebihanya. Dia gadis yang membuatku merasa terkagum-kagum dari hari ke hari.
Tetapi ada apa dengannya?
Hanya dengan beberapa hari sikapnya berubah padaku. Aku terus berpikir apa salahku padanya. Namun nihil, waktuku yang terbuang sia-sia itu tidak menghasilkan apapun.
"Ck! Semua urusanku tidak bisa aku ceritakan semuanya padamu. Aku butuh yang dinamakan privasi. Lagipula, kita hanya berteman. Tidak lebih dari itu." ujarnya.
Deg!!
Aku hanya bisa terdiam tak bergeming. Mencerna kata per kata dari kalimat yang baru saja ia lontarkan. Aku hanya bisa menatap punggungnya yang semakin menjauh dariku. Menatap sosok gadis yang membuatku menjadi gila karena sikapnya itu. Kalimat yang baru saja ia lontarkan terus terulang secara otomatis dalam ingatanku.
'Lagipula, kita hanya berteman. Tidak lebih dari itu.'
Kalimat itu yang ia katakan penuh penekanan disetiap katanya. Aku tersenyum kecut mengingat bahwa aku secara tidak langsung sudah ditolak olehnya, padahal aku belum melakukan apapun untuk setidaknya berusaha. Aku seperti orang bodoh yang mengharapkan sesuatu yang tidak mungkin. Mengharapkan kemungkinan-kemungkinan manis yang akan terjadi dengan adanya perasaan ini. Namun kini, semua khayalan itu terdengar bodoh dengan perkataannya barusan.
Author POV
Hari demi hari terus berlalu. Jarum jam terus berputar sesuai porosnya mengikuti waktu yang terus berjalan tanpa henti. Waktu tidak akan berhenti atau bahkan terulang kembali meskipun keadaan dua insan yang tidak kunjung membaik. Mungkin hanya jarum jam yang bergerak mundur, tetapi tidak dengan waktu. Sejatinya, hanya perlu memperbaiki saat ini, detik ini, dan tak perlu mengulang waktu atau kembali pada masa lalu. Karena sesungguhnya masa lalu hanya sebuah kenangan yang sifatnya tidak nyata. Yang nyata adalah masa kini dan masa depan. Jadi, pergunakan waktu sebaik mungkin dan jangan sampai menyesal.
Satu minggu.
Dua minggu.
Satu bulan.
Dua bulan.
Sudah dua bulan berlalu sejak kejadian di tepi sungai Han. Kejadian tersebut membuat hubungan mereka semakin memburuk dan bahkan bertambah buruk dari hari ke hari. Tidak ada yang mengalah dari salah satu pihak. Mereka masing-masing berpegang teguh pada prinsip masing-masing yang mereka yakini kebenarannya. Sungguh disayangkan.
Tidak ada percakapan atau bahkan sapaan sekalipun. Mereka yang dulu sangat akrab, sekarang justru saling menghindar satu sama lain. Saling membuang muka seakan acuh saat berpapasan.
Ara yang berniat menuju perpustakan saat waktu istirahat, tidak sengaja berpapasan dengan Chanyeol di koridor sekolah. Namun mereka saling acuh dan berpura-pura tidak saling mengenal satu sama lain. Mereka hanya berjalan dengan arah yang berlawanan. Sungguh kekanak-kanakan.
Saat kembali dari perpustakaan, Ara membawa setumbuk buku materi yang harus ia bawa ke kelasnya. Namun karena jarak pandang yang tertutup oleh tumpukan buku, membuatnya terjatuh saat bagian lantai yang menurun. Namun beruntung, seseorang menahan tubuhnya agar tidak terjatuh menimpa kerasnya keramik dan akhirnya hanya buku-buku itu yang terjatuh berserakan di lantai.
"Terima kasih." ujar Ara tersenyum yang dibalas senyum balik oleh orang itu.
Ara memungut buku-buku yang terjatuh tadi.
"Biar aku bantu." ujar pria itu seraya membantu Ara memungut buku.
Mereka berjalan beriringan sambil masing-masing membawa sebagian buku tadi, walaupun bagian orang itu sedikit lebih banyak. Mereka saling berbincang dan tak lupa melempar senyum satu sama lain. Orang itu yang kini dekat dengan Ara bernama Chanyoung, seorang pria yang cukup tampan dan ramah. Mereka cukup akrab walau hanya dengan beberapa kali pertemuan saja.
Chanyeol menyibukan diri dengan padatnya jadwal latihan. Ia lebih mengfokuskan pada bidang akting semenjak kejadian itu, entah alasan apa yang sedang dipikirkannya. Padahal, Chanyeol lebih menyukai bidang musik terutama alat musik dibanding akting yang menurutnya membosankan itu. Menurutnya, dalam bidang musik ia bisa lebih berimajinasi sebebas mungkin, berbeda dengan akting yang harus ditentukan ini dan itu yang membuatnya merasa tertekan dan merasa tidak bebas. Namun semua itu kini hanya teori semata. Semuanya kini berjalan bertolak belakang seakan-akan ucapannya yang dulu itu hanya sebuah omong kosong belaka.
Ara POV
"Ara, kenapa belakangan ini kau selalu saja makan mie ramen setiap hari? Apakah perutmu itu baik-baik saja?" tanya Eunsoo heran.
Aku mengerti mengapa Eunsoo bertanya seperti itu. Dahulu, lebih tepatnya dua bulan yang lalu, aku selalu mengomelinya jika ia ketahuan olehku sedang memakan mie ramen yang menurutku tidak baik bagi kesehatan. Dan anehnya, kini aku justru yang mendapat pertanyaan darinya yang dulu sering aku lontarkan padanya.
"Tentu." jawabku singkat tak beralih pandang dari mangkuk besar berisi mie ramen di hadapanku.
"Aneh." gumamnya yang masih terdengar oleh gendang telingaku seperti sebuah bisikkan. Aku hanya tersenyum menanggapinya sambil menyumpit mie ramen lagi dan memasukkannya kedalam mulutku.
"Ara, bukankah itu Park Chanyeol?"
Aku lantas berpaling dari mangkuk besar berisi mie ramen, tatkala mendengar nama pria itu yang dulu berstatus sebagai sahabatku. Nama pria yang kini sosoknya tak berada di dekatku lagi. Nama pria yang masih menjadi pusat perhatianku dan selalu berhasil membuat hatiku mencelos ketika mendengarnya. Dan anehnya, detak jantungku masih menjadi tak normal saat mengingatnya. Mengingat perasaanku terhadapnya yang masih melekat dan membelegu hatiku sampai saat ini, bahkan detik ini.
Pandanganku menangkap sosoknya sedang tersenyum masih dengan wajah tampannya. Aku tersenyum melihatnya. Ia terlihat lebih tampan dengan tatanan rambut yang menutupi dahinya yang cukup luas. Hembusan angin sedikit menerpa rambutnya, membuatnya terlihat seperti di sebuah drama-drama saja. Tampan, pikirku.
Namun senyumanku memudar ketika menyadari senyuman itu kini bukan untukku, melainkan untuk seorang gadis yang kini duduk tepat di hadapannya dan menghalangi pandanganku untuk melihat sosoknya. Aku menghela napas menyadari aku yang duduk disini dan bukan duduk di tempat gadis itu di hadapan Chanyeol seperti dulu. Ya, itu hanya kenangan masa lalu yang selalu berhasil mengiris hatiku ketika mengenangnya.
"Aku sudah lama tidak melihat kalian bersama. Apa kalian bertengkar?"
"Ya. Kami bertengkar hebat." jawabku.
Aku muak melihat pemandangan itu, aku lebih memilih fokus pada mangkuk mie ramenku lagi yang tadi sempat aku abaikan. Aku terkejut saat melihat mie ramen itu habis tak tersisa beserta kuah-kuahnya. Aku rasa saat aku beralih pandang masih tersisa cukup banyak, kenapa kini hanya mangkuk besar kosong yang ada di hadapanku. Aku mengangkat mangkuk itu, melihat bagian belakang permukaan mangkuk itu, namun tidak ada lubang sedikitpun.
Aku melirik sekilas seseorang yang berada tepat di sampingku, dia-lah pelaku yang sesungguhnya. Eunsoo hanya terkekeh pelan melihat keterkejutanku. Dengan wajah polos tanpa dosanya itu, ia menatapku sendu sambil memperlihatkan cengiran kudanya mengharapkan belas kasihan padaku.
"Eunsoo-yaaaa!!!!" teriakku kesal.
Eunsoo justru berlari menghindar dariku. Aku menghela napas kasar lagi sambil menatap sendu mangkuk besar itu.
Aku melangkah menuju toilet saat dirasa keadaaan perutku yang sedang tidak baik. Langkahku terhenti saat melihat sesuatu yang menarik perhatiaanku melebihi kepentingan perutku. Terpajang sebuah selebaran kertas di mading sekolah. Disana tertera sebuah kertas berisi promosi untuk pertunjukkan sebuah musikal drama yang biasa digelar setiap tahun di sekolahku.
Dan yang membuatku terkejut, seorang pemeran utama laki-laki dalam drama tersebut yang tak lain dan tak bukan adalah Park Chanyeol. Apa benar ia Park Chanyeol yang sedang aku pikirkan? Seseorang yang dulu sangat aku kenal. Seseorang yang aku tahu sangat membenci suatu hal yang berbau akting, karena menurutnya semua itu tidak menarik. Aku hanya bisa mengerjap sesaat, dan berpikir, 'apa yang terjadi padanya?'
"Chan, apa yang terjadi padamu? Kenapa kau berubah?" gumamku lirih menatap selebaran itu.
Author POV.
Perpustakan. Tempat itu kini menjadi tempat favorit bagi Ara. Kini gadis itu berubah, ia saat ini dikenal dengan gadis pendiam dan dingin sejak beberapa bulan yang lalu. Sifat ceria yang cenderung jail yang dahulu melekat erat dalam pribadinya, kini hilang entah kemana. Teman-teman Ara termasuk Eunsoo, tentu merasa bingung atas perubahan sikap sahabatnya itu, yang cukup drastis dan bertolak belakang. Mereka merasa kehilangan akan sosok Ara yang dahulu, yang selalu menjaili mereka, membuat mereka tertawa dan kesal dalam waktu bersamaan.
Perpustakan di lantai satu selalu terlihat sepi. Perpustakaan ini seperti sebuah tempat keramat yang enggan dikunjungi oleh murid-murid. Mereka cenderung memilih berlatih di ruang musik daripada harus duduk manis dengan setumpuk buku yang membuat mereka merasa bosan seketika dengan hanya melihat covernya saja.
Terlihat buku-buku yang sedikit berdebu karena tidak pernah tersentuh oleh tangan manusia. Rak-rak yang berisi banyak buku berjajar rapi dengan beberapa kursi dan meja yang terlihat sedikit 'horor'. Penerangan dan juga fasilitasnya pun terbilang sangat kurang. Sangat berbeda dengan perpustakaan yang berada di lantai dua, disana tidak hanya elit tetapi juga nyaman.
Lain halnya dengan murid yang lain, Ara justru lebih memilih berdiam diri di perpustakaan keramat itu. Duduk di salah satu kursi, Ara hanya menatap kosong sebuah buku yang ia biarkan hanya tergeletak di atas meja tepat di depannya. Tanpa berniat untuk membaca, Ara justru menjadikan buku itu sebagai alas kepalanya. Gadis itu menghela napas dan memejamkan matanya sejenak.
"Ara-ya.. Aku dengar Chanyeol akan melakukan adegan mesra dengan Jihyun. Apa kau tahu?"
"Tidak."
"Aku dengar mereka berdua akan melakoni adegan kisseu di pertunjukkan nanti. Aku tidak sabar ingin melihatnya."
Ara membuka kelopak matanya. Diangkatnya kembali kepala yang sejak tadi menempel pada permukaan buku itu. Ara kembali menghela napas kasar. Kata-kata Eunsoo terus terngiang di pikirannya, layaknya sebuah remakan yang secara otomatis terus berputar dalam otaknya dan sayangnya ia tidak mengetahui cara meng-off-kan rekaman itu. Ara memegang dadanya, terasa olehnya dibagian itu rasa sakit yang membuatnya sangat sesak untuk bernapas. Ara kembali memejamkan matanya, rasa sakit itu sungguh menyiksanya, ia pun memukul dadanya yang terasa sesak itu.
"Ada apa denganku?" gumamnya sambil menutup wajahnya dengan kedua tangan.
Ara menangis dalam heningnya suasana perpustakaan. Ternyata tepat di belakang Ara, Chanyoung berdiri tegap sambil menatap Ara sendu. Ia tidak tahu harus berbuat apa, ia tidak punya keberanian untuk mendekati gadis itu saat ini, ia tidak mempunyai keberanian untuk memberikan bahunya sebagai sandaraan gadis itu, dan ia tidak mempunyai keberanian untuk hanya sekedar menyeka air mata yang meluncur dengan bebas di pelupuk mata teduh gadis itu. Chanyoung berpikir ia hanya seorang lelaki pengecut yang membiarkan gadis yang dicintainya itu menangis sendirian.
Ara POV
Sudah lama aku tidak berlatih vokal ataupun bermain gitar. Beberapa bulan belakangan ini aku hanya bermalas-malasan saja. Aku malas melakukan apapun yang biasa aku lakukan, aku justru melakukan hal-hal yang menurutku sangat membosankan.
Mulai hari ini, aku bertekad untuk menjadi diriku lagi. Menjadi Jung Ara yang dulu, Jung Ara yang selalu tersenyum dan membuat orang lain tersenyum karenaku. Aku meraih tas sekolah yang biasa aku pakai, dan menyempatkan diri untuk melihat pantulan diriku di sebuah cermin yang seukuran dengan tubuhku.
"Jung Ara, ternyata kau sungguh menawan."
Dengan bangganya aku memuji penampilan diriku sendiri yang terlihat di cermin itu. Aku tersenyum, setelah cukup lama, baru hari ini aku mengukir senyumku lagi di sudut bibirku. Dengan gaya rambut yang baru, aku berharap hari ini aku akan menjadi Jung Ara yang baru, yang lebih baik dari yang dulu. Tentunya tanpa air mata dan tanpa mengharapkan akan dirinya lagi. Perasaanku terhadapnya membuat diriku terlihat lemah dan seakan-akan terpedaya oleh hatiku sendiri. Aku tidak ingin hal itu terjadi padaku lagi mulai hari ini.
Aku menarik napas dalam dan menghembuskannya pelan melalui udara pagi yang sejuk, hembusan napas yang mengandung unsur harapan di dalamnya. Aku langkahkan kaki melewati gerbang sekolah dengan seulas senyum yang menurutku cukup manis. Aku menghampiri Chanyoung yang sedang duduk manis dengan sebuah gitar di pangkuannya. Ia terlihat serius dengan kening yang sedikit berkerut membuatnya terlihat sedikit lebih tua beberapa tahun.
Aku justru terpaku di tempatku berpijak saat ini dan terus menatap Chanyoung. Dia mengingatkanku padanya, terlebih lagi jika dilihat-lihat mereka memang cukup mirip dari faktor wajah ataupun kepribadiannya. Gitar. Mereka sama-sama menyukai alat musik bernama gitar. Bedanya hanya satu, yaitu terletak pada telinga. Chanyoung tidak memiliki telinga khusus sepertinya.
"Ara-ya..!!"
Lamunanku seketika buyar ketika mendengar teriakan seseorang memanggil namaku. Aku mengerjap-ngerjapkan mataku dan menoleh ke arah sumber suara. Terlihat Eunsoo yang sedang berlari cukup kencang menuju ke arahku. Aku melirik Chanyoung yang berada tak jauh dariku, ia hanya menatapku sekilas lalu kembali fokus pada senar gitarnya itu.
"Ada apa?" tanyaku pada Eunsoo yang berada tepat di hadapanku. Ia memegangi kedua lututnya yang pegal dengan napas yang tersenggal-senggal di pagi hari.
"Tidak." jawabnya singkat sambil menggeleng pelan.
"Lalu, untuk apa kau berlari seperti tadi?" tanyaku heran.
"Berolahraga pagi tidak buruk bukan?"
Aku mengeryit bingung. Menurutku itu hal yang konyol. Kadang aku merasa heran akan sikap aneh temanku yang satu ini, dia gadis yang cukup cantik dengan kemampuan vokal yang baik, tetapi sikapnya kadang-kadang melampaui orang normal pada umumnya. Dahulu, ia mengatakan bahwa ia benci padaku dan menganggapku musuh karena terlalu dekat dengan Chanyeol. Tetapi pada kenyataannya, dia justru menjadi temanku saat ini. Aku juga bingung bagaimana awal prosesnya. Mungkin ini yang dinamakan takdir.
Eunsoo menarik tangan kananku dan menyeretku mendekat pada Chanyoung. Eunsoo duduk di samping kiri Chanyoung sementara aku tetap berdiri mematung di tempat. Entah kenapa, saat menyadari ada kemiripan dari keduanya barusan, membuatku merasa canggung berada di dekat Chanyoung. Apa aku sudah gila?
"Hey! Apa kau sedang membuat lagu?" tanya Eunsoo pada Chanyoung.
Saat aku menatap Chanyoung, ia justru melirik ke arahku yang sontak membuatku terkejut dan salah tingkah karenanya. Eunsoo menyuruhku untuk duduk di bagian kanan bangku yang masih kosong. Aku dengan bodohnya menuruti perintah gadis aneh itu. Chanyoung hanya mengangguk kecil merespon pertanyaan Eunsoo tadi.
"Boleh kita bantu? Boleh ya? Aku ingin berpartisipasi membuat lagu. Ya?" ujar Eunsoo bersemangat.
Aku justru terdiam. Apa maksud dari 'kita' yang Eunsoo ucapkan? Apa ia memasukan dan melibatkan aku dalam kata 'kita' yang ia sebutkan barusan? Jika benar, yang benar saja!
Seenaknya saja ia melibatkan aku dalam situasi ini!
"Tentu." ujarnya.
Chanyoung tersenyum.
"Ara.. Bukankah kau pandai membuat lagu? Coba bantu dia."
Apa-apaan gadis aneh itu!
Sejak tadi aku hanya diam dan tidak ikut campur apapun dalam masalah pembuatan lagu. Bagaimana bisa aku yang membantu dia? Bukankah Eunsoo yang antusias ingin membantunya? Kenapa justru aku?
"Ya? Aku? Ti-tidak. Aku tidak bisa, Eunsoo-ya."
Aku menggeleng dengan wajah se-bodoh mungkin agar meyakinkan mereka. Menegaskan bahwa aku tidak bisa. Chanyoung justru menatapku dengan wajah seolah-olah mengetahui apa yang sedang aku pikirkan. Eunsoo justru semakin mendesakku agar mematuhi perintah konyolnya itu.
"Ayolah! Hari ini aku ada praktek. Jadi aku tidak bisa membantu. Besok. Aku janji besok akan membantu. Ya? Ara-ya.. hm?" ujarnya memelas.
Ayolah Eunsoo! Wajah memelasmu itu tidak berpengaruh bagiku. Berhenti bertindak bodoh. Aku sudah menolaknya secara halus. Apa aku harus menolaknya secara kasar?
"Baiklah."
Aku hanya bisa menghela napas kasar merutuki kebodohanku sendiri. Eunsoo justru bersenang-senang dalam penderitaanku. Teman macam apa kau ini?
Author POV
Chanyeol melangkah dengan cukup tergesa-gesa. Ia terus menoleh ke segala arah seperti sedang mencari seseorang. Pandangannya kini menatap Eunsoo yang sedang berjalan menuju kelas musik, tanpa berpikir panjang ia pun langsung menghampiri teman Ara itu.
"Eunsoo-ya.. Apa kau tahu dimana Ara?"
"Ara? Dia tadi di taman. Memangnya ada__"
"Baiklah. Terima kasih." ucap Chanyeol memotong perkataan Eunsoo.
Sudut bibir Chanyeol tertarik membentuk sebuah senyuman yang penuh arti. Entah apa arti dari senyuman itu, yang pasti ia kini terlihat bahagia. Chanyeol terus melangkah menuju arah taman. Namun, langkahnya terhenti ketika dilihatnya Ara tengah tertawa bersama seorang pria di sampingnya. Chanyeol terpaku di tempatnya, menatap sendu gadis itu yang tengah tertawa riang di pagi hari.
Chanyoung terlihat sedang mengacak-acak pucuk kepala Ara, lebih tepatnya mengacak potongan poni Ara yang kini menutupi bagian dahinya itu. Ara yang tidak terima, membalas perbuatan lelaki itu dengan mengacak kembali rambutnya. Adegan saling mengacak rambut dengan penuh tawa itu terekam jelas di memori Chanyeol, yang berhasil membuatnya terasa sesak menghirup udara pagi. Dua buah tiket konser boyband EXO itu ia tatap sendu. Janji mereka untuk melihat comeback stage EXO tahun ini tak akan pernah terwujud. Janji itu kini hanya sebuah perkataan masa lalu yang tak ada artinya, justru harus ia lupakan. Harus. Tahun lalu adalah tahun terakhir kebersamaan mereka.
Ara merapihkan kembali letak poninya yang sempat berantakan karena ulah Chanyoung. Gadis itu pun beranjak dan melangkah pergi menuju kelasnya karena bel masuk akan segera berbunyi. Chanyoung menatap punggung Ara yang semakin menjauh.
Sesampainya Ara diambang pintu, ia dikejutkan oleh kedatangan Eunsoo secara tiba-tiba. Ara tentu menjerit histeris karena kaget dengan kemunculan makhluk astral itu.
"Hey! Apa tadi kau bertemu dengan Chanyeol?"
Ara mengernyit bingung.
"Chanyeol? Tidak." jawabnya sambil menggeleng pasti.
Kini, justru Eunsoo yang mengernyit bingung.
"Tidak?"
"Hm. Memangnya tadi ia mencariku?" tanya Ara yang hanya direspon anggukan kecil oleh Eunsoo.
'Chanyeol mencariku? Benarkah?' pikir Ara.
Ara POV
Bel istirahat masih sekitar 10 menit lagi. Tetapi 10 menit itu rasanya seperti 10 jam bagiku. Bola mataku terus saja melirik jam yang bertengger sempurna di pergelangan tanganku. Bahkan, Kim songsaengnim yang merupakan guru favoritku itu khusus untuk hari ini aku abaikan ketampanannya sejak tadi, berharap ia segera beranjak keluar dari kelas.
Tanpa berniat untuk membereskan buku-buku yang tergeletak di atas meja, aku lantas mengambil ancang-ancang untuk berlari keluar kelas secepat mungkin setelah bel istirahat berbunyi. Bahkan, Kim songsaengnim belum keluar dari kelas, semua pasang mata menatapku, namun aku abaikan mereka semua dan bergegas pergi tanpa menoleh.
Aku berlari menyusuri koridor sekolah menuju kelasnya, kelas dimana Chanyeol berada. Seulas senyum terus mengembang di bibirku tanpa memperdulikan orang-orang yang melihatku dengan tatapan heran. Yang ada dipikiranku saat ini hanyalah secepat mungkin bertemu dengannya. Sudah cukup waktu yang aku abaikan begitu saja tanpa melewati hari-hari menyenangkan bersama dengannya seperti dulu.
"Permisi.. Apa kau tahu dimana Chanyeol?"
Aku bertanya pada salah seorang di kelas itu ketika pandanganku tidak menemukan sosoknya disana. Lelaki berkaca mata itu memakai name tag bertuliskan 'Do Kyungsoo'. Pada pandangan pertama, aku sudah menyimpulkan betapa membosankannya jika berteman dengan lelaki macam dia, wajahnya terlihat kutu buku dan kumal.
"Dia sedang berlatih dance untuk pertunjukkan minggu depan." ujarnya merdu. Dia sepertinya berbakat menjadi leader vokal di sebuah boyband. Andai saja jika ia bergabung dengan boyband favoritku EXO. Tampangnya lumayan, dengan sedikit make over pasti ia bisa menjadi seorang bintang. Sudahlah, berpikir apa aku ini. Tidak penting.
"Baiklah. Terima kasih." ujarku seramah mungkin untuk menciptakan kesan pertama yang baik padanya. Dia tersenyum dan mengangguk kecil.
Aku menarik napas dalam, mempersiapkan diri untuk bertemu dengannya setelah dirasa cukup lama kami tidak bertatap muka. Aku berdiri tepat di depan pintu ruang dance. Terdengar olehku sebuah musik yang bergema di dalam ruangan itu walau samar-samar. Tiba-tiba saja jantungku berdegup kencang. Sekejur tubuhku kaku dan telapak tanganku terasa beku dengan sensasi dingin yang tiba-tiba menjalar.
Brakk!!
Terdengar seperti seseorang terjatuh. Hatiku mencelos takut jika terjadi sesuatu pada Chanyeol di dalam sana. Aku membuka pintu ruangan itu, mataku membulat seketika. Dadaku terasa sesak seperti tidak ada lagi oksigen di tempatku berdiri. Aku menatap mereka. Menatap Chanyeol dengan seorang gadis yang berpenampilan cukup terbuka. Seakan tak bisa beralih menatap mereka, aku justru menangis dalam diam. Kakiku terasa lemas melihat pemandangan yang sama sekali tak ingin kulihat.
Chanyeol dengan raut wajah sangat khawatir mencoba membantu gadis itu, memegang kaki gadis itu tanpa ragu. Gadis itu terus merintih kesakitan saat Chanyeol memegang kakinya, sebuah rintihan yang terdengar begitu menjijikkan ditelingaku. Aku mengepalkan kedua tanganku saat melihat seulas senyum tersungging di bibir gadis sialan itu. Gadis itu hanya memanfaatkan Chanyeol. Gadis itu hanya berpura-pura terjatuh untuk mendapat perhatian Chanyeol.
"Gadis sialan!" umpatku.
Aku dengan bodohnya berjalan menghampiri dua makhluk itu. Dengan napas yang memburu, aku berusaha menahan amarah yang bergejolak dalam hatiku.
"Singkirkan tanganmu dari gadis sialan itu!!" bentakku sambil meraih tangan Chanyeol dari permukaan kaki kotor gadis itu.
"Ahra? Ada apa denganmu?"
"Aww!! Chanyeol-ah, sakittt..!!" lirih gadis sialan itu.
Chanyeol langsung melepaskan tangannya dari genggamanku dan menghampiri gadis tidak tahu diri itu. Aku tersentak karena ia lebih memilih gadis itu dan mengabaikanku. Aku langsung menghalangi Chanyeol untuk membantu gadis itu. Aku berada di antara jarak mereka berdua.
"Ahra, kau minggirlah! Dia kesakitan."
Chanyeol mencoba meraih kaki kotor gadis itu lagi. Namun, segera ku halangi dengan menepis tangannya sebelum menyentuh kaki gadis itu.
"Sudah kukatakan, JANGAN KAU SENTUH KAKINYA!!!" bentakku padanya.
Chanyeol terpaku mendengar volume suaraku, ia heran melihat reaksiku barusan. Napasku semakin memburu, emosiku meluap-luap. Sungguh, detik itu juga aku ingin membunuh gadis itu lalu membakar jasadnya menjadi abu. Bola mataku berair, Chanyeol semakin bingung melihatku.
"Chanyeol-ah.. Kakiku__"
"Diam kau!! Kau hanya berpura-pura kesakitan untuk mendapat perhatian Chanyeol bukan?" ujarku dengan sinis. Menatap gadis itu membuatku merasa ingin muntah di hadapan wajahnya. Gadis tidak tahu diri!!
"JUNG AHRA!! Ada apa denganmu?!" bentak Chanyeol.
Degg!!
Sakit. Terasa sakit mendengar volume suaranya seperti itu. Pertama kalinya ia membentakku hanya karena membela gadis sialan itu. Cairan bening berhasil meluncur dengan bebasnya di pelupuk mataku. Menatap wajahnya yang sangat aku rindukan membuatku semakin merasa sakit. Dia berubah. Dia bukan Chanyeol yang kukenal.
"Apa kau tidak bisa lihat? Dia kesakitan! Dan kau justru mengatakan ia sedang berpura-pura?" ujarnya seakan-akan menahan emosinya padaku. Sebenarnya, siapa disini yang berhak emosi? Aku! Aku yang berhak!
"Yeol.. Percayalah.. Dia hanya berpura-pura untuk__"
"CUKUP!! Kau berubah.." ujarnya memotong perkataanku. Wajahnya terlihat sendu.
Chanyeol mengangkat tubuh gadis itu di depanku. Menggendongnya di hadapan bola mataku. Dia melangkah pergi meninggalkanku dan aku hanya bisa menatap kepergiannya. Dia lebih mempercayai gadis itu daripadaku.
"Kau benar-benar bodoh, Yeol!! Bodoh!"
Gadis itu tersenyum sinis kearahku tanpa sepengetahuan Chanyeol dan melingkarkan tangannya di leher Chanyeol. Kakiku terasa lemas. Kepalaku terasa pening mengingat kata demi kata yang keluar dari mulut Chanyeol setelah sekian lama aku tak mendengar suara bassnya itu. Aku hanya bisa menangis dan menangis. Semua rencana hari ini gagal. Harapanku akan hari ini sirna. Yang ada hubunganku dengannya semakin jauh dan jauh saja.
Mata sembabku ini membuat murid lain menatapku aneh. Mungkin saja mereka berpikir jika aku dianiaya oleh ibu tiriku seperti di film-film. Aku hanya bisa menunduk sambil terus berjalan menuju kelasku di lantai 2. Aku memang benar sudah dianiaya. Dianiaya oleh cinta seorang pria bodoh seperti Park Chanyeol.
"Aish!! Memalukan." desisku melihat sekeliling.
Author POV
Chanyoung berlari menuju suatu tempat penyimpanan perlengkapan untuk pertunjukkan. Dengan tergesa-gesa Chanyoung mengobrak-abrik seluruh isi perlengkapan dalam laci, tanpa merapihkannya terlebih dahulu, ia justru pergi entah kemana. Dengan napas yang tersenggal-senggal karena terus berlari hampir mengelilingi seluruh bagian sekolah yang terbilang sangat luas itu, Chanyoung terus menoleh kekanan dan kekiri seperti tengah mencari seseorang.
Langkah Chanyoung terhenti tatkala melihat seorang gadis yang sedang berjalan di tengah-tengah kerumunan dengan terus menunduk. Chanyoung menghampiri Ara dan memakaikan sebuah kaca mata hitam secara tiba-tiba dan berhasil membuat gadis itu kebingungan. Chanyoung menarik tangan Ara dan menggenggamnya. Menuntun gadis itu ke sebuah taman belakang sekolah. Chanyeol menatap kepergian mereka di balik sebuah tiang yang menutupi tubuhnya.
Ara dan Chanyoung duduk di sebuah bangku tepat di bawah pohon yang cukup rindang, yang membuat udara terasa sejuk dengan pasokan oksigen yang cukup memadai. Ara melepaskan kaca mata hitam yang membuat pandangannya terlihat lebih gelap.
"Apa kau usai menangis?"
"Ya. Se-dikit." jawab Ara sambil menyipitkan mata bengkaknya.
"Sedikit? Berapa jam? Satu jam? Dua jam?"
"Aish! Sudahlah. Hibur aku dengan cara lain saja!"
"Siapa yang sedang menghiburmu?"
"Ck! Terserah kau saja." ujar Ara terkekeh pelan membuat matanya hanya segaris. Chanyoung yang melihat itu pun tersenyum.
Dalam sekejap, suasana pun mencair begitu hangatnya. Dengan sebuah perbincangan kecil, mampu membuat Ara sejenak melupakan kejadian barusan. Mereka tertawa bersama dengan hembusan angin yang cukup dingin namun menghangatkan suasana diantara mereka. Chanyeol justru hanya mengamati mereka dari kejauhan dan tak mampu melakakukan apapun.
"Kau mampu membuatnya tersenyum tanpa beban. Sedangkan aku? Aku hanya bisa membuatnya sedih dan menangis karena kebodohanku sendiri." gumam Chanyeol.
Chanyeol berbalik dan melangkah pergi menjauhi mereka. Chanyoung menyadari kehadiran Chanyeol, tawanya dalam sekejap terhenti. Menatap sendu Chanyeol yang sedang melangkah pergi dan meyakini bahwa Chanyeol melihat kebersamaannya bersama Ara barusan. Chanyoung berpamitan pada Ara, berniat mengejar Chanyeol.
"Hyung! Chanyeol hyung!!" teriaknya.
Tiba-tiba Chanyeol menghentikan langkahnya, ia paham betul siapa orang yang memanggilnya seperti itu. Chanyeol pun menoleh.
"Hyung! Semuanya tidak seperti yang kau bayangkan. Aku hanya__"
Chanyeol menepuk pundak kanan Chanyoung pelan. Ia tersenyum kecil.
"Aku tahu. Apa kau masih ingat permintaanku waktu itu?"
Chanyoung mengangguk dan hendak menyebutkan permintaan Chanyeol padanya. Namun, segera dipotong oleh ucapan Chanyeol.
"Aku akan meralatnya. Waktu itu aku memintamu menjaganya untukku hanya sebagai seorang teman. Namun sekarang, aku ingin kau menjaganya bukan untukku lagi. Tetapi kau harus benar-benar menjaganya. Dan kau boleh mengambilnya dariku." ujar Chanyeol.
"Mengambil bukan artian barang atau sejenisnya. Namun, aku menyerahkannya sebagai seseorang yang sangat berharga bagiku." tambahnya.
Chanyoung terdiam mendengar kata demi kata yang keluar dari seseorang yang ia sebut 'Hyung'. Chanyeol lagi-lagi mengukir senyumnya yang terlihat jelas dibuat-buat itu.
"Hyung.."
"Apa?! Kau mau menolak perintah hyungmu ini?! Adik macam apa kau ini?!" ujar Chanyeol sedikit bergurau pada Chanyoung yang ternyata adiknya. Tidak heran mereka mempunyai banyak kemiripan secara fisik ataupun sikap. Tak banyak yang tahu mereka ternyata bersaudara, termasuk Ara.
Dua hari jelang pertunjukan musikal drama. Chanyeol terlihat sedang berlatih akting untuk penampilannya nanti di atas panggung. Keringat bercucuran di wajah bahkan sekejur tubuhnya. Namun, rasa lelah tersebut tidak membuatnya lantas berhenti berlatih. Ia justru terus berlatih sampai langit berubah menjadi gelap gulita. Chanyeol tipe orang yang selalu maksimal dalam melakukan sesuatu. Tetapi hari ini, ia terlalu berlebihan dalam berlatih.
Dengan napas yang masih tersenggal-senggal karena terus berlatih dance sejak tadi, Chanyeol terduduk dengan kedua kaki yang menjulur ke depan dengan kedua lengan yang menempel pada lantai sebagai tumpuan. Tatapannya terlihat sendu, ia seperti sedang memikirkan sesuatu. Diraihnya ponsel yang sejak tadi tergeletak di samping botol air mineralnya yang belum tersentuh sedikitpun. Dilihatnya layar ponsel itu dengan tatapan yang semakin sendu. Terlihat hasil jepretan fotonya bersama Ara. Di foto itu, mereka terlihat bahagia dengan senyuman yang terukir di sudut bibir mereka masing-masing.
Brakk!!!
Chanyeol tiba-tiba saja membanting ponsel yang sedang ia genggam tadi. Raut wajahnya berubah, ia seperti sedang menahan amarah. Napasnya terdengar memburu menandakan ia benar-benar marah saat ini. Chanyeol seperti hilang kendali, ia beranjak berdiri dan langsung memukul dinding dengan cukup keras dengan tangannya. Tidak hanya satu kali, tetapi berulang kali ia lakukan itu sampai tangannya terluka dan mengeluarkan darah segar. Chanyeol kembali terduduk dengan punggung yang menyandar pada dinding, terlihat darah yang terus menetes dari permukaan tangannya.
"Hyung, kau masih menyukainya bukan?"
Chanyoung muncul di balik pintu yang tentu saja membuat Chanyeol terkejut. Ia segera menyembunyikan tangannya yang terluka itu. Chanyoung menghampiri Chanyeol dengan langkah pasti seperti di adegan film laga yang mana kedua pemeran utama pria muncul.
"Untuk apa kau membohongi dirimu sendiri? Kau tidak melakukan apapun untuk mempertahankannya dan justru menyakiti dirimu?" tanya Chanyoung sambil menatap sendu kakaknya.
"Apa maksudmu?"
Chanyeol menatap sinis adiknya itu dan beranjak berdiri mensejajarkan posisinya dengan Chanyoung. Mereka berdiri berhadapan dengan tatapan mereka masing-masing.
"Hyung, aku tahu kau mencintainya. Dan aku mohon berhenti bertindak bodoh." ujar Chanyoung lirih sambil berusaha meraih tangan Chanyeol yang terluka.
"Jangan sok tahu tentangku!! Dan satu hal lagi, jangan perduli padaku." bentak Chanyeol sambil menepis kasar tangan Chanyoung dan beranjak pergi meninggalkan tempat itu.
"Hyung__"
"Berhenti memanggilku dengan sebutan itu!! Aku bukan lagi saudaramu setelah kau meninggalkan ibu dan lebih memilih ayah dengan kehidupan mewahnya."
Chanyeol memotong perkataan adiknya dan menoleh sekilas dengan wajah penuh emosi. Napasnya memburu berusaha menahan amarahnya.
"Hyung.." ucap Chanyoung sambil berjalan menghampiri Chanyeol. Ia berusaha meraih pundak kakaknya.
Buk!
"Apa kau bodoh?!" bentak Chanyeol dengan rahangnya yang mengeras. Menatap adiknya penuh amarah sebelum beranjak pergi tanpa memperdulikan rasa sakit di sudut bibir adiknya yang berdarah karena perbuatannya barusan.
Ara POV
Cahaya mentari yang menerobos melalui celah ventilasi kamar berhasil membangunkanku, sungguh ingin rasanya aku hanya tidur seharian di rumah untuk hari ini. Mengingat hari ini, aku teringat akan sosok pria jangkung yang membuatku menjadi gadis gila yang terus mengharapkannya. Bodoh!
Aku membasuh wajahku dengan air lalu menatap pantulan diriku di cermin, menatap sendu seorang gadis yang terlihat sangat menyedihkan hanya karena seseorang yang begitu berharga di masa lalunya. Ya, masa lalu. Dia hanya sebagian kecil dari masa laluku, satu-satunya pria yang membuatku nyaman untuk menceritakan keluh kesahku padanya tanpa ada yang terlewatkan. Seorang pria yang selalu memberikan bahunya dengan suka rela menjadi tempat sandaranku ketika bersedih. Dia, hanya dia. Park Chanyaeol.
Aku meraih tas selempengan yang tergantung begitu saja berniat untuk sekedar mencari udara segar yang mampu menghilangkan kepenatanku karenanya. Hari ini bukanlah hari libur, hanya saja sekolah sedang mengadakan sebuah acara pertunjukkan yang sangat menjijikkan. Aku lebih memilih bolos daripada harus melihatnya berakting dengan gadis sialan itu.
Kulangkahkan kakiku tanpa tujuan yang pasti. Terlihat sebuah halte yang tidak terlalu ramai, aku memilih untuk beristirahat sejenak setelah dirasa kaki cukup pegal karena terus berjalan. Suasana hening membuatku kembali merenung akan masa lalu.
Flashback >>>>
“Semua ini karenamu! Karenamu kita terjebak dalam hujan seperti ini! Dasar bodoh! Aku membencimu!” bentak Ara pada Chanyeol yang terlihat acuh dan hanya duduk manis di bangku halte.
Ara melirik Chanyeol dengan wajah kesal, pria itu benar-benar tidak waras. Hari sudah hampir gelap dan ia masih bisa duduk manis menunggu hujan deras itu usai.
“Yak! Park Chanyeol! Berpikirlah sesuatu! Jangan hanya duduk manis dan menunggu hujan reda sampai esok hari!!”
“Apa? Kenapa aku yang harus berpikir? Kenapa tidak kau saja?!” cibir Chanyeol.
“Aku sudah berpikir. Sekarang giliranmu!”
“Sejak tadi aku hanya melihatmu terus mengoceh, kapan kau berpikir?”
Pletak!!
Ara memukul kepala Chanyeol karena terus bertindak menyebalkan. Gadis itu memasang wajah garangnya yang justru terlihat lucu. Chanyeol hanya mendesah pelan, ia hanya berpikir kapan gadis dihadapannya itu bisa bersikap dewasa sesuai dengan usianya yang terus beranjak.
“Berhenti bertindak menyebalkan, bodoh!”
Chanyeol melepaskan jaket seragamnya dan hanya kemeja putih yang melekat di tubuhnya, Ara mengernyit bingung.
“Apa yang kau lakukan?”
Chanyeol memakaikan jaket seragamnya pada tubuh Ara yang sejak tadi terihat kedinginan.
“Jangan berpikiran yang bukan-bukan tentangku.”
Chanyeol meraih tangan Ara dan menggenggamnya erat, ia meraih tasnya untuk dijadikan pengganti payung seperti dalam drama-drama di televisi. Mereka pun berjalan bergandengan di bawah guyuran hujan yang cukup lebat. Ara hanya menatap Chanyeol bingung akan sikap pria itu terhadapnya.
Flashback end <<<
Tanpa aku sadari, rintikan hujan turun membasahi bumi, walau tidak sederas seperti waktu itu, namun cukup berhasil membuat hatiku teriris mengingatnya. Mengingat kenyataan bahwa sosoknya tak ada lagi di sampingku, tidak seperti dahulu duduk manis persis dimana aku duduk sekarang. Dia telah berubah. Chanyeol yang dulu selalu ada untukku tidak ada lagi, dia telah mati. Ya, dia telah mati bersama kenangan yang terkubur seiring berlalunya waktu.
Aku menoleh menatap butiran air hujan yang terus jatuh tertiup oleh hembusan angin. Namun, pandanganku menangkap sosoknya di sebrang jalan sana. Lantas aku beranjak, namun seperkian detik kemudian aku teringat akan pertunjukkan itu, tidak mungkin itu dia. Aku terlalu bodoh untuk terus mengharapkan kehadiranya.
Guyuran air hujan tak menghentikan langkahku menuju sebuah tempat dimana aku selalu meluapkan perasaanku disana, sungai han. Tempat itu menjadi sumber rahasiaku, ditempat itulah aku selalu meluapkan semuanya. Tentang hidupku, tentangnya, dan tentang perasaanku. Menatap genangan air dengan bermacam bayangan ranting pohon membuatku semakin terlihat bodoh. Tanpa aku kehendaki, bola mataku terasa panas dan mulai mengeluarkan cairan bening yang sangat aku benci, cairan bening yang selalu menyadarkanku bahwa aku telah kalah oleh perasaanku sendiri.
Menutup mata membuatku selalu teringat akan dirinya, pikiran dan hatiku selalu memunculkan gambaran tentangnya, tentang kebersamaan kami dulu. Dua orang yang saling mengikrarkan janji untuk menjadi sahabat, dua orang yang selalu bertengkar hanya karena hal kecil dan berakhir dengan canda tawa karena kebodohannya. Dua orang itu kini saling acuh dan menghindar satu sama lain karena perasaan bodoh dalam hatiku.
"Ternyata kau disini. Apa kau masih sering ke tempat ini?" ujar seseorang membuyarkan lamunanku.
Suara itu..
Suara itu terdengar sangat familiar di telingaku. Suara bass yang sangat aku rindukan karena berbulan-bulan aku tidak mendengar suara itu. Suara seseorang yang selalu hadir dalam pikiranku dan mengusik ketenangan hidupku setiap detiknya.
Tepat dihadapanku, sepasang sepatu berwarna coklat yang tak aku ketahui siapa pemiliknya. Yang jelas, ada seseorang sedang berdiri tepat di depanku yang sedang menunduk sejak tadi. Aku enggan hanya sekedar untuk mendongak, terlalu menakutkan karena mengharapkan kehadirannya yang terasa mustahil. Aku menggelengkan kepala agar otakku tidak berhalusinasi tentangnya, aku tidak boleh menjadi gila karenanya. Tidak boleh!
"Sadarlah! Jung Ara, sadarlah.." gumamku.
"Apa yang sedang kau lakukan, Ahra-ya?"
Aku lantas terkesiap tatkala mendengar suara bass itu lagi. Sebuah tangan menyentuh pundakku dan langsung kutepis dengan kasar. Aku beranjak berdiri untuk melihat siapa pemilik tangan yang dengan beraninya menyentuh pundakku.
"K-kau?! Bagaimana bisa kau disini?"
"Tentu bisa. Memangnya apa yang tidak bisa aku lakukan untukmu?"
"Eh?"
Aku menatapnya, menatap Chanyeol dengan tatapan tak percaya. Bukankah seharusnya ia berada di pertunjukkan sekarang? Bagaimana bisa berada disini saat ini? Apa aku berhalusinasi? Tidak mungkin! Seseorang, aku mohon cubitlah permukaan kulitku untuk kembali menyadarkanku ke alam nyata.
"Aku saja bisa membuatmu jatuh cinta padaku."
Deg!!
Aku mohon, bangunkan aku dari mimpi indah ini. Aku terlalu takut untuk terbangun esok hari jika mimpi ini terus berlanjut.
"Ja-jatuh cin-ta?"
"Hm. Kau sudah lama suka padaku bukan?" tanyanya sambil mendekat ke arahku, mendekatkan wajahnya untuk mensejajarkannya denganku.
Demi apapun itu, saat ini aku tidak tahu cara bernapas. Dadaku terasa sesak melihatnya dalam jarak sedekat ini. Jantungku berdebar. Darahku mendesir. Tanganku terasa sangat dingin. Ditambah kaki yang terasa lemas. Aku rasa aku akan mati muda jika tetap seperti ini.
"Suka? Padamu? Ti-tidak." ucapku tergagap sambil memalingkan wajahku darinya. Menatapnya terlalu beresiko untukku.
"Ahh.. Kau tidak suka padaku. Tetapi kau jatuh cinta padaku." ucapnya lagi.
Apa dia senang menggodaku seperti ini?
Chanyeol melangkah mendekat lagi, membuat jarak kami semakin dekat. Aku yang terlalu gugup, lebih memilih untuk menghindar dan kembali duduk di tepian sungai.
"Ti-dak."
"Sudahlah. Kau jujur saja padaku! Di wajahmu itu tertulis jelas AKU MENCINTAI PRIA TAMPAN BERNAMA PARK CHANYEOL." ujarnya sambil duduk bersebelahan denganku.
"CK! Mana ada yang seperti itu?" cibirku.
"Masih mengelak rupanya. Cobalah bercermin! Bola matamu itu kini berubah bentuk menjadi bentuk hati saat menatapku."
"Sudahlah! Berhenti berkata omong kosong seperti itu." ucapku ketus.
Kenapa ia berubah menjadi percaya diri sekali seperti itu? Menyebalkan!
"Baiklah. Jika dugaanku salah, lebih baik aku pergi saja dari sini."
Chanyeol beranjak. Sungguh, aku tidak ingin mimpi indah ini berakhir seperti ini. Aku tidak ingin karena kebodohan dan keegoisanku aku kehilanganya lagi untuk kedua kalinya. Jika ini hanyalah sebuah mimpi, aku tidak ingin menyesal untuk kedua kalinya. Setidaknya aku jujur padanya untuk kali ini saja.
"Aku menyukaimu." ucapku mantap sambil berdiri tegap menghadap punggungnya yang tak terlalu jauh dari tempatku berpijak.
Langkahnya terhenti. Chanyeol menatapku, seperkian detik kemudian seulas senyum terlukis diwajah tampannya.
"Apa? Kau berkata apa?" ledeknya. Berpura-pura tuli adalah keahliannya.
"Aku menyukaimu." ucapku malas sambil memalingkan wajahku kearah lain. Saat ini, ia terlalu menyebalkan untuk kutatap.
"Aku tidak bisa mendengarnya. Lagipula, mana boleh berbicara sambil memalingkan wajah seperti itu."
Chanyeol mendekat kearahku lagi dengan seulas senyum penuh kemenangan. Dasar! Tiang listrik!
"Baiklah."
Aku mendesah. Dia terlalu menyebalkan!
Mana boleh wanita yang menyatakan cinta terlebih dahulu?
Dasar pria bodoh! Bisa-bisanya aku menyukai pria macam dia seperti itu.
"AKU MENYUKAIMU PARK__"
CHU
"Yak!! Apa yang kau lakukan?!"
Aku memegang pipi sebelah kananku yang telah ternodai olehnya. Sungguh, aku ingin mencekiknya detik ini juga!
"Mana boleh menyatakan cinta dengan volume sekeras itu? Apa kau sangat mencintaiku hingga rasa malumu itu hilang?"
"Yak!! K-KAU__"
"Apa kau ingin mendapatkan hukuman lagi dariku? Kau benar-benar gadis agresif rupanya." ujarnya dengan menyipitkan matanya.
"Berhenti berbicara atau aku akan membunuhmu!!" ancamku dengan mengangkat kepalan tanganku tepat dihadapan wajahnya.
Chanyeol justru tersenyum. Ia menatapku dalam dan mendekatkan wajahnya pada wajahku. Aku menatapnya bingung dan lantas membulatkan mata tatkala jarak wajah kami yang begitu dekat hanya beberapa senti. Aku segera menutup bibirku dengan tangan kananku, takut sesuatu yang buruk akan terjadi pada bibirku seperti halnya pipi kananku tadi.
"Apa yang kau pikirkan? Kenapa kau menutup bibirmu seperti itu? Dasar gadis mesum." ucapnya sambil menjentikkan jarinya pada keningku. Alhasil, muncul semburat merah di keningku.
Aku merasakan malu yang teramat sangat, sementara Chanyeol mengacak rambutku dan tersenyum melihat wajahku yang terkejut akan tindakannya barusan. Ternyata Chanyeol hanya berusaha mengambil daun kecil yang menempel pada rambutku. Namun, ia memang berniat menggodaku dan membuatku malu karenanya. Dasar licik!
Aku menatapnya sinis. Ia berhasil membuatku malu dengan memanfaatkan perasaan sialanku ini terhadapnya. Darahku mendesir, bukan karena merasa gugup, melainkan kekesalanku padanya sudah mencapai puncak. Dia benar-benar menyebalkan!
"Yak! Park Chanyeol! Aku membencimu!!"
Aku memukul lengannya sekaras mungkin dan menendang kakinya yang semakin bertambah panjang saja dari hari ke hari. Rasakan pembalasanku, Park Chanyeol!!
"Yak! Jung Ahra, berhentilah memukulku! Atau aku tolak kau menjadi pacarku?" ujarnya seraya menghindar dari seranganku.
"Terserah kau saja! Apa perduliku?!"
"Ayolah, maafkan aku, hm? Biar aku belikan es krim, bagaimana?"
"Tidak." aku melipatkan tanganku di depan dada tanda penolakanku terhadap sogokannya yang murahan.
"Benar kau tidak mau?"
"Baiklah! Baiklah! Aku maafkan, tetapi dengan syarat kau harus menghabiskan dua mangkuk jjajangmyun. Bagaimana?"
"Baiklah." ujarnya pasrah.
Aku tersenyum puas akan kemenanganku kali ini. Aku melangkah menyusuri jalan dengannya, dengan seseorang dari masa laluku. Dia kembali. Dia kembali ke sisiku seperti sebuah keajaiban. Aku berjanji, tidak akan melepaskan tangan yang sedang aku genggam erat saat ini. Aku menyukainya, menyukai pria jangkung yang menyebalkan itu.
Author POV
"Yeol, bagaimana dengan pertunjukkanmu?" tanya Ara teringat akan pertunjukkan itu.
"Aku pergi setelah beradegan mesra dengan Jihyun." ucap Chanyeol datar tanpa memperdulikan perubahan raut wajah gadisnya itu.
Pletak!!
"Yak! Kenapa kau memukulku?!"
"Kau menyebalkan." ketus Ara.
"Aku hanya bercanda, Ahra-ya. Aku tidak ikut dalam pertunjukkan itu."
"Berhenti memanggilku Ahra! Namaku Jung Ara! Ara!" bentak Ara pada Chanyeol yang selalu saja salah mengucapkan namanya.
"Ne, arraseo! Chagi-ya."
Uhuk! Uhuk!
Ara tersedak oleh makanannya akibat penuturan Chanyeol. Gadis itu menatap garang pria dihadapannya itu.
"Jangan memanggilku seperti itu, bodoh! Itu menjijikkan."
Chanyeol hanya tersenyum. Baginya, hari ini adalah sebuah keajaiban yang begitu luar biasa. Bisa melihat gadis itu tersenyum karenanya dan mendengar ocehannya lagi seperti sebuah mimpi indah baginya. Berada di sisi gadis itu lagi membuatnya menyadari bahwa cinta memang harus butuh pengakuan. Sebuah keterbukaan adalah awal dari segalanya.
"Aku harap kau akan selalu tersenyum. Jangan pernah menangis lagi. Karena kau benar-benar terlihat jelek ketika menangis" -Park Chanyeol-
END
Minggu, 29 November 2015
Selasa, 01 September 2015
My Story is True
Author: NopIpon23
Title: My story is true
Rating: G
Cast: Temukan sendiri
Genre: Apalah-apalah
Warning!!!
Sebelumnya, ini merupakan pengalaman pribadi yang saya tulis. Ada sedikit perubahan demi tersajinya tulisan ini. Namun secara keseluruhan adalah kebenaran.
NO FICTIF!!!
Typo bertebaran, yes!!
Selamat membaca-->>
Pagi. Ketika ayam jago belum berkokok, suasana pun masih sangat hening dengan gelapnya langit yang belum tersinari oleh cahaya matahari, aku sudah terbangun dari tidur lelapku untuk memulai aktivitas. Mungkin sebagian orang mengatakan jika itu masih malam hari, tetapi bagiku, jika waktu menunjukkan lebih dari pukul 3.00 am, aku nyatakan itu sudah pagi.
Jangan salah paham!
Aku bangun jam 3 pagi bukan karena aku anak yang rajin, tetapi justru sebaliknya. Semua pekerjaan dan tugas sekolah aku kerjakan saat bangun tidur. Entahlah, kalian menganggapku malas atau rajin, terserah kalian.
Seperti pagi ini. Aku lantas membuka kelopak mataku yang terasa berat ketika mendengar suara ayam berkokok dari jam beker yang selalu bertengger rapih di atas sebuah meja kecil di samping kanan kasurku. Aku melirik setumpuk buku tulis di atas meja belajar, yang berada tepat di depan pojok kanan kamar tidurku yang cukup luas. Sengaja aku letakan meja belajar itu disana agar setiap aku bangun tidur dan membuka mata, langsung tertuju pada buku tugas yang sedikit berserakan dan menumpuk di atas meja itu.
Dengan pijakan kedua kakiku di lantai, aku melangkah tanpa berniat membuka kelopak mataku yang terasa dilem begitu kuat. Seakan sudah hafal betul lekuk demi lekuk sudut ruangan, dengan mudahnya aku berjalan menuju kamar mandi. Membasuh wajah saja sudah cukup, urusan mandi lain waktu.
Sekitar pukul 05.30am, aku berhenti mengerjakan tugas tanpa memperdulikan selesai atau tidak. Dalam pemikiran otak kecilku, yang penting sudah berusaha, hasil adalah bagian akhir. Baru setelah itu membersihkan diri dan melaksanakan kewajiban sebagai seorang muslim yaitu shalat subuh. Aku seorang gadis berusia 15 tahun yang beragama islam. Indonesia. Itulah nama sebuah negara yang ku anggap tanah air ku.
Setelah dirasa sudah siap, aku bergegas berangkat menuju tempat dimana aku menuntut ilmu dan belajar disana. Dengan jilbab putih yang menutupi rambutku, ditambah seragam sekolah yang sedikit kebesaran hampir menutupi seluruh tubuhku terkecuali telapak tangan, sudah menjelaskan bahwa aku adalah seorang muslim. Dengan kepribadianku yang sedikit menutup diri, membuat orang lain menyebutku anak pendiam atau anak rumahan. Entahlah, apa sebutan itu pantas aku dapatkan?
Sejak kecil, aku sudah terbiasa sendiri. Orang tua yang cenderung sibuk dan kakak yang usianya terpaut jauh denganku, membuat kami berbeda pemikiran dan itu membuat kami terasa berada di dunia yang berbeda. Bahkan, hampir aku tidak mengenali mereka sebagai keluargaku dan justru orang lain yang dekat denganku-lah yang aku anggap sebagai keluarga.
Tapi entah bagaimana prosesnya, aku selalu mendapat peringkat di kelas. Bahkan tak jarang mengikuti lomba dan mewakili sekolah dalam berbagai kejuaran tingkat kecamatan. Bisa membaca dan menulis pun aku tak tahu awalnya bagaimana. Sampai tingkat SMP pun sama. Dengan rasa malas yang begitu erat dalam diriku, aku bingung dengan semua prestasi itu.
Hari ini. Seperti biasa, setiap hari aku berangkat sekolah, berharap mendapat secuil ilmu yang bisa berguna bagi masa depanku kelak. Akan tetapi, lagi-lagi aku merasakan sesuatu yang aneh. Aku mengerjakan sesuatu hanya sekedar menganggapnya sebuah kewajiban. Sama halnya dengan sekolah. Salah satu kewajibanku adalah belajar bukan? Sebagai seorang muslim juga aku mempunyai kewajiban mengerjakan shalat. Setiap hari, shalat lima waktu berusaha aku kerjakan. Tetapi, entahlah, aku bingung. Aku merasa seperti mengerjakan shalat ya hanya mengerjakannya saja. Berangkat sekolah pun sama, ya hanya sekedar berangkat saja.
Setiap yang aku lakukan bukan berarti tidak mempunyai tujuan. Tujuan tentu selalu ada. Mengerjakan shalat agar masuk surga. Sekolah untuk mencari wawasan dan mempelajari ilmu pengetahuan. Aku mengetahui tujuan dari setiap perbuatan yang aku lakukan. Tapi anehnya, perasaan seperti ini selalu muncul, perasaan yang membuatku merasa tidak tenang. Perasaan yang aku pun tidak mengerti, susah dijelaskan dan membuatku merasa kacau dari hari ke hari.
Aku pergi ke sekolah selalu bersama dengan kedua temanku, seorang teman lama yang kembali menjadi dekat karena satu sekolah lagi walaupun berbeda jurusan. Sesampainya disana, aku harus kembali menunggu mereka. Menunggu menurutku sesuatu yang sangat menjengkelkan, selain menguras emosi, menunggu juga menguji kesabaran. Sebuah senyuman selalu aku lontarkan, berbanding terbalik dengan rasa kesal yang menggelutiku. "Iya, tidak apa-apa." kalimat itu dengan mudahnya keluar dari mulutku dengan mengabaikan perasaan yang sesungguhnya.
Munafik. Salah satu sifat tercela yang tanpa sadar selalu hadir dalam diriku. Demi kebaikan dan rasa tidak enak hati pada seseorang, membuat sifat munafik itu selalu muncul tanpa aku sadari. Bermodal sebuah senyum palsu, dengan seringnya aku menciptakan sifat tercela itu dalam diriku sendiri. Beralasan demi sebuah kebaikan, aku justru menjerumuskan diriku sendiri ke dalam sebuah lubang yang akan menuntunku ke salah satu pintu neraka.
Ketika aku sampai di depan kelas, tepat diambang pintu, aku dikejutkan oleh 'sosoknya' yang sedang berdiri tegap tak jauh dari tempatku berpijak. Sosoknya yang entah sejak kapan menjadi media pengetes jantungku. Setiap melihat sosoknya, jantungku selalu berdegup kencang. Apa kalian pernah menaiki wahana 'ombak banyu' di pasar malem? Aku rasa kurang lebih seperti itu rasanya.
Dengan jarak yang cukup dekat, sosok itu berjalan mendekat. Bukan menuju ke arahku, melainkan melewatiku dan berjalan menuju seorang gadis yang berdiri tepat di belakangku. Sebut saja gadis itu Mawar. Aku menoleh dan menatap sosoknya sekilas, seulas senyum di pagi hari terukir cukup manis di sudut bibirnya. Begitu mirisnya mengingat senyuman itu tersaji bukan untukku, melainkan untuk orang lain yang berstatus sebagai teman baruku.
Setidaknya aku bisa melihatnya tersenyum, itu sudah cukup untukku. Aku tidak boleh berharap lebih dari itu. Tidak boleh. Aku kembali melangkah meninggalkan dua insan itu yang saling melempar senyum di pagi hari.
Aku meletakkan tas berwarna pink kemerah-merahan itu. Meraih buku tulis berisi tugas yang belum selesai aku kerjakan. Dengan segenap kemampuanku, secepat mungkin aku menyelesaikannya.
"Ngerjain apa, Pon? Ada tugas tah?" tanya Mawar yang duduk di samping kananku, tetapi bukan satu bangku. Ada jarak yang dijadikan jalan diantara kami.
"Hm. Tugas PAI. Merangkum." ucapku sambil menoleh sekilas ke arahnya.
Satu detik. Dua detik. Tiga detik. Hening. Lima menit kemudian, konsentrasiku terganggu karena kehadiran 'sosoknya' di sampingku. Aku dengan ragu menoleh dan menatapnya.
"Bayar name tag." ujarnya datar.
Ayolah! Berharap apa aku ini?
"Ini. 22ribu 'kan?"
Ia hanya mengangguk kecil. Melangkah pergi tanpa sepatah kata pun. Aku tersenyum kecut dan kembali melanjutkan kegiatan yang sebelumnya terbengkalai.
Pelajaran pertama dimulai. Sebelum dimulai, kami semua berdiri, menyanyikan lagu wajib nasional dan satu lagu daerah. Mengingat negara, Indonesia, sebuah negara besar yang masih tetap berkembang tanpa ada kemajuan. Justru semakin terbelakang dan tertinggal oleh negara lain. Cinta tanah air. Tentu saja kata itu tertanam kuat di dalam hatiku. Ada keinginan kuat untuk membangun tanah air sendiri yaitu Indonesia.
Tetapi zaman terus berkembang, tidak menutup kemungkinan ada rasa kagum terhadap negara lain yang membuatku seolah-olah mengeyampingkan negara sendiri. Sejak dibangku SMP, aku menyukai dunia k-pop. Empat tahun sudah aku menjadi seorang k-popers. Apapun yang berbau Korea selatan selalu membuatku bersemangat. Pelajaran IPS yang sangat tidak aku sukai dan membuat mataku selalu terasa lebih berat, lain halnya ketika materi tentang perekonomian dunia. Materi itu selalu membuatku bersemangat, apalagi ketika negara k-pop itu dibahas, seulas senyum terukir tanpa sebab memikirkan sang idola yang bertempat tinggal disana.
Ibu guru bahasa indonesia mulai memberikan materi menggunakan infokus. Beberapa murid perempuan berteriak, aku lantas mendongakkan kepala yang sedari tadi ku tekuk. Mataku membulat, "Kim Woo Bin?!"
Sejak saat itu, aku merasa bersemangat ketika pelajaran indonesia diberikan. Dengan alasan karena ibu guru yang mengajar tidak hanya masih muda dan cantik, tetapi juga seorang k-popers yang mengaku sebagai istri Hyunbin.
Teks anekdot. Suatu cerita singkat yang menarik karena lucu dan mengesankan pembaca. Materi itulah yang sedang dibahas. Ketika sekretaris yang merupakan teman sebangku Mawar beranjak dari kursi dan menulis materi di papan tulis, sosok itu kembali melangkah menuju kursi yang kosong itu, tepat disebelah Mawar.
Mungkin perasaan yang tengah aku rasakan saat ini merupakan hal yang wajar saat menginjak usia remaja. Mengagumi seseorang yang merupakan lawan jenis sudah sering aku rasakan. Perasaan senang ketika melihat sebuah senyum dari sosok yang dikagumi dan salah tingkah saat berada di dekatnya. Semua itu adalah suatu hal yang wajar.
Saat ini, aku merasakan sesuatu yang disebut rasa cemburu. Cemburu melihat 'sosoknya' berada di dekat gadis lain. Melihatnya bersenda gurau atau hanya sekedar berbincang dengan gadis lain. Rasa kesal bergelut di hatiku, seakan-akan ingin memaki gadis lain yang sedang berada di dekat sosok yang aku kagumi itu. Tetapi yang bisa aku lakukan saat ini hanya bisa mendesah pelan. Membuang rasa kesal itu melalu udara.
Sekretaris sudah selesai menulis. Otomatis, sosok itu tersingkir dan beranjak pergi. Secercah rasa bahagia terbesit di hati. Akan tetapi, sosok itu meraih sebuah kursi yang kosong dan meletakkannya di jarak antara aku dan Mawar. Apa kalian bisa bayangkan? Kami seperti sedang berada di cinta segi tiga saja. Memperebutkan satu lelaki yang sedang sibuk menulis materi tanpa memperdulikan hatiku yang bergejolak menyadari 'sosoknya' berada di dekatku.
Tetapi, jika aku bersedia bersaing dengan Mawar, akan dipastikan aku keluar sebagai pengecut yang kalah dalam satu babak. 'Sosoknya' bahkan tak menganggapku ada dan hanya melihat Mawar. Hanya Mawar. Aku harus menyadari itu dan menerimanya.
Ketika sedang menulis materi yang diberikan, aku benar-benar merasa terganggu jika ada salah seorang mengatakan,"Ada pulpen lagi?" aku hanya bisa mendesah pelan. Dan lagi-lagi hanya bisa menggerutu dalam hati tanpa berniat mengatakannya langsung. Sebuah senyuman dengan mudahnya terulas sambil mengulurkan sebuah pulpen. Sungguh, di dalam hatiku, aku menggerutu."Niat sekolah ga sih? Beli jajanan banyak bisa, kenapa pulpen ga bisa?" karena bukan hari itu saja, keesokan harinya pun sama. Pemikiran untuk menolong sesama muncul hanya di dalam otak, tidak dengan hatiku. Selalu muncul secercah rasa kesal, entah bagaimana cara menghilangkan itu. Buruknya, perasaan itu sering sekali muncul tanpa disadari dan sudah melekat dalam diri menjadi suatu kewajaran dan kepribadian.
Shalat dzuhur selalu aku kerjakan di musola sekolah. Tentang kekhusuan, entahlah, itu suatu hal yang sulit dilakukan. Dengan kegaduhan yang ada dan begitu banyak murid lain yang menunggu giliran, membuat 'khusuk' semakin sulit saja dilakukan. Dalam keadaan tenang saja, belum tentu aku khusuk dalam shalat.
Masa remaja. Semua orang pasti mengalaminya, entah itu belum ataupun sudah. Saat ini, aku sedang mengalaminya. Masa remaja, masa dimana seseorang mencari jati diri. 'Siapa aku? Apa tujuanku? Mau jadi apa aku kelak?' itu adalah segelintir contoh pertanyaan yang muncul dibenakku sekarang. Entah apa pertanyaan yang kalian pikirkan, setiap orang pasti memiliki pemikiran yang berbeda. Bagaimana caranya menemukan jati diri, sampai saat ini masih menjadi tanda tanya besar dalam hidupku.
Tugas dan tugas selalu diberikan guru dalam setiap pertemuan, itu semua bukan suatu hal yang salah. Semua itu wajar dan justru dengan tugas-tugas tersebut membuatku lebih aktif dan memahami meteri secara keseluruhan. Dengan tugas itu, aku mengetahui seberapa jauh kemampuanku dalam memahami materi tersebut. Namun, ada kalanya merasa terbebani dengan berbagai tugas yang terus menumpuk dan justru membuatku kesal dan down seketika. Menyadari batas kemampuan sendiri, membuatku merasa tertekan dengan kemampuan orang lain yang lebih dariku. Sampai sempat terpikir olehku ingin memberontak pada lingkungan dan ingin bebas melakukan apapun. Tetapi semua itu terasa tidak mungkin dilakukan.
Suatu hari aku merasa sangat kacau, semua yang aku lakukan terasa salah dan itu membuat emosiku meluap-luap. Setiap pertanyaan dari teman, aku selalu meresponnya dengan sinis. Aku tidak mengerti dengan perubahan sikap yang terbilang sangat drastis itu. Rasanya aku ingin menangis, marah pada diri sendiri. Memaki sifat yang membuatku semakin jauh dengan jati diriku sendiri.
Kelas kosong. Tidak ada guru yang masuk untuk mengajar. Semua murid bercanda dan tertawa bersama. Bahkan, bernyanyi yang sama sekali tak ku ketahui lagunya. Berbeda denganku, aku hanya diam, meletakkan kepalaku di atas meja sambil menutupi wajahku yang muram dengan sebuah buku. Menutup mata, merenung tentang jati diri dan sifat-sifat buruk yang terus hadir dalam diriku akhir-akhir ini. Aku merasa seakan jauh dan terus menjauh dari Allah. Entahlah, aku merasa tidak tenang dan terus membayangkan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi padaku.
Beberapa saat terdiam, membuatku merasa sangat takut. Rasa takut yang muncul begitu saja tanpa aku tahu penyebabnya. Hatiku terasa sakit dan ingin rasanya aku menangis sejadi-jadinya. Aku hanya bisa beristigfar dan terus mengingat kesalahan demi kesalahan yang telah aku lakukan. Hatiku bergetar mengingat begitu banyak kesalahan yang aku perbuat satu hari ini saja. Bagaimana dengan hari yang lain? Kesalahan selama 15 tahun ini, tidak bisa aku bayangkan sebanyak apa itu, yang pasti sangatlah banyak.
Aku beranjak, melangkah menuju perpustakan tepat di samping kelas. Begitu banyak buku, tetapi yang paling menyita perhatianku adalah sebuah rak buku kumpulan novel. Aku meraih sebuah buku novel penggugah jiwa berjudul 'saat aku mengingat Tuhan'. Ceritanya biasa, sering terjadi pada kehidupan sehari-hari terutama para remaja seperti aku. Kisah tentang persahabatan yang justru membawa kita kepada hal yang salah. Yang perlu digaris bawahi adalah penulis itu menceritakan seorang gadis remaja yang tidak punya jati diri, namun pada akhirnya menemukan jati dirinya itu.
Aku lebih memilih duduk di lantai dengan punggung yang menyandar pada rak besar tempat buku-buku disimpan. Padahal, tempat untuk membaca sudah disiapkan berikut dengan meja dan kursi yang cukup nyaman menurutku. Namun, aku merasa lebih nyaman dengan duduk dilantai dengan kedua kaki yang menjulur ke depan. Toh, perpustakan masih sangat sepi karena belum jam istirahat.
"Baca apa, pon?"
Aku terkesiap mendengar suara seseorang bertanya padaku. Aku mendongak, terlihat seseorang yang cukup familiar tengah terdiam menunggu respon dariku dengan alis yang saling bertautan.
"Oh, ini. Lagi baca-baca buku novel. Ada apa?"
"Tidak. Aku hanya bosan saja di kelas. Novel apa, pon?" tanyanya sambil ikut duduk tepat di sebelah kananku. Dia adalah seorang gadis yang cukup aktif dan rajin. Tugas selalu ia kerjakan tepat waktu, tidak seperti diriku. Sebut saja dia Aan. Oh ya, namaku Novi Abdurahman. Pasti kalian ingin bertanya, nama bapaknya Abdurahman ya? Sudah basi. Hampir setiap aku memperkenalkan diri, orang-orang bertanya seperti itu.Tetapi panggil saja aku, ipon. Karena di kelasku terdapat dua nama Novi, maklum saja, nama Novi terlalu fenomenal. Jadi, untuk membedakan, aku membalikkan namaku menjadi Ipon. Baiklah, cukup sekian perkenalannya, terima kasih.
"Novel penggugah jiwa. Judulnya, saat aku mengingat Tuhan."
"Oh. Ceritanya seru?"
Aku mengangguk mengiyakan. Dengan antusias aku menceritakan garis besar cerita novel itu. Entah kenapa, aku merasa nyaman bersamanya, seolah-olah mendapat sebuah sandaraan untuk sekedar melepas letih. Bukan maksud untuk memanfaatkan atau apapun yang berbau negatif, hanya saja aku menemukan seorang teman yang bisa diajak bicara tanpa harus menjadi orang lain, cukup menjadi diri sendiri, apa adanya dan saling terbuka. Sama seperti sahabatku, sebut saja Lala. Dia seorang sahabat yang membuatku merasa nyaman melebihi saudara-saudaraku sendiri. Pemikiran kami yang sama, membuat kami merasa nyaman satu sama lain ketika bercerita.
Aku baru saja masuk bangku SMA dan belum merasa nyaman dengan lingkungan dan suasana yang ada. Termasuk pada teman-teman yang baru, mereka secara tidak langsung membuatku tertekan dengan berbagai sikap mereka yang tidak sesuai dengan sikapku.
Aku tidak tahu awalnya bagaimana, yang jelas, tanpa sadar aku menceritakan permasalahan yang aku pikirkan sejak beberapa hari terakhir. Tanpa ragu aku meluapkan semua yang aku rasa mengganjal di hati, berharap ia bisa sedikit membantu untuk menemukan jawabannya atau sekedar memberi penerangan pada gelapnya pemikiran yang terus bergelut dipikiranku.
"Sebenarnya, apa jati diri itu?"
"Menurutku, jati diri adalah kepribadian yang sesungguhnya. Bersumber dari dalam hati bukan dalam perbuatan."
"Bagaimana cara menemukan jati diri?"
"Hanya diri sendiri yang tahu. Biasanya sulit dan setiap orang itu berbeda cara. Tetapi, suatu hari nanti, kamu akan menyadarinya sendiri tanpa harus mencari tahu."
DEG!!
Hatiku bergetar mendengar setiap kata demi kata yang ia ucapkan, jawabanya itu membuatku tertegun dengan bahasanya yang lugas dan jelas. Rasanya ingin sekali suatu hari nanti aku dapat menemukan jati diriku. Jati diriku yang sebenarnya.
"Aan, apa kamu sudah menemukannya?"
Aku terdiam. Menunggu jawaban darinya. Dia tampak berfikir, dan memutar bola matanya. Seperkian detik kemudian, ia menghela napas kasar. Seperti ada sebuah kekecewaan disana, sorot matanya berubah sendu. Namun, ia kembali tersenyum dan menggeleng menatap ke arahku.
"Aku rasa belum."
"Apa pernah kamu merasa sangat kacau? Saat ini, aku merasa sangat kacau. Kau tahu, yang ada hanya emosi dan emosi. Itu sebabnya aku kesini."
Lagi-lagi tanpa sadar aku mengatakan hal yang seharusnya tak ku katakan pada orang lain. Apa boleh buat? Aku sudah terlanjur mengatakannya. Toh, tidak ada salahnya bukan? Mungkin saja setelah ini aku menjadi dekat dengannya.
"Tentu saja, pernah. Kamu kacau kenapa?"
"Entahlah, aku rasa apa yang aku lakukan semuanya terasa salah."
Untuk ke-sekian kalinya aku tertegun atas jawaban yang ia lontarkan. Ia mengatakan jika itu hanya perasaanku saja, itu tidak benar dan tidak baik. Perasaan seperti itu datangnya dari syaiton. Ia menyarankan agar aku lebih mendekatkan diri kepada Allah swt. dengan cara shalat tahajud. Shalat malam membuat kita menjadi lebih tenang dan berpasrah diri kepada Allah dengan cara bertawakal kepada-Nya. Itulah jawaban yang ia lontarkan dan berhasil menusuk-nusuk hatiku.
Penjelasannya yang terlampau panjang itu membuat hatiku bergetar, tubuhku terasa lemas, walaupun faktor lapar ikut mendominasi, tetapi ucapan Aan lebih berpengaruh. Aku merasa seakan tersindir dan seolah-olah tercekik atas ucapannya itu. Shalat tahajud, aku pernah melakukannya, tetapi disaat-saat tertentu saja. Seperti waktu menjelang UN, dengan giatnya aku bangun malam untuk shalat tahajud. Tetapi sekarang, sudah lama aku tak mengerjakannya lagi. Dikarenakan satu alasan, yaitu tidak sempat karena terlalu banyak tugas. Astagfirullah..
Aku baru saja menyadari sikap lalaiku selama ini. Sikap lalai yang membuatku menyepelekan hal penting dan menganggapnya suatu hal yang biasa. Shalat lima waktu. Suatu hal yang sangat penting untuk dilakukan, namun sering kali aku menyepelekan kewajibanku yang paling utama itu. Dengan berbagai alasan, aku selalu menunda-nunda waktu untuk sesegera mungkin mengerjakan shalat lima waktu itu. Berfikir jangka waktu shalat berikutnya masih lama, dengan begitu lalainya aku menunda dan terus menunda.
"Apa kamu setiap hari shalat tahajud?" tanyaku penasaran. Aku harap, pertanyaanku barusan tidak menyinggung perasaannya. Dengan perasaan was-was, aku menunggu jawaban darinya.
"Tidak setiap hari. Hanya sesekali, tetapi aku berusaha sesering mungkin. Karena tidak ada ruginya kita bangun malam dan menyempatkan diri untuk shalat tahajud. Justru, dengan itu kita akan merasa semakin dekat dengan sang ilahi. Perasaan itu merupakan nikmat terbesar yang aku rasakan."
Aku hanya bisa terdiam. Menatap sosok gadis remaja yang menurutku sangat luar biasa. Menatap wajahnya yang sedang menerawang ke atas, membayangkan perasaan dan nikmat yang telah ia rasakan dan mungkin, perasaan yang belum pernah aku rasakan selama ini. Gadis itu tersenyum. Berbeda denganku yang terus merasa semakin kecil dan kecil dihadapannya. Aku berpikir, sekecil apa aku dihadapan Allah sang Maha Pencipta?
Dibandingkan dengan sosok Aan saja aku merasa sangat kecil, bagaimana aku dihadapan sang ilahi? Mungkin hanya butiran debu yang kotor saja. Astagfirullah..
Begitu seringnya aku bangun malam hari, tetapi kenapa sama sekali tidak terpikir olehku untuk mengerjakan shalat tahajud, setidaknya dua rakaat. Ya Allah, aku merasa seakan-akan melupakan-Mu dan justru hanya mengingat urusan duniawi.
Rasanya aku ingin menangis sejadi-jadinya menyadari aku yang biasa-biasa saja tetapi selalu berbuat kesalahan. Seakan-akan merasa besar dengan kemampuan yang masih tidak ada apa-apanya hanya dibandingkan dengan sosok gadis remaja yang tengah duduk di sampingku saat ini.
Gadis itu beralih menatapku, menyadari binar mataku yang sedikit berair membuatnya merasa tidak enak hati. Ia menatapku sendu dengan raut wajah penyesalannya yang terlihat begitu alami, tidak dibuat-buat, dan tidak membuatku berpikir ia sok perduli atau sejenisnya.
"Kamu kenapa, Pon? Apa ucapanku barusan ada yang salah?" tanyanya khawatir dengan intonasi yang sangat pelan dan lembut. Mungkin takut jika ia salah pengucapan lagi yang bisa membuatku semakin menangis.
"Tidak. Hanya saja aku merasa sangat kecil jika dibandingkan denganmu."
"Eh? Kenapa begitu? Tidak, Pon. Aku hanya manusia biasa. Tidak sepantasnya membandingkan diri kamu dengan manusia biasa sepertiku. Aku tidak pantas."
Aku hanya bisa mengangguk dan tersenyum menatap sosoknya yang begitu mengagumkan. Bukan karena fisiknya, melainkan kepribadiannya. Mengingat kepribadian, mungkin itu adalah jati dirinya yang sebenarnya. Aku harap, aku bisa menjadi setidaknya seperti sosoknya. Aku tidak ingin berharap tinggi, cukup berusaha dan mencoba menjadi pribadi yang lebih baik.
"Pon, menurut kamu cinta itu anugerah atau ujian?"
Secara tiba-tiba, ia mengganti topik jati diri menjadi cinta. Entah apa yang terlintas dipikirannya. Aku hanya mencoba menjawab sepengetahuanku saja. Aku memutar bola mataku, menerawang dan merangkai kata demi kata yang akan dilontarkan sebagai sebuah jawaban.
"Menurutku ujian, yaitu melawan hawa nafsu. Karena perasaan cinta yang hadir pada saat yang tidak tepat akan berakibat buruk. Contohnya pada masa remaja seperti kita." jawabku penuh kehati-hatian disetiap katanya.
Dia tak merespon. Mungkin sama, sedang merangkai kata. Alisnya yang bertaut, menandakan ia sedang berpikir keras untuk menanggapi jawabanku barusan. Semoga obrolan ini tak berakhir dengan debat yang berujung pada konflik. Semoga saja.
"Apa kamu tak pernah merasakan perasaan cinta?"
Eh? Pertanyaan macam apa itu? Hubungan kita belum mencapai batas itu! Dikatakan berteman saja masih ragu. Tentu saja, aku ragu menjawab pertanyaannya, karena terlalu privasi dan bersifat sensitif menurutku.
"Tentu pernah. Itu hal yang wajar bukan?" tanyaku kikuk.
Aku menelan saliva dengan susah payah. Baiklah! Ini bukan test ataupun wawancara. Tidak perlu takut ataupun gugup. Ini hanya mengobrol biasa sesama teman. Rileks! Santai! Seperti di pantai.
"Tentu wajar, karena cinta adalah sebuah anugerah."
"Eh? Anugerah? Bagaimana bisa?"
"Tentu saja bisa. Tergantung dari tanggapan diri sendiri ketika cinta itu hadir dalam hati."
Untuk kesekian kalinya aku memutar bola mataku, mengulang kata demi kata yang ia ucapkan. Aku pahami dan resapi agar tidak salah mengerti maksud ucapanya barusan. Sungguh, lafal pengucapannya terlalu cepat dengan arti bahasa yang begitu tinggi. Membuatku semakin bingung saja. Jati diri saja belum aku temukan, nah ini harus mencari maksud dari ucapannya saja membuat kepalaku terasa pening.
Ia menjelaskan jika cinta yang datang dalam diri, kita tanggapi biasa saja dengan bersyukur kepada Allah, atas perasaan cinta yang muncul dalam hatinya sebagai perasaan yang wajar dirasakan oleh manusia normal, maka cinta tersebut dikatakan sebagai anugerah.
Sedangkan jika cinta yang hadir dalam diri, kita tanggapi dengan berlebihan, maka hawa nafsu pun sama, menginginkan yang lebih selain hanya bersyukur kepada Allah. Maka, cinta yang seperti itu dikatakan sebagai ujian, karena kita harus berperang melawan hawa nafsu kita sendiri. Kata Rasulullah, perang badar yang merenggut begitu banyak nyawa pejuang islam, hanya dikatakan sebuah perang kecil. Sedangkan perang yang besar, yaitu perang melawan hawa nafsu.
Suatu pelajaran yang aku pahami melalui sebuah obrolan kecil yang sangat bermanfaat. Tidak semuanya para perempuan berkumpul hanya untuk bergosip tentang kejelekan seseorang ataupun bergunjing. Kembali lagi kepada diri kita masing-masing. Semoga kita, para perempuan bisa berkumpul dan mengobrol tentang sesuatu yang bermanfaat dan tidak membawa unsur kejelekan di dalamnya.
Mengingat cinta. Setiap orang itu berbeda pendapat. Aku sebagai gadis remaja, saat ini sedang merasakan sesuatu yang sama sekali tak ku mengerti. Akan cinta, aku teringat akan 'sosoknya' yang membuatku merasa senang dan juga sedih secara bersamaan. Senang bisa melihatnya dan juga sedih mengingat ia bahkan tak pernah melihatku. Mungkin saja, ia tak menyadari kehadiranku disekitarnya.
Sosok yang aku kagumi justru melihat orang lain yang menurutku memang lebih baik dariku. Ada rasa kecewa, sedih, marah, kesal, yang bercambur aduk menjadi sebuah amarah dalam diri. Melahirkan sifat munafik dan iri hati yang begitu membelegu jiwa sampai akhirnya melupakan jati diri. Egoisme sering muncul dikarenakan ingin mendapat lebih dari 'sosoknya' dan menganggap diri lebih pantas dari orang lain.
Sampai detik ini, aku berusaha membatasi diri pada perasaan itu, perasaan yang orang lain menyebutnya sebagai cinta. Jujur, aku tidak ingin mengiyakan pendapat itu. Aku hanya ingin, perasaan itu cukup sebagai rasa kagum semata terhadap sosok yang aku anggap berbeda dan istimewa. Bahkan sampai saat ini, aku masih mempertanyakan apa itu cinta. Apa manfaat dan fungsi dari cinta itu sendiri. Jika cinta memang ketertarikan terhadap lawan jenis, menurutku itu kurang logis. Mungkin diusiaku saat ini, belum saatnya mengerti tentang devinisi cinta yang sesungguhnya.
Berpikir untuk berpacaran. Mungkin setiap remaja hampir berpikir tentang hal itu tak terkecuali aku. Era globalisasi seperti sekarang ini, membuat hal yang dinamakan 'berpacaran' itu suatu kewajaran dan biasa saja. Bahkan lebih parahnya lagi, jika seseorang yang belum pernah berpacaran, dikatakan orang yang tidak gaul dan justru jadul. Mereka dianggap terbelakang hanya karena belum pernah berpacaran. Apakah hal itu pantas?
Indonesia, sebagai salah satu negara yang mayoritas penduduknya beragama islam, apakah hal seperti berpacaran dianggap biasa dikalangan masyarakat? Jawabanya sudah dipastikan 'YA'. Akibat dari yang dinamakan 'era globalisasi' itulah, yang menjadikan negara Indonesia sama dengan negara-negara lain di dunia. Namun sayangnya, persamaan itu bukanlah dalam suatu konteks yang baik, melainkan persamaan dalam menganggap 'berpacaran' adalah suatu kewajaran semata.
Menurut agama islam, sependek pengetahuanku, berpacaran adalah suatu hal yang menjurus pada zinah. Otomatis, jika berpacaran dianggap suatu kewajaran, secara tidak langsung zinah pun dianggap hal sepele bukan? Entahlah, akupun hanya seorang gadis remaja, sama halnya dengan gadis lain, rasa bimbang yang didampingi dengan ketidakpastian melekat dalam diri. Hawa nafsu selalu muncul memerangi diri dan secara tidak langsung memberontak pada hati nurani yang mengatakan 'tidak' pada sesuatu yang buruk.
Sering aku alami, pikiran tidak sama dengan mulut. Lagi-lagi unsur kemunafikan aku temukan dalam diri. Kata 'ikhlas' selalu terpikir olehku, namun penerapannya selalu kurang tepat. Merasa ada sesuatu yang mengganjal di dalam hati ketika ingin menerapkan yang dinamakan 'ikhlas' itu. Entahlah, bagaimana cara menghilangkan sifat itu. Seperti aku ingin mengikhlaskan 'sosoknya' dengan gadis lain siapapun itu, karena aku memang tidak ingin menginginkan sesuatu yang lebih, aku tidak ingin hawa nafsu mengalahkan jati diriku sendiri. Tetapi, melihatnya tersenyum dan tertawa pada orang lain, aku merasakan sesuatu yang tak seharusnya aku rasakan.
Satu hari. Dua hari. Tiga hari. Aku mencoba membiasakan diri untuk tak memperhatikan 'sosoknya'. Suatu hari, ia tak masuk sekolah dikarenakan sakit. Apa kau tahu apa yang aku rasakan? Bahagia. Bukan bahagia karena tak melihat 'sosoknya' ataupun berbahagia atas sakitnya itu. Aku bahagia karena seharian itu tidak melihat 'sosoknya' berdekatan bersama gadis lain. Pribadinya yang mudah bergaul, membuat ia dekat hampir dengan seluruh gadis di kelas, kecuali aku dan beberapa orang lainnya.
Temanku pernah bertanya pada seseorang,"Apakah berpacaran itu diperbolehkan?"
Jawaban yang terus aku pikirkan kebenaranya. Temanku mengatakan jika orang itu menjawab,"Boleh-boleh saja. Asalkan menurut ajaran agama islam."
Aku memutar bola mataku, alisku betaut dengan kening yang berkerut mendengarnya. Apakah benar? Apakah ada kata berpacaran dalam agama islam? Berpacaran menurut ajaran agama islam itu bagaimana? Sedangkan sepengetahuanku kata berpacaran saja dalam agama islam itu tidak ada. Itu menjadi sebuah PR yang belum terjawab olehku sampai detik ini.
Beralih dari topik cinta. Beberapa hari ini, aku merasa tubuhku semakin berat saja. Mungkin berat badanku naik lagi. Aku adalah tipe orang yang suka makan dalam relatif waktu yang singkat. Ketika pikiran-pikiran muncul dalam otak kecilku, menjadi kegelisahan yang tak beralasan, membuatku selalu merasa lapar. Aneh bukan?
Saat menjelang UN SMP, pipi tirusku berubah menyerupai sebuah bakpau. Pikiran-pikiran yang sebenarnya hal sepele, membuat rasa gelisah yang teramat sangat hingga membuatku menjadi takut. Takut akan hal yang akan terjadi kedepannya. Hasil UN dan kelanjutan dari pendidikanku adalah segelintir contohnya. Orang tua, teman, begitupun orang lain terkejut akan perubahan wajahku yang bengkak itu.
Jauh dari orang tua menjadi beban tersendiri untukku. Ketika berat badan bertambah, orang lain berfikir aku senang. Padahal kebenarannya justru bertolak belakang. Rasa takut akan masa depan membuatku merasa kacau dari hari ke hari. Ingin rasanya aku menghindari masa depan dan tak ingin menjadi dewasa.
Namun, dengan mengenal sosok Lala dan Aan, gadis remaja seusiaku yang mampu membangkitkan semangat yang telah lama terkubur jauh di dalam jiwa, kini kembali muncul dan mulai berkobar bak semangat pejuang kemerdekaan.
Terima kasih sobat..
Aku berharap, setidaknya rasa takut dan gelisah yang selalu membelegu diriku saat ini, dapat dihilangkan sedikit demi sedikit. Sehingga dengan sendirinya aku akan menyadari sosok seperti apa aku sebenarnya. Jati diri yang terkubur oleh rasa takut yang tak beralasan, akan aku coba gali dengan niat memperbaiki diri menjadi pribadi yang lebih baik tentunya.
Tidak hanya duniawi, namun akhirat pun harus dipikirkan. Jangan terlalu larut dalam mencari jati diri, namun harus dipikirkan juga sikap akhlakul karimah dalam diri dan hati nurani. Perbaiki diri agar jadi lebih baik, tidak hanya fisik namun hati nurani juga perlu dibenahi. Masa depan itu penting, namun lebih penting lagi akhirat tempat kita kembali kepada sang ilahi nanti.
'CINTA KEPADA ALLAH DAN RASUL-NYA HARUS MELEBIHI CINTA KITA TERHADAP MAKHLUK CIPTAANNYA'
Bukannya mau ceramah atau apalah-apalah, disini saya hanya mengajak pada suatu kebaikan. Belajar bersama dalam memperbaiki diri agar menjadi manusia sejati. Tidak hanya cukup materi, namun juga kaya hati.
Mari kita cari tahu makna dari kehidupan ini dan menemukan jati diri kita yang sesungguhnya.!!
Tak terasa, lebih dari satu jam aku berbincang dengan Aan. Suatu percakapan yang banyak mempunyai makna begitu dalam dan memberi banyak pelajaran. Aku menulis ini hanya sekedar membagi pengalaman. Sekaligus menyampaikan kata demi kata yang menurutku bisa membuka pemikiran yang lebih baik. Semoga semangat kalian menemukan jati diri dapat kembali berkobar dalam jiwa, sesudah membaca tulisan ini, sama halnya seperti yang aku rasakan.
Aku rasa ini sudah terlalu panjang. Jika diteruskan akan menjadi bosan bagi pembaca. Mohon maaf bila ada salah-salah kata atau pemikiran. Sekian dari secuil pengalaman pribadi saya sendiri. Saya ucapkan terima kasih yang sudah bersedia membaca cerita yang bisa disebut sebagai curhatan hati saya sendiri. Kurang lebihnya mohon maaf..
Semoga bisa diambil hikmahnya dan semoga pesan moral melalui tulisan ini bisa tersampaikan dengan baik.
Terima kasih~
See you next time^^
Title: My story is true
Rating: G
Cast: Temukan sendiri
Genre: Apalah-apalah
Warning!!!
Sebelumnya, ini merupakan pengalaman pribadi yang saya tulis. Ada sedikit perubahan demi tersajinya tulisan ini. Namun secara keseluruhan adalah kebenaran.
NO FICTIF!!!
Typo bertebaran, yes!!
Selamat membaca-->>
Pagi. Ketika ayam jago belum berkokok, suasana pun masih sangat hening dengan gelapnya langit yang belum tersinari oleh cahaya matahari, aku sudah terbangun dari tidur lelapku untuk memulai aktivitas. Mungkin sebagian orang mengatakan jika itu masih malam hari, tetapi bagiku, jika waktu menunjukkan lebih dari pukul 3.00 am, aku nyatakan itu sudah pagi.
Jangan salah paham!
Aku bangun jam 3 pagi bukan karena aku anak yang rajin, tetapi justru sebaliknya. Semua pekerjaan dan tugas sekolah aku kerjakan saat bangun tidur. Entahlah, kalian menganggapku malas atau rajin, terserah kalian.
Seperti pagi ini. Aku lantas membuka kelopak mataku yang terasa berat ketika mendengar suara ayam berkokok dari jam beker yang selalu bertengger rapih di atas sebuah meja kecil di samping kanan kasurku. Aku melirik setumpuk buku tulis di atas meja belajar, yang berada tepat di depan pojok kanan kamar tidurku yang cukup luas. Sengaja aku letakan meja belajar itu disana agar setiap aku bangun tidur dan membuka mata, langsung tertuju pada buku tugas yang sedikit berserakan dan menumpuk di atas meja itu.
Dengan pijakan kedua kakiku di lantai, aku melangkah tanpa berniat membuka kelopak mataku yang terasa dilem begitu kuat. Seakan sudah hafal betul lekuk demi lekuk sudut ruangan, dengan mudahnya aku berjalan menuju kamar mandi. Membasuh wajah saja sudah cukup, urusan mandi lain waktu.
Sekitar pukul 05.30am, aku berhenti mengerjakan tugas tanpa memperdulikan selesai atau tidak. Dalam pemikiran otak kecilku, yang penting sudah berusaha, hasil adalah bagian akhir. Baru setelah itu membersihkan diri dan melaksanakan kewajiban sebagai seorang muslim yaitu shalat subuh. Aku seorang gadis berusia 15 tahun yang beragama islam. Indonesia. Itulah nama sebuah negara yang ku anggap tanah air ku.
Setelah dirasa sudah siap, aku bergegas berangkat menuju tempat dimana aku menuntut ilmu dan belajar disana. Dengan jilbab putih yang menutupi rambutku, ditambah seragam sekolah yang sedikit kebesaran hampir menutupi seluruh tubuhku terkecuali telapak tangan, sudah menjelaskan bahwa aku adalah seorang muslim. Dengan kepribadianku yang sedikit menutup diri, membuat orang lain menyebutku anak pendiam atau anak rumahan. Entahlah, apa sebutan itu pantas aku dapatkan?
Sejak kecil, aku sudah terbiasa sendiri. Orang tua yang cenderung sibuk dan kakak yang usianya terpaut jauh denganku, membuat kami berbeda pemikiran dan itu membuat kami terasa berada di dunia yang berbeda. Bahkan, hampir aku tidak mengenali mereka sebagai keluargaku dan justru orang lain yang dekat denganku-lah yang aku anggap sebagai keluarga.
Tapi entah bagaimana prosesnya, aku selalu mendapat peringkat di kelas. Bahkan tak jarang mengikuti lomba dan mewakili sekolah dalam berbagai kejuaran tingkat kecamatan. Bisa membaca dan menulis pun aku tak tahu awalnya bagaimana. Sampai tingkat SMP pun sama. Dengan rasa malas yang begitu erat dalam diriku, aku bingung dengan semua prestasi itu.
Hari ini. Seperti biasa, setiap hari aku berangkat sekolah, berharap mendapat secuil ilmu yang bisa berguna bagi masa depanku kelak. Akan tetapi, lagi-lagi aku merasakan sesuatu yang aneh. Aku mengerjakan sesuatu hanya sekedar menganggapnya sebuah kewajiban. Sama halnya dengan sekolah. Salah satu kewajibanku adalah belajar bukan? Sebagai seorang muslim juga aku mempunyai kewajiban mengerjakan shalat. Setiap hari, shalat lima waktu berusaha aku kerjakan. Tetapi, entahlah, aku bingung. Aku merasa seperti mengerjakan shalat ya hanya mengerjakannya saja. Berangkat sekolah pun sama, ya hanya sekedar berangkat saja.
Setiap yang aku lakukan bukan berarti tidak mempunyai tujuan. Tujuan tentu selalu ada. Mengerjakan shalat agar masuk surga. Sekolah untuk mencari wawasan dan mempelajari ilmu pengetahuan. Aku mengetahui tujuan dari setiap perbuatan yang aku lakukan. Tapi anehnya, perasaan seperti ini selalu muncul, perasaan yang membuatku merasa tidak tenang. Perasaan yang aku pun tidak mengerti, susah dijelaskan dan membuatku merasa kacau dari hari ke hari.
Aku pergi ke sekolah selalu bersama dengan kedua temanku, seorang teman lama yang kembali menjadi dekat karena satu sekolah lagi walaupun berbeda jurusan. Sesampainya disana, aku harus kembali menunggu mereka. Menunggu menurutku sesuatu yang sangat menjengkelkan, selain menguras emosi, menunggu juga menguji kesabaran. Sebuah senyuman selalu aku lontarkan, berbanding terbalik dengan rasa kesal yang menggelutiku. "Iya, tidak apa-apa." kalimat itu dengan mudahnya keluar dari mulutku dengan mengabaikan perasaan yang sesungguhnya.
Munafik. Salah satu sifat tercela yang tanpa sadar selalu hadir dalam diriku. Demi kebaikan dan rasa tidak enak hati pada seseorang, membuat sifat munafik itu selalu muncul tanpa aku sadari. Bermodal sebuah senyum palsu, dengan seringnya aku menciptakan sifat tercela itu dalam diriku sendiri. Beralasan demi sebuah kebaikan, aku justru menjerumuskan diriku sendiri ke dalam sebuah lubang yang akan menuntunku ke salah satu pintu neraka.
Ketika aku sampai di depan kelas, tepat diambang pintu, aku dikejutkan oleh 'sosoknya' yang sedang berdiri tegap tak jauh dari tempatku berpijak. Sosoknya yang entah sejak kapan menjadi media pengetes jantungku. Setiap melihat sosoknya, jantungku selalu berdegup kencang. Apa kalian pernah menaiki wahana 'ombak banyu' di pasar malem? Aku rasa kurang lebih seperti itu rasanya.
Dengan jarak yang cukup dekat, sosok itu berjalan mendekat. Bukan menuju ke arahku, melainkan melewatiku dan berjalan menuju seorang gadis yang berdiri tepat di belakangku. Sebut saja gadis itu Mawar. Aku menoleh dan menatap sosoknya sekilas, seulas senyum di pagi hari terukir cukup manis di sudut bibirnya. Begitu mirisnya mengingat senyuman itu tersaji bukan untukku, melainkan untuk orang lain yang berstatus sebagai teman baruku.
Setidaknya aku bisa melihatnya tersenyum, itu sudah cukup untukku. Aku tidak boleh berharap lebih dari itu. Tidak boleh. Aku kembali melangkah meninggalkan dua insan itu yang saling melempar senyum di pagi hari.
Aku meletakkan tas berwarna pink kemerah-merahan itu. Meraih buku tulis berisi tugas yang belum selesai aku kerjakan. Dengan segenap kemampuanku, secepat mungkin aku menyelesaikannya.
"Ngerjain apa, Pon? Ada tugas tah?" tanya Mawar yang duduk di samping kananku, tetapi bukan satu bangku. Ada jarak yang dijadikan jalan diantara kami.
"Hm. Tugas PAI. Merangkum." ucapku sambil menoleh sekilas ke arahnya.
Satu detik. Dua detik. Tiga detik. Hening. Lima menit kemudian, konsentrasiku terganggu karena kehadiran 'sosoknya' di sampingku. Aku dengan ragu menoleh dan menatapnya.
"Bayar name tag." ujarnya datar.
Ayolah! Berharap apa aku ini?
"Ini. 22ribu 'kan?"
Ia hanya mengangguk kecil. Melangkah pergi tanpa sepatah kata pun. Aku tersenyum kecut dan kembali melanjutkan kegiatan yang sebelumnya terbengkalai.
Pelajaran pertama dimulai. Sebelum dimulai, kami semua berdiri, menyanyikan lagu wajib nasional dan satu lagu daerah. Mengingat negara, Indonesia, sebuah negara besar yang masih tetap berkembang tanpa ada kemajuan. Justru semakin terbelakang dan tertinggal oleh negara lain. Cinta tanah air. Tentu saja kata itu tertanam kuat di dalam hatiku. Ada keinginan kuat untuk membangun tanah air sendiri yaitu Indonesia.
Tetapi zaman terus berkembang, tidak menutup kemungkinan ada rasa kagum terhadap negara lain yang membuatku seolah-olah mengeyampingkan negara sendiri. Sejak dibangku SMP, aku menyukai dunia k-pop. Empat tahun sudah aku menjadi seorang k-popers. Apapun yang berbau Korea selatan selalu membuatku bersemangat. Pelajaran IPS yang sangat tidak aku sukai dan membuat mataku selalu terasa lebih berat, lain halnya ketika materi tentang perekonomian dunia. Materi itu selalu membuatku bersemangat, apalagi ketika negara k-pop itu dibahas, seulas senyum terukir tanpa sebab memikirkan sang idola yang bertempat tinggal disana.
Ibu guru bahasa indonesia mulai memberikan materi menggunakan infokus. Beberapa murid perempuan berteriak, aku lantas mendongakkan kepala yang sedari tadi ku tekuk. Mataku membulat, "Kim Woo Bin?!"
Sejak saat itu, aku merasa bersemangat ketika pelajaran indonesia diberikan. Dengan alasan karena ibu guru yang mengajar tidak hanya masih muda dan cantik, tetapi juga seorang k-popers yang mengaku sebagai istri Hyunbin.
Teks anekdot. Suatu cerita singkat yang menarik karena lucu dan mengesankan pembaca. Materi itulah yang sedang dibahas. Ketika sekretaris yang merupakan teman sebangku Mawar beranjak dari kursi dan menulis materi di papan tulis, sosok itu kembali melangkah menuju kursi yang kosong itu, tepat disebelah Mawar.
Mungkin perasaan yang tengah aku rasakan saat ini merupakan hal yang wajar saat menginjak usia remaja. Mengagumi seseorang yang merupakan lawan jenis sudah sering aku rasakan. Perasaan senang ketika melihat sebuah senyum dari sosok yang dikagumi dan salah tingkah saat berada di dekatnya. Semua itu adalah suatu hal yang wajar.
Saat ini, aku merasakan sesuatu yang disebut rasa cemburu. Cemburu melihat 'sosoknya' berada di dekat gadis lain. Melihatnya bersenda gurau atau hanya sekedar berbincang dengan gadis lain. Rasa kesal bergelut di hatiku, seakan-akan ingin memaki gadis lain yang sedang berada di dekat sosok yang aku kagumi itu. Tetapi yang bisa aku lakukan saat ini hanya bisa mendesah pelan. Membuang rasa kesal itu melalu udara.
Sekretaris sudah selesai menulis. Otomatis, sosok itu tersingkir dan beranjak pergi. Secercah rasa bahagia terbesit di hati. Akan tetapi, sosok itu meraih sebuah kursi yang kosong dan meletakkannya di jarak antara aku dan Mawar. Apa kalian bisa bayangkan? Kami seperti sedang berada di cinta segi tiga saja. Memperebutkan satu lelaki yang sedang sibuk menulis materi tanpa memperdulikan hatiku yang bergejolak menyadari 'sosoknya' berada di dekatku.
Tetapi, jika aku bersedia bersaing dengan Mawar, akan dipastikan aku keluar sebagai pengecut yang kalah dalam satu babak. 'Sosoknya' bahkan tak menganggapku ada dan hanya melihat Mawar. Hanya Mawar. Aku harus menyadari itu dan menerimanya.
Ketika sedang menulis materi yang diberikan, aku benar-benar merasa terganggu jika ada salah seorang mengatakan,"Ada pulpen lagi?" aku hanya bisa mendesah pelan. Dan lagi-lagi hanya bisa menggerutu dalam hati tanpa berniat mengatakannya langsung. Sebuah senyuman dengan mudahnya terulas sambil mengulurkan sebuah pulpen. Sungguh, di dalam hatiku, aku menggerutu."Niat sekolah ga sih? Beli jajanan banyak bisa, kenapa pulpen ga bisa?" karena bukan hari itu saja, keesokan harinya pun sama. Pemikiran untuk menolong sesama muncul hanya di dalam otak, tidak dengan hatiku. Selalu muncul secercah rasa kesal, entah bagaimana cara menghilangkan itu. Buruknya, perasaan itu sering sekali muncul tanpa disadari dan sudah melekat dalam diri menjadi suatu kewajaran dan kepribadian.
Shalat dzuhur selalu aku kerjakan di musola sekolah. Tentang kekhusuan, entahlah, itu suatu hal yang sulit dilakukan. Dengan kegaduhan yang ada dan begitu banyak murid lain yang menunggu giliran, membuat 'khusuk' semakin sulit saja dilakukan. Dalam keadaan tenang saja, belum tentu aku khusuk dalam shalat.
Masa remaja. Semua orang pasti mengalaminya, entah itu belum ataupun sudah. Saat ini, aku sedang mengalaminya. Masa remaja, masa dimana seseorang mencari jati diri. 'Siapa aku? Apa tujuanku? Mau jadi apa aku kelak?' itu adalah segelintir contoh pertanyaan yang muncul dibenakku sekarang. Entah apa pertanyaan yang kalian pikirkan, setiap orang pasti memiliki pemikiran yang berbeda. Bagaimana caranya menemukan jati diri, sampai saat ini masih menjadi tanda tanya besar dalam hidupku.
Tugas dan tugas selalu diberikan guru dalam setiap pertemuan, itu semua bukan suatu hal yang salah. Semua itu wajar dan justru dengan tugas-tugas tersebut membuatku lebih aktif dan memahami meteri secara keseluruhan. Dengan tugas itu, aku mengetahui seberapa jauh kemampuanku dalam memahami materi tersebut. Namun, ada kalanya merasa terbebani dengan berbagai tugas yang terus menumpuk dan justru membuatku kesal dan down seketika. Menyadari batas kemampuan sendiri, membuatku merasa tertekan dengan kemampuan orang lain yang lebih dariku. Sampai sempat terpikir olehku ingin memberontak pada lingkungan dan ingin bebas melakukan apapun. Tetapi semua itu terasa tidak mungkin dilakukan.
Suatu hari aku merasa sangat kacau, semua yang aku lakukan terasa salah dan itu membuat emosiku meluap-luap. Setiap pertanyaan dari teman, aku selalu meresponnya dengan sinis. Aku tidak mengerti dengan perubahan sikap yang terbilang sangat drastis itu. Rasanya aku ingin menangis, marah pada diri sendiri. Memaki sifat yang membuatku semakin jauh dengan jati diriku sendiri.
Kelas kosong. Tidak ada guru yang masuk untuk mengajar. Semua murid bercanda dan tertawa bersama. Bahkan, bernyanyi yang sama sekali tak ku ketahui lagunya. Berbeda denganku, aku hanya diam, meletakkan kepalaku di atas meja sambil menutupi wajahku yang muram dengan sebuah buku. Menutup mata, merenung tentang jati diri dan sifat-sifat buruk yang terus hadir dalam diriku akhir-akhir ini. Aku merasa seakan jauh dan terus menjauh dari Allah. Entahlah, aku merasa tidak tenang dan terus membayangkan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi padaku.
Beberapa saat terdiam, membuatku merasa sangat takut. Rasa takut yang muncul begitu saja tanpa aku tahu penyebabnya. Hatiku terasa sakit dan ingin rasanya aku menangis sejadi-jadinya. Aku hanya bisa beristigfar dan terus mengingat kesalahan demi kesalahan yang telah aku lakukan. Hatiku bergetar mengingat begitu banyak kesalahan yang aku perbuat satu hari ini saja. Bagaimana dengan hari yang lain? Kesalahan selama 15 tahun ini, tidak bisa aku bayangkan sebanyak apa itu, yang pasti sangatlah banyak.
Aku beranjak, melangkah menuju perpustakan tepat di samping kelas. Begitu banyak buku, tetapi yang paling menyita perhatianku adalah sebuah rak buku kumpulan novel. Aku meraih sebuah buku novel penggugah jiwa berjudul 'saat aku mengingat Tuhan'. Ceritanya biasa, sering terjadi pada kehidupan sehari-hari terutama para remaja seperti aku. Kisah tentang persahabatan yang justru membawa kita kepada hal yang salah. Yang perlu digaris bawahi adalah penulis itu menceritakan seorang gadis remaja yang tidak punya jati diri, namun pada akhirnya menemukan jati dirinya itu.
Aku lebih memilih duduk di lantai dengan punggung yang menyandar pada rak besar tempat buku-buku disimpan. Padahal, tempat untuk membaca sudah disiapkan berikut dengan meja dan kursi yang cukup nyaman menurutku. Namun, aku merasa lebih nyaman dengan duduk dilantai dengan kedua kaki yang menjulur ke depan. Toh, perpustakan masih sangat sepi karena belum jam istirahat.
"Baca apa, pon?"
Aku terkesiap mendengar suara seseorang bertanya padaku. Aku mendongak, terlihat seseorang yang cukup familiar tengah terdiam menunggu respon dariku dengan alis yang saling bertautan.
"Oh, ini. Lagi baca-baca buku novel. Ada apa?"
"Tidak. Aku hanya bosan saja di kelas. Novel apa, pon?" tanyanya sambil ikut duduk tepat di sebelah kananku. Dia adalah seorang gadis yang cukup aktif dan rajin. Tugas selalu ia kerjakan tepat waktu, tidak seperti diriku. Sebut saja dia Aan. Oh ya, namaku Novi Abdurahman. Pasti kalian ingin bertanya, nama bapaknya Abdurahman ya? Sudah basi. Hampir setiap aku memperkenalkan diri, orang-orang bertanya seperti itu.Tetapi panggil saja aku, ipon. Karena di kelasku terdapat dua nama Novi, maklum saja, nama Novi terlalu fenomenal. Jadi, untuk membedakan, aku membalikkan namaku menjadi Ipon. Baiklah, cukup sekian perkenalannya, terima kasih.
"Novel penggugah jiwa. Judulnya, saat aku mengingat Tuhan."
"Oh. Ceritanya seru?"
Aku mengangguk mengiyakan. Dengan antusias aku menceritakan garis besar cerita novel itu. Entah kenapa, aku merasa nyaman bersamanya, seolah-olah mendapat sebuah sandaraan untuk sekedar melepas letih. Bukan maksud untuk memanfaatkan atau apapun yang berbau negatif, hanya saja aku menemukan seorang teman yang bisa diajak bicara tanpa harus menjadi orang lain, cukup menjadi diri sendiri, apa adanya dan saling terbuka. Sama seperti sahabatku, sebut saja Lala. Dia seorang sahabat yang membuatku merasa nyaman melebihi saudara-saudaraku sendiri. Pemikiran kami yang sama, membuat kami merasa nyaman satu sama lain ketika bercerita.
Aku baru saja masuk bangku SMA dan belum merasa nyaman dengan lingkungan dan suasana yang ada. Termasuk pada teman-teman yang baru, mereka secara tidak langsung membuatku tertekan dengan berbagai sikap mereka yang tidak sesuai dengan sikapku.
Aku tidak tahu awalnya bagaimana, yang jelas, tanpa sadar aku menceritakan permasalahan yang aku pikirkan sejak beberapa hari terakhir. Tanpa ragu aku meluapkan semua yang aku rasa mengganjal di hati, berharap ia bisa sedikit membantu untuk menemukan jawabannya atau sekedar memberi penerangan pada gelapnya pemikiran yang terus bergelut dipikiranku.
"Sebenarnya, apa jati diri itu?"
"Menurutku, jati diri adalah kepribadian yang sesungguhnya. Bersumber dari dalam hati bukan dalam perbuatan."
"Bagaimana cara menemukan jati diri?"
"Hanya diri sendiri yang tahu. Biasanya sulit dan setiap orang itu berbeda cara. Tetapi, suatu hari nanti, kamu akan menyadarinya sendiri tanpa harus mencari tahu."
DEG!!
Hatiku bergetar mendengar setiap kata demi kata yang ia ucapkan, jawabanya itu membuatku tertegun dengan bahasanya yang lugas dan jelas. Rasanya ingin sekali suatu hari nanti aku dapat menemukan jati diriku. Jati diriku yang sebenarnya.
"Aan, apa kamu sudah menemukannya?"
Aku terdiam. Menunggu jawaban darinya. Dia tampak berfikir, dan memutar bola matanya. Seperkian detik kemudian, ia menghela napas kasar. Seperti ada sebuah kekecewaan disana, sorot matanya berubah sendu. Namun, ia kembali tersenyum dan menggeleng menatap ke arahku.
"Aku rasa belum."
"Apa pernah kamu merasa sangat kacau? Saat ini, aku merasa sangat kacau. Kau tahu, yang ada hanya emosi dan emosi. Itu sebabnya aku kesini."
Lagi-lagi tanpa sadar aku mengatakan hal yang seharusnya tak ku katakan pada orang lain. Apa boleh buat? Aku sudah terlanjur mengatakannya. Toh, tidak ada salahnya bukan? Mungkin saja setelah ini aku menjadi dekat dengannya.
"Tentu saja, pernah. Kamu kacau kenapa?"
"Entahlah, aku rasa apa yang aku lakukan semuanya terasa salah."
Untuk ke-sekian kalinya aku tertegun atas jawaban yang ia lontarkan. Ia mengatakan jika itu hanya perasaanku saja, itu tidak benar dan tidak baik. Perasaan seperti itu datangnya dari syaiton. Ia menyarankan agar aku lebih mendekatkan diri kepada Allah swt. dengan cara shalat tahajud. Shalat malam membuat kita menjadi lebih tenang dan berpasrah diri kepada Allah dengan cara bertawakal kepada-Nya. Itulah jawaban yang ia lontarkan dan berhasil menusuk-nusuk hatiku.
Penjelasannya yang terlampau panjang itu membuat hatiku bergetar, tubuhku terasa lemas, walaupun faktor lapar ikut mendominasi, tetapi ucapan Aan lebih berpengaruh. Aku merasa seakan tersindir dan seolah-olah tercekik atas ucapannya itu. Shalat tahajud, aku pernah melakukannya, tetapi disaat-saat tertentu saja. Seperti waktu menjelang UN, dengan giatnya aku bangun malam untuk shalat tahajud. Tetapi sekarang, sudah lama aku tak mengerjakannya lagi. Dikarenakan satu alasan, yaitu tidak sempat karena terlalu banyak tugas. Astagfirullah..
Aku baru saja menyadari sikap lalaiku selama ini. Sikap lalai yang membuatku menyepelekan hal penting dan menganggapnya suatu hal yang biasa. Shalat lima waktu. Suatu hal yang sangat penting untuk dilakukan, namun sering kali aku menyepelekan kewajibanku yang paling utama itu. Dengan berbagai alasan, aku selalu menunda-nunda waktu untuk sesegera mungkin mengerjakan shalat lima waktu itu. Berfikir jangka waktu shalat berikutnya masih lama, dengan begitu lalainya aku menunda dan terus menunda.
"Apa kamu setiap hari shalat tahajud?" tanyaku penasaran. Aku harap, pertanyaanku barusan tidak menyinggung perasaannya. Dengan perasaan was-was, aku menunggu jawaban darinya.
"Tidak setiap hari. Hanya sesekali, tetapi aku berusaha sesering mungkin. Karena tidak ada ruginya kita bangun malam dan menyempatkan diri untuk shalat tahajud. Justru, dengan itu kita akan merasa semakin dekat dengan sang ilahi. Perasaan itu merupakan nikmat terbesar yang aku rasakan."
Aku hanya bisa terdiam. Menatap sosok gadis remaja yang menurutku sangat luar biasa. Menatap wajahnya yang sedang menerawang ke atas, membayangkan perasaan dan nikmat yang telah ia rasakan dan mungkin, perasaan yang belum pernah aku rasakan selama ini. Gadis itu tersenyum. Berbeda denganku yang terus merasa semakin kecil dan kecil dihadapannya. Aku berpikir, sekecil apa aku dihadapan Allah sang Maha Pencipta?
Dibandingkan dengan sosok Aan saja aku merasa sangat kecil, bagaimana aku dihadapan sang ilahi? Mungkin hanya butiran debu yang kotor saja. Astagfirullah..
Begitu seringnya aku bangun malam hari, tetapi kenapa sama sekali tidak terpikir olehku untuk mengerjakan shalat tahajud, setidaknya dua rakaat. Ya Allah, aku merasa seakan-akan melupakan-Mu dan justru hanya mengingat urusan duniawi.
Rasanya aku ingin menangis sejadi-jadinya menyadari aku yang biasa-biasa saja tetapi selalu berbuat kesalahan. Seakan-akan merasa besar dengan kemampuan yang masih tidak ada apa-apanya hanya dibandingkan dengan sosok gadis remaja yang tengah duduk di sampingku saat ini.
Gadis itu beralih menatapku, menyadari binar mataku yang sedikit berair membuatnya merasa tidak enak hati. Ia menatapku sendu dengan raut wajah penyesalannya yang terlihat begitu alami, tidak dibuat-buat, dan tidak membuatku berpikir ia sok perduli atau sejenisnya.
"Kamu kenapa, Pon? Apa ucapanku barusan ada yang salah?" tanyanya khawatir dengan intonasi yang sangat pelan dan lembut. Mungkin takut jika ia salah pengucapan lagi yang bisa membuatku semakin menangis.
"Tidak. Hanya saja aku merasa sangat kecil jika dibandingkan denganmu."
"Eh? Kenapa begitu? Tidak, Pon. Aku hanya manusia biasa. Tidak sepantasnya membandingkan diri kamu dengan manusia biasa sepertiku. Aku tidak pantas."
Aku hanya bisa mengangguk dan tersenyum menatap sosoknya yang begitu mengagumkan. Bukan karena fisiknya, melainkan kepribadiannya. Mengingat kepribadian, mungkin itu adalah jati dirinya yang sebenarnya. Aku harap, aku bisa menjadi setidaknya seperti sosoknya. Aku tidak ingin berharap tinggi, cukup berusaha dan mencoba menjadi pribadi yang lebih baik.
"Pon, menurut kamu cinta itu anugerah atau ujian?"
Secara tiba-tiba, ia mengganti topik jati diri menjadi cinta. Entah apa yang terlintas dipikirannya. Aku hanya mencoba menjawab sepengetahuanku saja. Aku memutar bola mataku, menerawang dan merangkai kata demi kata yang akan dilontarkan sebagai sebuah jawaban.
"Menurutku ujian, yaitu melawan hawa nafsu. Karena perasaan cinta yang hadir pada saat yang tidak tepat akan berakibat buruk. Contohnya pada masa remaja seperti kita." jawabku penuh kehati-hatian disetiap katanya.
Dia tak merespon. Mungkin sama, sedang merangkai kata. Alisnya yang bertaut, menandakan ia sedang berpikir keras untuk menanggapi jawabanku barusan. Semoga obrolan ini tak berakhir dengan debat yang berujung pada konflik. Semoga saja.
"Apa kamu tak pernah merasakan perasaan cinta?"
Eh? Pertanyaan macam apa itu? Hubungan kita belum mencapai batas itu! Dikatakan berteman saja masih ragu. Tentu saja, aku ragu menjawab pertanyaannya, karena terlalu privasi dan bersifat sensitif menurutku.
"Tentu pernah. Itu hal yang wajar bukan?" tanyaku kikuk.
Aku menelan saliva dengan susah payah. Baiklah! Ini bukan test ataupun wawancara. Tidak perlu takut ataupun gugup. Ini hanya mengobrol biasa sesama teman. Rileks! Santai! Seperti di pantai.
"Tentu wajar, karena cinta adalah sebuah anugerah."
"Eh? Anugerah? Bagaimana bisa?"
"Tentu saja bisa. Tergantung dari tanggapan diri sendiri ketika cinta itu hadir dalam hati."
Untuk kesekian kalinya aku memutar bola mataku, mengulang kata demi kata yang ia ucapkan. Aku pahami dan resapi agar tidak salah mengerti maksud ucapanya barusan. Sungguh, lafal pengucapannya terlalu cepat dengan arti bahasa yang begitu tinggi. Membuatku semakin bingung saja. Jati diri saja belum aku temukan, nah ini harus mencari maksud dari ucapannya saja membuat kepalaku terasa pening.
Ia menjelaskan jika cinta yang datang dalam diri, kita tanggapi biasa saja dengan bersyukur kepada Allah, atas perasaan cinta yang muncul dalam hatinya sebagai perasaan yang wajar dirasakan oleh manusia normal, maka cinta tersebut dikatakan sebagai anugerah.
Sedangkan jika cinta yang hadir dalam diri, kita tanggapi dengan berlebihan, maka hawa nafsu pun sama, menginginkan yang lebih selain hanya bersyukur kepada Allah. Maka, cinta yang seperti itu dikatakan sebagai ujian, karena kita harus berperang melawan hawa nafsu kita sendiri. Kata Rasulullah, perang badar yang merenggut begitu banyak nyawa pejuang islam, hanya dikatakan sebuah perang kecil. Sedangkan perang yang besar, yaitu perang melawan hawa nafsu.
Suatu pelajaran yang aku pahami melalui sebuah obrolan kecil yang sangat bermanfaat. Tidak semuanya para perempuan berkumpul hanya untuk bergosip tentang kejelekan seseorang ataupun bergunjing. Kembali lagi kepada diri kita masing-masing. Semoga kita, para perempuan bisa berkumpul dan mengobrol tentang sesuatu yang bermanfaat dan tidak membawa unsur kejelekan di dalamnya.
Mengingat cinta. Setiap orang itu berbeda pendapat. Aku sebagai gadis remaja, saat ini sedang merasakan sesuatu yang sama sekali tak ku mengerti. Akan cinta, aku teringat akan 'sosoknya' yang membuatku merasa senang dan juga sedih secara bersamaan. Senang bisa melihatnya dan juga sedih mengingat ia bahkan tak pernah melihatku. Mungkin saja, ia tak menyadari kehadiranku disekitarnya.
Sosok yang aku kagumi justru melihat orang lain yang menurutku memang lebih baik dariku. Ada rasa kecewa, sedih, marah, kesal, yang bercambur aduk menjadi sebuah amarah dalam diri. Melahirkan sifat munafik dan iri hati yang begitu membelegu jiwa sampai akhirnya melupakan jati diri. Egoisme sering muncul dikarenakan ingin mendapat lebih dari 'sosoknya' dan menganggap diri lebih pantas dari orang lain.
Sampai detik ini, aku berusaha membatasi diri pada perasaan itu, perasaan yang orang lain menyebutnya sebagai cinta. Jujur, aku tidak ingin mengiyakan pendapat itu. Aku hanya ingin, perasaan itu cukup sebagai rasa kagum semata terhadap sosok yang aku anggap berbeda dan istimewa. Bahkan sampai saat ini, aku masih mempertanyakan apa itu cinta. Apa manfaat dan fungsi dari cinta itu sendiri. Jika cinta memang ketertarikan terhadap lawan jenis, menurutku itu kurang logis. Mungkin diusiaku saat ini, belum saatnya mengerti tentang devinisi cinta yang sesungguhnya.
Berpikir untuk berpacaran. Mungkin setiap remaja hampir berpikir tentang hal itu tak terkecuali aku. Era globalisasi seperti sekarang ini, membuat hal yang dinamakan 'berpacaran' itu suatu kewajaran dan biasa saja. Bahkan lebih parahnya lagi, jika seseorang yang belum pernah berpacaran, dikatakan orang yang tidak gaul dan justru jadul. Mereka dianggap terbelakang hanya karena belum pernah berpacaran. Apakah hal itu pantas?
Indonesia, sebagai salah satu negara yang mayoritas penduduknya beragama islam, apakah hal seperti berpacaran dianggap biasa dikalangan masyarakat? Jawabanya sudah dipastikan 'YA'. Akibat dari yang dinamakan 'era globalisasi' itulah, yang menjadikan negara Indonesia sama dengan negara-negara lain di dunia. Namun sayangnya, persamaan itu bukanlah dalam suatu konteks yang baik, melainkan persamaan dalam menganggap 'berpacaran' adalah suatu kewajaran semata.
Menurut agama islam, sependek pengetahuanku, berpacaran adalah suatu hal yang menjurus pada zinah. Otomatis, jika berpacaran dianggap suatu kewajaran, secara tidak langsung zinah pun dianggap hal sepele bukan? Entahlah, akupun hanya seorang gadis remaja, sama halnya dengan gadis lain, rasa bimbang yang didampingi dengan ketidakpastian melekat dalam diri. Hawa nafsu selalu muncul memerangi diri dan secara tidak langsung memberontak pada hati nurani yang mengatakan 'tidak' pada sesuatu yang buruk.
Sering aku alami, pikiran tidak sama dengan mulut. Lagi-lagi unsur kemunafikan aku temukan dalam diri. Kata 'ikhlas' selalu terpikir olehku, namun penerapannya selalu kurang tepat. Merasa ada sesuatu yang mengganjal di dalam hati ketika ingin menerapkan yang dinamakan 'ikhlas' itu. Entahlah, bagaimana cara menghilangkan sifat itu. Seperti aku ingin mengikhlaskan 'sosoknya' dengan gadis lain siapapun itu, karena aku memang tidak ingin menginginkan sesuatu yang lebih, aku tidak ingin hawa nafsu mengalahkan jati diriku sendiri. Tetapi, melihatnya tersenyum dan tertawa pada orang lain, aku merasakan sesuatu yang tak seharusnya aku rasakan.
Satu hari. Dua hari. Tiga hari. Aku mencoba membiasakan diri untuk tak memperhatikan 'sosoknya'. Suatu hari, ia tak masuk sekolah dikarenakan sakit. Apa kau tahu apa yang aku rasakan? Bahagia. Bukan bahagia karena tak melihat 'sosoknya' ataupun berbahagia atas sakitnya itu. Aku bahagia karena seharian itu tidak melihat 'sosoknya' berdekatan bersama gadis lain. Pribadinya yang mudah bergaul, membuat ia dekat hampir dengan seluruh gadis di kelas, kecuali aku dan beberapa orang lainnya.
Temanku pernah bertanya pada seseorang,"Apakah berpacaran itu diperbolehkan?"
Jawaban yang terus aku pikirkan kebenaranya. Temanku mengatakan jika orang itu menjawab,"Boleh-boleh saja. Asalkan menurut ajaran agama islam."
Aku memutar bola mataku, alisku betaut dengan kening yang berkerut mendengarnya. Apakah benar? Apakah ada kata berpacaran dalam agama islam? Berpacaran menurut ajaran agama islam itu bagaimana? Sedangkan sepengetahuanku kata berpacaran saja dalam agama islam itu tidak ada. Itu menjadi sebuah PR yang belum terjawab olehku sampai detik ini.
Beralih dari topik cinta. Beberapa hari ini, aku merasa tubuhku semakin berat saja. Mungkin berat badanku naik lagi. Aku adalah tipe orang yang suka makan dalam relatif waktu yang singkat. Ketika pikiran-pikiran muncul dalam otak kecilku, menjadi kegelisahan yang tak beralasan, membuatku selalu merasa lapar. Aneh bukan?
Saat menjelang UN SMP, pipi tirusku berubah menyerupai sebuah bakpau. Pikiran-pikiran yang sebenarnya hal sepele, membuat rasa gelisah yang teramat sangat hingga membuatku menjadi takut. Takut akan hal yang akan terjadi kedepannya. Hasil UN dan kelanjutan dari pendidikanku adalah segelintir contohnya. Orang tua, teman, begitupun orang lain terkejut akan perubahan wajahku yang bengkak itu.
Jauh dari orang tua menjadi beban tersendiri untukku. Ketika berat badan bertambah, orang lain berfikir aku senang. Padahal kebenarannya justru bertolak belakang. Rasa takut akan masa depan membuatku merasa kacau dari hari ke hari. Ingin rasanya aku menghindari masa depan dan tak ingin menjadi dewasa.
Namun, dengan mengenal sosok Lala dan Aan, gadis remaja seusiaku yang mampu membangkitkan semangat yang telah lama terkubur jauh di dalam jiwa, kini kembali muncul dan mulai berkobar bak semangat pejuang kemerdekaan.
Terima kasih sobat..
Aku berharap, setidaknya rasa takut dan gelisah yang selalu membelegu diriku saat ini, dapat dihilangkan sedikit demi sedikit. Sehingga dengan sendirinya aku akan menyadari sosok seperti apa aku sebenarnya. Jati diri yang terkubur oleh rasa takut yang tak beralasan, akan aku coba gali dengan niat memperbaiki diri menjadi pribadi yang lebih baik tentunya.
Tidak hanya duniawi, namun akhirat pun harus dipikirkan. Jangan terlalu larut dalam mencari jati diri, namun harus dipikirkan juga sikap akhlakul karimah dalam diri dan hati nurani. Perbaiki diri agar jadi lebih baik, tidak hanya fisik namun hati nurani juga perlu dibenahi. Masa depan itu penting, namun lebih penting lagi akhirat tempat kita kembali kepada sang ilahi nanti.
'CINTA KEPADA ALLAH DAN RASUL-NYA HARUS MELEBIHI CINTA KITA TERHADAP MAKHLUK CIPTAANNYA'
Bukannya mau ceramah atau apalah-apalah, disini saya hanya mengajak pada suatu kebaikan. Belajar bersama dalam memperbaiki diri agar menjadi manusia sejati. Tidak hanya cukup materi, namun juga kaya hati.
Mari kita cari tahu makna dari kehidupan ini dan menemukan jati diri kita yang sesungguhnya.!!
Tak terasa, lebih dari satu jam aku berbincang dengan Aan. Suatu percakapan yang banyak mempunyai makna begitu dalam dan memberi banyak pelajaran. Aku menulis ini hanya sekedar membagi pengalaman. Sekaligus menyampaikan kata demi kata yang menurutku bisa membuka pemikiran yang lebih baik. Semoga semangat kalian menemukan jati diri dapat kembali berkobar dalam jiwa, sesudah membaca tulisan ini, sama halnya seperti yang aku rasakan.
Aku rasa ini sudah terlalu panjang. Jika diteruskan akan menjadi bosan bagi pembaca. Mohon maaf bila ada salah-salah kata atau pemikiran. Sekian dari secuil pengalaman pribadi saya sendiri. Saya ucapkan terima kasih yang sudah bersedia membaca cerita yang bisa disebut sebagai curhatan hati saya sendiri. Kurang lebihnya mohon maaf..
Semoga bisa diambil hikmahnya dan semoga pesan moral melalui tulisan ini bisa tersampaikan dengan baik.
Terima kasih~
See you next time^^
Sabtu, 29 Agustus 2015
FANFICTION PARK CHANYEOL: I SAID YOU'RE THE ONE CHAPTER 2
FANFICTION PARK CHANYEOL: I SAID YOU'RE THE ONE
Title: I said you're the one
Cast: Yoora, Chanyeol, others.
Genre: Family, romance and litle-litle comedy.
Rating: G
#Chapter 2
Warning!!! Typo bertebaran~~
Segenggam keajaiban telah mengubah seluruh bagian dalam hidupku,
'Sungguh, ini sebuah kebahagian yang tak terduga. Akhirnya, sekarang aku mempercayai sebuah keajaiban. Detik ini juga aku nyatakan bahwa keajaiban itu memang ada.' ^ ^
Author POV
Yoora menuruni anak tangga dan menghampiri meja makan dengan handuk yang masih di atas kepala menggulung rambutnya yang baru saja ia cuci. Tepat disaat Yoora menduduki kursi kosong bagiannya, semua anggota keluarga yang lain beranjak pergi. Yoora menatap heran mereka. Namun, sedetik kemudian ia tak menghiraukan mereka dan kembali beralih pada makanan di atas meja untuk mengisi perutnya yang kosong.
"Yak!! Kenapa tidak ada sisa makanan untukku?!"
Yoora menatap nanar piringnya yang kosong dan hanya memegangi sendok dan garpu yang terasa hampa tanpa makanan. Alhasil, ia hanya meneguk segelas air putih untuk menu sarapannya pagi ini.
Yoora menghampiri ayahnya yang sedang duduk santai di taman belakang rumah sambil membaca koran.
"Ayah, berikan aku uang!! Aku ingin membeli album baru idolaku. Hm?" rajuk Yoora dengan menengadahkan kedua tangannya bak seorang pengemis.
"Berapa?"
Ayahnya mencoba untuk merespon tanpa berniat untuk menoleh sekilas pun, ia lebih tertarik membolak-balikan halaman koran ketimbang untuk bercakap-cakap dengan putri semata wayangnya itu.
"100.000 won." ujar Yoora sambil mengangkat jari telunjuknya dengan wajah memelas.
"Kenapa mahal sekali?"
"Tentu saja tidak!! Apa ayah tahu? Idolaku itu sangat terkenal, jadi wajar saja jika harga album barunya mahal."
"Ck! Ayahmu ini lebih terkenal daripada idolamu itu! Kau tahu? Ayah adalah pria idaman setiap wanita."
"Tentu saja. Tetapi itu sudah puluhan tahun yang lalu. Sekarang sudah tahun 2015! Keadaan sudah berbeda bukan? Ayah lupa? Ayah sudah tua sekarang!"
Yoora langsung menutup mulutnya yang kelewat batas itu. Yoora menyesali sebuah kejujuran yang baru saja ia lontarkan begitu saja, ia bisa saja gagal membeli album baru idolanya itu akibat kejujurannya.
"Ck! Ayah tahu itu! Ini, sana belilah album baru idolamu itu! Ayah membenci kejujuranmu hari ini."
Yoora tersenyum dan berjingkrak kegirangan. Ia berhasil mendapatkan uang karena kejujurannya itu. Yoora memeluk ayahnya dan sangat berterima kasih padanya. Berkat ayahnya, ia bisa membeli album baru idolanya itu.
"Memangnya siapa idolamu yang sangat terkenal itu?"
Tak disangka, ternyata ayahnya juga bisa bersikap 'kepo'. Dengan melirik sekilas kearah putrinya, membuktikan bahwa ia benar-benar ingin mengetahui idola putrinya itu yang katanya melebihi kepopulerannya itu.
"EXO dari S.M Entertaiment. Mereka sangat tampan dan berbakat tentunya." ujar Yoora dengan begitu angkuh. Dengan penuh percaya diri, Yoora menyebutkan siapa idolanya itu.
"Ayah tidak tahu mereka. Kau bilang mereka sangat terkenal." cibir ayah Yoora. Perkataannya sungguh menyayat hati, pantas saja kakak semata wayangnya bersikap seperti itu, ternyata memang ada bibit mulanya.
"Ayah saja yang tidak tahu trend masa kini. Ayahkan sudah tua." ejek Yoora.
"Kau ini!! Ayah tak kalah tampan dengan EXO idolamu itu."
"EXO?"
Ny. Kim yang sedang menghampiri mereka tidak sengaja mendengar kata 'EXO'. Yoora dan ayahnya yang sedang tertawa bersama lantas menoleh. Ny. Kim meletakkan cemilan yang ia bawa di atas sebuah meja kecil dan ikut bergabung dengan mereka.
"EXO adalah idolaku. Apa ibu tahu mereka?" tanya Yoora antusias. Matanya berbinar-binar mengetahui se-begitu populernya EXO sampai-sampai ibunya pun mengetahui boyband idolanya itu.
"Chanyeol. Park Chanyeol ikut bergabung bersama mereka bukan?" tanya Ny. Kim penuh antusias pula. Apa beliau juga mengidolakan EXO terutama Chanyeol sebagai salah satu member mereka?
Yoora terkejut. Ia tak menyangka ibunya akan se-update itu. Terlebih lagi ibunya itu bisa mengetahui EXO. Memang tidak ada salahnya, toh EXO memang sangat terkenal bukan?
"Iya, ibu benar. Bagaimana bisa ibu mengetahuinya?"
Yoora tak kalah antusias, ia berharap ibunya adalah EXO-L (sebutan fans exo). Karena dengan begitu, ia bisa merayu ibunya untuk membeli segala pernak-pernik berbau EXO dan tentunya tak mau ketinggalan untuk menonton konser EXO. Pemikiran yang bagus bukan?
"Apa kau mengidolakannya?"
"Tentu. EXO adalah idolaku."
Mendengar jawaban Yoora barusan, Ny. Kim menggeleng dan langsung meralat perkataannya.
"Bukan. Maksud ibu, apa kau mengidolakan Chanyeol?"
"Tidak. Tenang saja bu, aku mengidolakan D.O."
Yoora mengedipkan satu matanya berniat menggoda ibunya. Raut wajah Ny.Kim berubah. Tampaknya beliau tidak senang dengan penuturan Yoora barusan.
"Kenapa kau tidak mengidolakan Chanyeol? Dia paling tampan dan juga tinggi." bujuk Ny. Kim. Tapi justru Yoora geli mendengar perkataan ibunya barusan, itu tidak sesuai dengan usianya sekarang.
"Aku mengidolakan semua member. Semuanya tampak tampan bagiku." ujar Yoora sambil terkekeh menertawakan ibunya yang terlihat sangat antusias.
"Jadi, kau juga menyukai Chanyeol 'kan?"
"Tentu saja."
oOo
Yoora nampak bingung dan terus mengekori ibunya. Mereka berada di salah satu pusat pembelajaan. Ny. Kim tersenyum dan memasuki sebuah butik langgananya. Penjaga toko itu menyapa dengan sangat ramah, begitu pula pemiliknya.
"Siapkan baju untuk anak saya."
Yoora menoleh dan menatap bingung ibunya. Tak biasanya ibunya membelikan sebuah baju untuknya tanpa ia minta. Gadis itu mengernyit bingung.
"Ibu, baju untuk apa?"
"Untuk nanti malam. Akan ada tamu spesial untukmu."
"Tamu spesial? Untukku? Siapa?"
Yoora POV
Aku terus merutuki diriku. High heels yang sedang aku pakai sekarang ini membuatku merasa sangat tidak nyaman, tatanan rambut dan riasan wajah sangat tidak cocok denganku. Dress selutut ini juga menyiksa diriku, aku sungguh ingin berbaring tidur saja dengan piyama doraemonku.
"Ibu, makan malam saja kenapa harus berpenampilan seperti ini? Aku sangat tidak nyaman memakai semua ini. Aku tidak ingin ikut dan lebih memilih tidur saja di rumah."
Aku berusaha merajuk dan berharap belas kasihan ibu. Aku juga memasang wajah memelas pada ayah, berharap beliau membelaku.
"Sejak tadi siang kau terus bertanya dan mengoceh saja. Ibu sudah katakan berulang kali padamu, ini penting dan kau harus ikut."
Ibu tetap memaksa dan menyeretku untuk masuk ke dalam mobil.
"Aww!! Ibu, perutku sakit!! Aku tidak bisa ikut."
Pletak!!
"Berhenti berakting."
"Berhenti memukulku!!"
Aku mendengus kesal pada kakak semata wayang yang selalu memukulku. Aku hentakan kakiku cukup kuat, berharap hak pada sepatu high heels itu patah dan berhenti menyakiti kakiku.
"Bersikaplah layaknya seorang gadis!"
Karena jalanan yang tidak begitu ramai, tidak membutuhkan waktu lama untuk kami sampai di tempat tujuan. Ada apa ini? Apa ada acara keluarga?
Aku menoleh ke sekeliling, sepertinya restoran ini cukup mahal dan berkelas, hanya dilihat dari dekorasinya saja sangat mewah. Aku bukan anak dari orang kaya baru, tetapi keluargaku sudah kaya raya sejak dari dulu. Walaupun begitu, kami enggan untuk membuang-buang uang. Bahkan, bisa dikatakan hidup kami sangat sederhana tidak seperti orang kaya kebanyakan. Hemat pangkal kaya bukan?
"Oppa, untuk apa kita kesini? Sepertinya restoran ini terlalu mewah. Lihat saja lampu itu! Harganya mungkin bisa mencapai jutaan won. Tidak, tidak. Mungkin saja puluhan juta? Atau.. Ratusan?"
"Berhentilah mengoceh yang tidak penting."
Yong Hwa oppa hanya melirikku sekilas dengan tatapan tajamnya. Ada apa dengan mereka? Kenapa dengan sikap mereka?
Mereka terlihat seperti akan menemui bapak presiden saja. Lihat saja penampilan mereka! Sikap mereka juga berubah dan bertingkah seakan-akan berwibawa. Cara berjalan dan ekspresi mereka membuat perutku terasa geli, sungguh berlebihan bukan?
Aku hanya melangkah mengekori mereka. Sesekali aku mencuci mata dengan dekorasi restoran ini yang menurutku sangat mengagumkan, dibuat se-klasik dan se-mewah mungkin. Cukup membuat perhatian pandanganku untuk terus melihat keindahannya.
Aku memicingkan mata ketika melihat seorang pria yang menurutku cukup familiar. Penerangan yang cukup redup dan pengaruh jarak membuat pandanganku sedikit kabur. Pria itu semakin menjauh menuju suatu tempat, sedangkan tanganku diraih oleh ibu untuk segera bergegas karena seseorang telah menunggu kedatangan kami.
"Anyeonghaseyo."
Aku membungkuk hormat pada tiga orang yang sedang duduk sejajar. Aku bingung kenapa kami menghampiri mereka, mungkin saja mereka saudara jauh orang tua ku. Karena baru pertama kalinya aku melihat mereka. Ibuku langsung memeluk wanita itu, begitu pula ayah berjabat tangan dengan pria itu. Mereka terlihat seperti teman lama karena usia mereka juga terlihat tidak berbeda jauh.
Ketika aku sedang mengamati mereka, seorang gadis kecil berumur kurang lebih sepuluh tahun menatapku dengan cukup sinis. Apa ini? Aku memiliki musuh baru rupanya. Apa aku se-begitu buruknya? Aku langsung dibenci oleh gadis kecil itu pada pertemuan pertama kami, sungguh menjengkelkan bukan?
Oh, Tuhan!! Lihat saja tatapan gadis kecil itu!
Sepertinya ia benar-benar membenciku. Ia melipat tangannya seakan-akan menantangku untuk bertarung dengannya. Cih! Yang benar saja!
Aku lebih memilih duduk manis dan menghindari tatapan gadis kecil itu. Sesekali aku meliriknya dari sudut ekor mataku. Aku memutar bola mataku dengan malas. Kapan acara makan malam akan dimulai?
Aku ingin segara makan dan setelah itu pergi dari sini.
"Apa kau Kim Yoora?"
Merasa ditanya, aku pun menoleh dan mengangguk membenarkan. Senyuman palsu berhasil aku ukir dengan menarik sudut bibirku. Munafik sekali bukan? Aku sudah seperti aktris profesional saja.
"Ya. Aku Kim Yoora."
"Kau sudah besar rupanya. Kau tumbuh dengan baik dan juga sangat cantik."
Bluss!!
WOW!! Seseorang memujiku. Aku harap itu bukan hanya sekedar basa basi dan tidak timbul penyesalan dari hatinya setelah mengucapkan pujiannya itu terhadapku. Aku rasa wanita yang sepertinya seumuran dengan ibuku itu jujur. Aku tersenyum kikuk menanggapi pujiannya.
"Terima kasih, ahjuma."
"Kemana Chanyeol? Apa dia tidak datang?" tanya ibu.
Aku langsung menoleh pada ibu, menatapnya dengan penuh tanda tanya. Chanyeol yang dimaksud oleh ibu tidak sama dengan Chanyeol yang sedang aku pikirkan bukan? Mereka bukan orang yang sama 'kan? Tempo hari ibu bertanya tentang Chanyeol EXO itu bukan kebetulan 'kan?
"Dia sedang ke toilet. Oh! Itu dia."
DEG!!!
Mataku membulat. Jantungku berdebar. Seluruh tubuhku menegang melihat seorang PARK CHANYEOL sedang berjalan kearahku, maksudku kearah kami. Chanyeol yang sedang aku lihat adalah Park Chanyeol rapper EXO. DIA MEMBER EXO!! DIA PARK CHANYEOL!! DIA CHANYEOL EXO!! DIA IDOLAKU!!
Stop! Maaf jika aku terlalu berlebihan-_
Oh Tuhan!!
Mimpi apa aku semalam, bisa bertemu langsung dengan idolaku. Sungguh, ini sebuah kebahagian yang tak terduga. Akhirnya, sekarang aku mempercayai sebuah keajaiban. Detik ini juga aku menyatakan bahwa keajaiban itu memang ada.^^
"....." entahlah apa yang sedang Chanyeol katakan, aku hanya menatap wajah tampannya saja tanpa memperdulikan ucapanya. Kepalaku bergerak mengikuti gerak Chanyeol. Seorang Park Chanyeol rapper EXO yang keren itu kini sedang duduk tepat di hadapanku. Hanya sebuah meja yang menjadi jarak diantara kami.
Aku terus memperhatikan Chanyeol yang ternyata memang sangat tampan. Pria di hadapanku ini sangat keren dengan balutan jas berwarna hitam dengan kemeja putihnya. Penampilannya sangat rapih dan begitu sempurna. Ramputnya yang berwarna kecoklatan itu, ia tata ke belakang, memperlihatkan dahinya yang tidak begitu luas. Bisa kau bayangkan begitu sempurnanya seorang Park Chanyeol?
Aku langsung mengalihkan pandanganku darinya ketika secara tiba-tiba ia menoleh padaku. Memalukan. Pasti pipiku sudah seperti tomat busuk sekarang. Aku menangkap tatapan sinis gadis kecil itu lagi, membuat kebahagianku terbakar hingga hangus menjadi butiran debu oleh tatapannya.
"Oppa, aku tidak menyukai gadis itu. Kau juga sependapat denganku bukan? Dia terlihat sangat jelek."
Gadis kecil itu benar-benar!! Ia mengoceh pada Chanyeol. Bisikannya itu terdengar seperti bom ditelingaku, begitu terdengar menimbulkan api yang begitu membara dalam diriku. Beraninya ia menjelek-jelekanku pada Chanyeol di hadapanku langsung. Akan aku bunuh dia!! Awas kau, Gadis kecil perusak hubungan orang!!
Chanyeol terkekeh mendengar perkataan gadis kecil itu. Sesekali ia menoleh padaku yang membuatku salah tingkah olehnya.
Makanan pun datang. Acara makan malam dimulai. Makanan tidak penting lagi untukku, dengan menatap wajah tampannya saja sudah membuat perutku terasa kenyang. Aku terus saja mencuri-curi pandang, karena tidak ingin menyia-nyiakan moment ini tentunya. Kapan lagi bisa bertemu dengannya secara langsung seperti saat ini bukan?
Merasa sedang aku pandangi, Chanyeol pun menoleh. Aku yang terlalu terkejut akhirnya tersedak. Aku membuat kesalahan lagi. Pasti dimatanya aku gadis yang jorok dan tentunya tidak masuk dalam kriteria gadis pujaannya.
Chanyeol memberiku segelas air putih. Aku melirik gadis kecil itu yang sedang menertawakanku. Aku yang merasa sangat malu lebih memilih untuk pamit pergi ke toilet. Aku menangis sambil terduduk di kloset kamar mandi itu, menyesali atas kecerobohanku.
Setelah dirasa sudah terlalu lama menangis, aku keluar dan mencuci wajahku agar terlihat lebih fresh. Aku lebih memilih pulang dan memutuskan untuk tidak bergabung lagi dengan mereka setelah melihat pantulan diriku di cermin. Berantakan, seperti itulah diriku sekarang. Riasan wajahku rusak sudah, walaupun aku hanya meriasnya tipis, tetapi mata sembab ini susah untuk dihilangkan. Aku akan lebih mempermalukan diriku sendiri jika memilih untuk bergabung kembali bersama mereka.
Aku melangkah gontai dengan sepatu high heels ini, aku ingin sekali untuk melepaskannya tetapi itu tidak mungkin. Aku tidak memiliki alas kaki lain selain sepatu si*lan ini. Aku juga tidak bisa menatap wajah tampan itu lagi, aku hanya bisa menatap potonya saja di ponselku. Mengingat ponsel, aku juga teringat tidak membawa mantelku yang tertinggal disana. Sudahlah, tanpa ponsel, mantel dan juga uang tidaklah buruk.
Tidak!! Ini sangatlah buruk!!
Aku harus berjalan kaki berkilo-kilo meter jauhnya dengan udara dingin di musim gugur yang terasa begitu menusuk tanpa uang sepeserpun begitu pula ponsel. Ditambah dengan tumit yang memerah dan dress selutut ini.-_
Merasa cukup lelah, aku memilih untuk mengistirahatkan sejenak kakiku yang terasa sangat pegal walapun hanya berjalan beberapa meter saja. Aku melepaskan sepatu high heels dan menatap nanar tumitku yang berubah kemerahan dan tampak lecet. Sepertinya mereka tidak mengkhawatirkanku, buktinya sampai saat ini mereka tidak mencariku sama sekali. Menyedihkan.
Aku kembali beranjak tanpa memakai alas kaki. Malas membawa high heels si*lan itu dan lebih memilih membuang dan mengutuknya. Aku merasa lebih menyedihkan dari seorang gelandangan sekali pun.
Tiba-tiba sebuah mantel menutup tubuhku, aku menoleh dengan malas. Aku sudah menduga siapa dia.
"Oppa, kenapa kau la__ K-kau?!"
Aku cukup terkejut untuk percaya, Park Chanyeol berdiri di sampingku dengan tatapan aneh. Pasti karena aku memanggilnya 'oppa' tadi. Dia pasti berpikir aku gadis yang tidak tahu malu. Kim Yoora, kau benar-benar sudah dicoret dalam daftarnya pada pertemuan pertama. Bodoh. Aku terus merutuki kebodohanku.
Saat ini, aku berada di sebuah coffee shop, duduk berhadapan dengan Park Chanyeol yang sangat tampan. Sambil menikmati Americano yang anehnya tak sepahit biasanya. Aku tak berani menatap wajah di hadapanku itu lagi. Keheningan masih berlanjut hingga 10 menit sejak kami duduk di kursi kayu ini. Aku sangat malu padanya saat ini.
"Apa kau sejak tadi tidak memakai alas kaki?" tanyanya yang baru menyadari kakiku yang telanjang. Wajar saja, ia pasti enggan untuk sekedar melirikku. Cih! Siapa aku?-_
"Ahh!! Iya. Aku tidak biasa memakai high heels. Hehe."
Ya, Tuhan! Apa yang harus aku lakukan?
Aku hanya bisa nyengir kuda memperlihatkan deretan gigiku padanya, dan itu pasti membuatnya semakin enggan melirikku. Cermin, dimana cermin? Pasti wajahku juga terlihat sangat mengenaskan. Bodoh. Kau bodoh Kim Yoora. Kau tampak semakin buruk saja dihadapannya.
"Tunggu sebentar. Aku akan membelikanmu alas kaki. Tentunya yang nyaman kau pakai di kakimu."
"Tidak usah. Tak apa."
Dia tidak mendengarkanku. Ia bergegas pergi meninggalkanku sendirian. Aku benci sendirian. Beberapa orang menatap heran kearahku. Tentu saja aku abaikan mereka semua, aku sudah kebal dengan tatapan seperti itu.
Tidak lama kemudian ia kembali. Tetapi ia tidak membawa apapun. Ia kembali duduk dihadapanku dan meminta maaf karena tidak berhasil menemukan toko sepatu di sekitar sini. Sudah kuduga. Aku tahu ini akan terjadi.
"Tidak apa-apa."
"Aku juga meminta maaf atas nama keponakanku. Dia itu gadis yang baik, hanya saja dia sedikit manja."
"Oh. Tentu. Kau tidak perlu khawatir. Dia gadis yang cantik__"
Aku menggantungkan kalimatku, menimbang-nimbang untuk dikatakan padanya atau tidak.
"Hanya saja.. Dia sedikit menyebalkan. Hehe."
DEG!!
Dia tersenyum. Aku melihat senyumannya langsung dan aku penyebab senyuman itu terbentuk. Lesung pipinya sangat manis ketika ia tersenyum, aku sering melihat lesung pipinya itu ketika ia mengupload potonya di instagram, sekarang aku melihatnya langsung. Kalian iri padaku 'kan?
"Kau sangat tampan." gumamku tanpa sadar. Stop Kim Yoora!! Berhenti bersikap bodoh. Kau hanya perlu diam.
"Ya?"
"Tidak. Aku hanya merasa.. lapar."
Aku memesan beberapa cup cake yang terdapat pada buku menu. Sampai pesananku datang, tidak ada pembicaraan diantara kami. Dia hanya diam, begitu pula aku.
"Apa kau menerima perjodohan ini?"
"Uhuk!! Ohok!!"
Aku langsung menutup mulutku karena hampir saja semua isi dari mulutku akan berhamburan keluar. Apa yang baru saja ia katakan membuatku sangat terkejut, apa aku tidak salah dengar? 'Perjodohan?'
"Apa yang kau katakan?"
"Kau tidak mengetahuinya? Orang tua mu tidak memberitahu?"
Aku mengeleng. Menatapnya meminta untuk dijelaskan apa maksud dari 'perjodohan' yang baru saja ia katakan.
"Kita akan dijodohkan. Bagaimana menurutmu?"
"Di-jo-doh-kan? Siapa?"
Mataku semakin membulat. Aku pasti terlihat bodoh.
"Kita."
"Kita?! A-aku.. dan k-kau?" kataku penuh hati-hati disetiap katanya. Takut jika aku salah paham dan salah mengerti yang akan membuatku malu untuk kesekian kalinya.
"Ya. Aku dan kau. Kita."
oOo
Title: I said you're the one
Cast: Yoora, Chanyeol, others.
Genre: Family, romance and litle-litle comedy.
Rating: G
#Chapter 2
Warning!!! Typo bertebaran~~
Segenggam keajaiban telah mengubah seluruh bagian dalam hidupku,
'Sungguh, ini sebuah kebahagian yang tak terduga. Akhirnya, sekarang aku mempercayai sebuah keajaiban. Detik ini juga aku nyatakan bahwa keajaiban itu memang ada.' ^ ^
Author POV
Yoora menuruni anak tangga dan menghampiri meja makan dengan handuk yang masih di atas kepala menggulung rambutnya yang baru saja ia cuci. Tepat disaat Yoora menduduki kursi kosong bagiannya, semua anggota keluarga yang lain beranjak pergi. Yoora menatap heran mereka. Namun, sedetik kemudian ia tak menghiraukan mereka dan kembali beralih pada makanan di atas meja untuk mengisi perutnya yang kosong.
"Yak!! Kenapa tidak ada sisa makanan untukku?!"
Yoora menatap nanar piringnya yang kosong dan hanya memegangi sendok dan garpu yang terasa hampa tanpa makanan. Alhasil, ia hanya meneguk segelas air putih untuk menu sarapannya pagi ini.
Yoora menghampiri ayahnya yang sedang duduk santai di taman belakang rumah sambil membaca koran.
"Ayah, berikan aku uang!! Aku ingin membeli album baru idolaku. Hm?" rajuk Yoora dengan menengadahkan kedua tangannya bak seorang pengemis.
"Berapa?"
Ayahnya mencoba untuk merespon tanpa berniat untuk menoleh sekilas pun, ia lebih tertarik membolak-balikan halaman koran ketimbang untuk bercakap-cakap dengan putri semata wayangnya itu.
"100.000 won." ujar Yoora sambil mengangkat jari telunjuknya dengan wajah memelas.
"Kenapa mahal sekali?"
"Tentu saja tidak!! Apa ayah tahu? Idolaku itu sangat terkenal, jadi wajar saja jika harga album barunya mahal."
"Ck! Ayahmu ini lebih terkenal daripada idolamu itu! Kau tahu? Ayah adalah pria idaman setiap wanita."
"Tentu saja. Tetapi itu sudah puluhan tahun yang lalu. Sekarang sudah tahun 2015! Keadaan sudah berbeda bukan? Ayah lupa? Ayah sudah tua sekarang!"
Yoora langsung menutup mulutnya yang kelewat batas itu. Yoora menyesali sebuah kejujuran yang baru saja ia lontarkan begitu saja, ia bisa saja gagal membeli album baru idolanya itu akibat kejujurannya.
"Ck! Ayah tahu itu! Ini, sana belilah album baru idolamu itu! Ayah membenci kejujuranmu hari ini."
Yoora tersenyum dan berjingkrak kegirangan. Ia berhasil mendapatkan uang karena kejujurannya itu. Yoora memeluk ayahnya dan sangat berterima kasih padanya. Berkat ayahnya, ia bisa membeli album baru idolanya itu.
"Memangnya siapa idolamu yang sangat terkenal itu?"
Tak disangka, ternyata ayahnya juga bisa bersikap 'kepo'. Dengan melirik sekilas kearah putrinya, membuktikan bahwa ia benar-benar ingin mengetahui idola putrinya itu yang katanya melebihi kepopulerannya itu.
"EXO dari S.M Entertaiment. Mereka sangat tampan dan berbakat tentunya." ujar Yoora dengan begitu angkuh. Dengan penuh percaya diri, Yoora menyebutkan siapa idolanya itu.
"Ayah tidak tahu mereka. Kau bilang mereka sangat terkenal." cibir ayah Yoora. Perkataannya sungguh menyayat hati, pantas saja kakak semata wayangnya bersikap seperti itu, ternyata memang ada bibit mulanya.
"Ayah saja yang tidak tahu trend masa kini. Ayahkan sudah tua." ejek Yoora.
"Kau ini!! Ayah tak kalah tampan dengan EXO idolamu itu."
"EXO?"
Ny. Kim yang sedang menghampiri mereka tidak sengaja mendengar kata 'EXO'. Yoora dan ayahnya yang sedang tertawa bersama lantas menoleh. Ny. Kim meletakkan cemilan yang ia bawa di atas sebuah meja kecil dan ikut bergabung dengan mereka.
"EXO adalah idolaku. Apa ibu tahu mereka?" tanya Yoora antusias. Matanya berbinar-binar mengetahui se-begitu populernya EXO sampai-sampai ibunya pun mengetahui boyband idolanya itu.
"Chanyeol. Park Chanyeol ikut bergabung bersama mereka bukan?" tanya Ny. Kim penuh antusias pula. Apa beliau juga mengidolakan EXO terutama Chanyeol sebagai salah satu member mereka?
Yoora terkejut. Ia tak menyangka ibunya akan se-update itu. Terlebih lagi ibunya itu bisa mengetahui EXO. Memang tidak ada salahnya, toh EXO memang sangat terkenal bukan?
"Iya, ibu benar. Bagaimana bisa ibu mengetahuinya?"
Yoora tak kalah antusias, ia berharap ibunya adalah EXO-L (sebutan fans exo). Karena dengan begitu, ia bisa merayu ibunya untuk membeli segala pernak-pernik berbau EXO dan tentunya tak mau ketinggalan untuk menonton konser EXO. Pemikiran yang bagus bukan?
"Apa kau mengidolakannya?"
"Tentu. EXO adalah idolaku."
Mendengar jawaban Yoora barusan, Ny. Kim menggeleng dan langsung meralat perkataannya.
"Bukan. Maksud ibu, apa kau mengidolakan Chanyeol?"
"Tidak. Tenang saja bu, aku mengidolakan D.O."
Yoora mengedipkan satu matanya berniat menggoda ibunya. Raut wajah Ny.Kim berubah. Tampaknya beliau tidak senang dengan penuturan Yoora barusan.
"Kenapa kau tidak mengidolakan Chanyeol? Dia paling tampan dan juga tinggi." bujuk Ny. Kim. Tapi justru Yoora geli mendengar perkataan ibunya barusan, itu tidak sesuai dengan usianya sekarang.
"Aku mengidolakan semua member. Semuanya tampak tampan bagiku." ujar Yoora sambil terkekeh menertawakan ibunya yang terlihat sangat antusias.
"Jadi, kau juga menyukai Chanyeol 'kan?"
"Tentu saja."
oOo
Yoora nampak bingung dan terus mengekori ibunya. Mereka berada di salah satu pusat pembelajaan. Ny. Kim tersenyum dan memasuki sebuah butik langgananya. Penjaga toko itu menyapa dengan sangat ramah, begitu pula pemiliknya.
"Siapkan baju untuk anak saya."
Yoora menoleh dan menatap bingung ibunya. Tak biasanya ibunya membelikan sebuah baju untuknya tanpa ia minta. Gadis itu mengernyit bingung.
"Ibu, baju untuk apa?"
"Untuk nanti malam. Akan ada tamu spesial untukmu."
"Tamu spesial? Untukku? Siapa?"
Yoora POV
Aku terus merutuki diriku. High heels yang sedang aku pakai sekarang ini membuatku merasa sangat tidak nyaman, tatanan rambut dan riasan wajah sangat tidak cocok denganku. Dress selutut ini juga menyiksa diriku, aku sungguh ingin berbaring tidur saja dengan piyama doraemonku.
"Ibu, makan malam saja kenapa harus berpenampilan seperti ini? Aku sangat tidak nyaman memakai semua ini. Aku tidak ingin ikut dan lebih memilih tidur saja di rumah."
Aku berusaha merajuk dan berharap belas kasihan ibu. Aku juga memasang wajah memelas pada ayah, berharap beliau membelaku.
"Sejak tadi siang kau terus bertanya dan mengoceh saja. Ibu sudah katakan berulang kali padamu, ini penting dan kau harus ikut."
Ibu tetap memaksa dan menyeretku untuk masuk ke dalam mobil.
"Aww!! Ibu, perutku sakit!! Aku tidak bisa ikut."
Pletak!!
"Berhenti berakting."
"Berhenti memukulku!!"
Aku mendengus kesal pada kakak semata wayang yang selalu memukulku. Aku hentakan kakiku cukup kuat, berharap hak pada sepatu high heels itu patah dan berhenti menyakiti kakiku.
"Bersikaplah layaknya seorang gadis!"
Karena jalanan yang tidak begitu ramai, tidak membutuhkan waktu lama untuk kami sampai di tempat tujuan. Ada apa ini? Apa ada acara keluarga?
Aku menoleh ke sekeliling, sepertinya restoran ini cukup mahal dan berkelas, hanya dilihat dari dekorasinya saja sangat mewah. Aku bukan anak dari orang kaya baru, tetapi keluargaku sudah kaya raya sejak dari dulu. Walaupun begitu, kami enggan untuk membuang-buang uang. Bahkan, bisa dikatakan hidup kami sangat sederhana tidak seperti orang kaya kebanyakan. Hemat pangkal kaya bukan?
"Oppa, untuk apa kita kesini? Sepertinya restoran ini terlalu mewah. Lihat saja lampu itu! Harganya mungkin bisa mencapai jutaan won. Tidak, tidak. Mungkin saja puluhan juta? Atau.. Ratusan?"
"Berhentilah mengoceh yang tidak penting."
Yong Hwa oppa hanya melirikku sekilas dengan tatapan tajamnya. Ada apa dengan mereka? Kenapa dengan sikap mereka?
Mereka terlihat seperti akan menemui bapak presiden saja. Lihat saja penampilan mereka! Sikap mereka juga berubah dan bertingkah seakan-akan berwibawa. Cara berjalan dan ekspresi mereka membuat perutku terasa geli, sungguh berlebihan bukan?
Aku hanya melangkah mengekori mereka. Sesekali aku mencuci mata dengan dekorasi restoran ini yang menurutku sangat mengagumkan, dibuat se-klasik dan se-mewah mungkin. Cukup membuat perhatian pandanganku untuk terus melihat keindahannya.
Aku memicingkan mata ketika melihat seorang pria yang menurutku cukup familiar. Penerangan yang cukup redup dan pengaruh jarak membuat pandanganku sedikit kabur. Pria itu semakin menjauh menuju suatu tempat, sedangkan tanganku diraih oleh ibu untuk segera bergegas karena seseorang telah menunggu kedatangan kami.
"Anyeonghaseyo."
Aku membungkuk hormat pada tiga orang yang sedang duduk sejajar. Aku bingung kenapa kami menghampiri mereka, mungkin saja mereka saudara jauh orang tua ku. Karena baru pertama kalinya aku melihat mereka. Ibuku langsung memeluk wanita itu, begitu pula ayah berjabat tangan dengan pria itu. Mereka terlihat seperti teman lama karena usia mereka juga terlihat tidak berbeda jauh.
Ketika aku sedang mengamati mereka, seorang gadis kecil berumur kurang lebih sepuluh tahun menatapku dengan cukup sinis. Apa ini? Aku memiliki musuh baru rupanya. Apa aku se-begitu buruknya? Aku langsung dibenci oleh gadis kecil itu pada pertemuan pertama kami, sungguh menjengkelkan bukan?
Oh, Tuhan!! Lihat saja tatapan gadis kecil itu!
Sepertinya ia benar-benar membenciku. Ia melipat tangannya seakan-akan menantangku untuk bertarung dengannya. Cih! Yang benar saja!
Aku lebih memilih duduk manis dan menghindari tatapan gadis kecil itu. Sesekali aku meliriknya dari sudut ekor mataku. Aku memutar bola mataku dengan malas. Kapan acara makan malam akan dimulai?
Aku ingin segara makan dan setelah itu pergi dari sini.
"Apa kau Kim Yoora?"
Merasa ditanya, aku pun menoleh dan mengangguk membenarkan. Senyuman palsu berhasil aku ukir dengan menarik sudut bibirku. Munafik sekali bukan? Aku sudah seperti aktris profesional saja.
"Ya. Aku Kim Yoora."
"Kau sudah besar rupanya. Kau tumbuh dengan baik dan juga sangat cantik."
Bluss!!
WOW!! Seseorang memujiku. Aku harap itu bukan hanya sekedar basa basi dan tidak timbul penyesalan dari hatinya setelah mengucapkan pujiannya itu terhadapku. Aku rasa wanita yang sepertinya seumuran dengan ibuku itu jujur. Aku tersenyum kikuk menanggapi pujiannya.
"Terima kasih, ahjuma."
"Kemana Chanyeol? Apa dia tidak datang?" tanya ibu.
Aku langsung menoleh pada ibu, menatapnya dengan penuh tanda tanya. Chanyeol yang dimaksud oleh ibu tidak sama dengan Chanyeol yang sedang aku pikirkan bukan? Mereka bukan orang yang sama 'kan? Tempo hari ibu bertanya tentang Chanyeol EXO itu bukan kebetulan 'kan?
"Dia sedang ke toilet. Oh! Itu dia."
DEG!!!
Mataku membulat. Jantungku berdebar. Seluruh tubuhku menegang melihat seorang PARK CHANYEOL sedang berjalan kearahku, maksudku kearah kami. Chanyeol yang sedang aku lihat adalah Park Chanyeol rapper EXO. DIA MEMBER EXO!! DIA PARK CHANYEOL!! DIA CHANYEOL EXO!! DIA IDOLAKU!!
Stop! Maaf jika aku terlalu berlebihan-_
Oh Tuhan!!
Mimpi apa aku semalam, bisa bertemu langsung dengan idolaku. Sungguh, ini sebuah kebahagian yang tak terduga. Akhirnya, sekarang aku mempercayai sebuah keajaiban. Detik ini juga aku menyatakan bahwa keajaiban itu memang ada.^^
"....." entahlah apa yang sedang Chanyeol katakan, aku hanya menatap wajah tampannya saja tanpa memperdulikan ucapanya. Kepalaku bergerak mengikuti gerak Chanyeol. Seorang Park Chanyeol rapper EXO yang keren itu kini sedang duduk tepat di hadapanku. Hanya sebuah meja yang menjadi jarak diantara kami.
Aku terus memperhatikan Chanyeol yang ternyata memang sangat tampan. Pria di hadapanku ini sangat keren dengan balutan jas berwarna hitam dengan kemeja putihnya. Penampilannya sangat rapih dan begitu sempurna. Ramputnya yang berwarna kecoklatan itu, ia tata ke belakang, memperlihatkan dahinya yang tidak begitu luas. Bisa kau bayangkan begitu sempurnanya seorang Park Chanyeol?
Aku langsung mengalihkan pandanganku darinya ketika secara tiba-tiba ia menoleh padaku. Memalukan. Pasti pipiku sudah seperti tomat busuk sekarang. Aku menangkap tatapan sinis gadis kecil itu lagi, membuat kebahagianku terbakar hingga hangus menjadi butiran debu oleh tatapannya.
"Oppa, aku tidak menyukai gadis itu. Kau juga sependapat denganku bukan? Dia terlihat sangat jelek."
Gadis kecil itu benar-benar!! Ia mengoceh pada Chanyeol. Bisikannya itu terdengar seperti bom ditelingaku, begitu terdengar menimbulkan api yang begitu membara dalam diriku. Beraninya ia menjelek-jelekanku pada Chanyeol di hadapanku langsung. Akan aku bunuh dia!! Awas kau, Gadis kecil perusak hubungan orang!!
Chanyeol terkekeh mendengar perkataan gadis kecil itu. Sesekali ia menoleh padaku yang membuatku salah tingkah olehnya.
Makanan pun datang. Acara makan malam dimulai. Makanan tidak penting lagi untukku, dengan menatap wajah tampannya saja sudah membuat perutku terasa kenyang. Aku terus saja mencuri-curi pandang, karena tidak ingin menyia-nyiakan moment ini tentunya. Kapan lagi bisa bertemu dengannya secara langsung seperti saat ini bukan?
Merasa sedang aku pandangi, Chanyeol pun menoleh. Aku yang terlalu terkejut akhirnya tersedak. Aku membuat kesalahan lagi. Pasti dimatanya aku gadis yang jorok dan tentunya tidak masuk dalam kriteria gadis pujaannya.
Chanyeol memberiku segelas air putih. Aku melirik gadis kecil itu yang sedang menertawakanku. Aku yang merasa sangat malu lebih memilih untuk pamit pergi ke toilet. Aku menangis sambil terduduk di kloset kamar mandi itu, menyesali atas kecerobohanku.
Setelah dirasa sudah terlalu lama menangis, aku keluar dan mencuci wajahku agar terlihat lebih fresh. Aku lebih memilih pulang dan memutuskan untuk tidak bergabung lagi dengan mereka setelah melihat pantulan diriku di cermin. Berantakan, seperti itulah diriku sekarang. Riasan wajahku rusak sudah, walaupun aku hanya meriasnya tipis, tetapi mata sembab ini susah untuk dihilangkan. Aku akan lebih mempermalukan diriku sendiri jika memilih untuk bergabung kembali bersama mereka.
Aku melangkah gontai dengan sepatu high heels ini, aku ingin sekali untuk melepaskannya tetapi itu tidak mungkin. Aku tidak memiliki alas kaki lain selain sepatu si*lan ini. Aku juga tidak bisa menatap wajah tampan itu lagi, aku hanya bisa menatap potonya saja di ponselku. Mengingat ponsel, aku juga teringat tidak membawa mantelku yang tertinggal disana. Sudahlah, tanpa ponsel, mantel dan juga uang tidaklah buruk.
Tidak!! Ini sangatlah buruk!!
Aku harus berjalan kaki berkilo-kilo meter jauhnya dengan udara dingin di musim gugur yang terasa begitu menusuk tanpa uang sepeserpun begitu pula ponsel. Ditambah dengan tumit yang memerah dan dress selutut ini.-_
Merasa cukup lelah, aku memilih untuk mengistirahatkan sejenak kakiku yang terasa sangat pegal walapun hanya berjalan beberapa meter saja. Aku melepaskan sepatu high heels dan menatap nanar tumitku yang berubah kemerahan dan tampak lecet. Sepertinya mereka tidak mengkhawatirkanku, buktinya sampai saat ini mereka tidak mencariku sama sekali. Menyedihkan.
Aku kembali beranjak tanpa memakai alas kaki. Malas membawa high heels si*lan itu dan lebih memilih membuang dan mengutuknya. Aku merasa lebih menyedihkan dari seorang gelandangan sekali pun.
Tiba-tiba sebuah mantel menutup tubuhku, aku menoleh dengan malas. Aku sudah menduga siapa dia.
"Oppa, kenapa kau la__ K-kau?!"
Aku cukup terkejut untuk percaya, Park Chanyeol berdiri di sampingku dengan tatapan aneh. Pasti karena aku memanggilnya 'oppa' tadi. Dia pasti berpikir aku gadis yang tidak tahu malu. Kim Yoora, kau benar-benar sudah dicoret dalam daftarnya pada pertemuan pertama. Bodoh. Aku terus merutuki kebodohanku.
Saat ini, aku berada di sebuah coffee shop, duduk berhadapan dengan Park Chanyeol yang sangat tampan. Sambil menikmati Americano yang anehnya tak sepahit biasanya. Aku tak berani menatap wajah di hadapanku itu lagi. Keheningan masih berlanjut hingga 10 menit sejak kami duduk di kursi kayu ini. Aku sangat malu padanya saat ini.
"Apa kau sejak tadi tidak memakai alas kaki?" tanyanya yang baru menyadari kakiku yang telanjang. Wajar saja, ia pasti enggan untuk sekedar melirikku. Cih! Siapa aku?-_
"Ahh!! Iya. Aku tidak biasa memakai high heels. Hehe."
Ya, Tuhan! Apa yang harus aku lakukan?
Aku hanya bisa nyengir kuda memperlihatkan deretan gigiku padanya, dan itu pasti membuatnya semakin enggan melirikku. Cermin, dimana cermin? Pasti wajahku juga terlihat sangat mengenaskan. Bodoh. Kau bodoh Kim Yoora. Kau tampak semakin buruk saja dihadapannya.
"Tunggu sebentar. Aku akan membelikanmu alas kaki. Tentunya yang nyaman kau pakai di kakimu."
"Tidak usah. Tak apa."
Dia tidak mendengarkanku. Ia bergegas pergi meninggalkanku sendirian. Aku benci sendirian. Beberapa orang menatap heran kearahku. Tentu saja aku abaikan mereka semua, aku sudah kebal dengan tatapan seperti itu.
Tidak lama kemudian ia kembali. Tetapi ia tidak membawa apapun. Ia kembali duduk dihadapanku dan meminta maaf karena tidak berhasil menemukan toko sepatu di sekitar sini. Sudah kuduga. Aku tahu ini akan terjadi.
"Tidak apa-apa."
"Aku juga meminta maaf atas nama keponakanku. Dia itu gadis yang baik, hanya saja dia sedikit manja."
"Oh. Tentu. Kau tidak perlu khawatir. Dia gadis yang cantik__"
Aku menggantungkan kalimatku, menimbang-nimbang untuk dikatakan padanya atau tidak.
"Hanya saja.. Dia sedikit menyebalkan. Hehe."
DEG!!
Dia tersenyum. Aku melihat senyumannya langsung dan aku penyebab senyuman itu terbentuk. Lesung pipinya sangat manis ketika ia tersenyum, aku sering melihat lesung pipinya itu ketika ia mengupload potonya di instagram, sekarang aku melihatnya langsung. Kalian iri padaku 'kan?
"Kau sangat tampan." gumamku tanpa sadar. Stop Kim Yoora!! Berhenti bersikap bodoh. Kau hanya perlu diam.
"Ya?"
"Tidak. Aku hanya merasa.. lapar."
Aku memesan beberapa cup cake yang terdapat pada buku menu. Sampai pesananku datang, tidak ada pembicaraan diantara kami. Dia hanya diam, begitu pula aku.
"Apa kau menerima perjodohan ini?"
"Uhuk!! Ohok!!"
Aku langsung menutup mulutku karena hampir saja semua isi dari mulutku akan berhamburan keluar. Apa yang baru saja ia katakan membuatku sangat terkejut, apa aku tidak salah dengar? 'Perjodohan?'
"Apa yang kau katakan?"
"Kau tidak mengetahuinya? Orang tua mu tidak memberitahu?"
Aku mengeleng. Menatapnya meminta untuk dijelaskan apa maksud dari 'perjodohan' yang baru saja ia katakan.
"Kita akan dijodohkan. Bagaimana menurutmu?"
"Di-jo-doh-kan? Siapa?"
Mataku semakin membulat. Aku pasti terlihat bodoh.
"Kita."
"Kita?! A-aku.. dan k-kau?" kataku penuh hati-hati disetiap katanya. Takut jika aku salah paham dan salah mengerti yang akan membuatku malu untuk kesekian kalinya.
"Ya. Aku dan kau. Kita."
oOo
Langganan:
Postingan (Atom)