Jumat, 14 Agustus 2015

FANFICTION PARK CHANYEOL: I SAID YOU'RE THE ONE CHAPTER 1

Title: I said you're the one
Cast: Yoora, Chanyeol, and others
Genre: Romance and litle-litle comedy
Rating: G

#I said you're the one Chapter(1)


Mohon kritik dan saran yang membangun dari kalian semua.
Thanks..

Happy Reading->>



Tahun 2015 menjadi tahun yang bersejarah bagi hidupku. Di tahun ini, aku akan memulai menciptakan masa depan dan mencoba mewujudkan apa yang aku inginkan selama ini. Tujuanku bersekolah dan berjuang keras dengan belajar sungguh-sungguh selama ini adalah untuk mencapai keinginanku menjadi seorang desainer muda yang mendunia tentunya.

Hari yang sangat aku tunggu akhirnya telah tiba sekarang, hari dimana aku menjadi salah satu siswa lulusan dari Seoul Performing art High School. Aku memakai seragam kelulusan dan melihat pantulan diriku di cermin. Dengan bangga aku tersenyum dan berpose dalam berbagai gaya. Sesekali aku berputar dan berjingkrak-jingkrak kegirangan.

"Woahh!! Kim Yoora, kau terlihat sangat cantik dan elegant. Hehe." gumamku penuh percaya diri.

Tap tap tap.
Terdengar suara langkah kaki mendekat kearahku. Lantas, aku tolehkan kepalaku untuk mengetahui siapa seseorang yang melangkah menghampiriku. Sudut bibirku tertarik membentuk sebuah senyuman terbaikku mengetahui bahwa ibu-lah yang sedang menghampiriku. Aku memicingkan pandanganku menatap manik mata ibu yang sedang berkaca-kaca.

"Ibu, kenapa kau menangis?" tanyaku sambil mengusap air mata yang membasahi kedua pipinya yang masih halus di usianya sekarang ini.
Aku sangat tidak menyukai melihat ibu menangis. Aku sungguh tidak ingin melihatnya bersedih apalagi sampai meneteskan air mata seperti ini.

"Tidak. Ibu sangat senang melihatmu memakai baju kelulusan ini. Kau terlihat sangat cantik."

Ibu tersenyum sambil merapihkan tatanan rambutku. Beliau mengusap air matanya dan sesekali membenarkan posisi seragam kelulusanku.

"Jika ibu senang, maka tersenyumlah. Jangan menangis." ujarku seraya memeluknya.

"Hey!! Kalian berlebihan sekali."

Kami menoleh kearah seseorang yang mengganggu kegiatan kami. Seorang pria dewasa berdiri tepat di depan pintu kamarku, lengkap dengan setelan jas hitamnya, ia tersenyum, mengejek apa yang baru saja kami lakukan. Dengan rambut yang sudah ditata dengan sangat rapih, ia terlihat lebih tampan dan mempesona dari biasanya.

Pria dewasa itu adalah kakak semata wayangku. Aku sangat bangga padanya karena ia sudah sukses di usia muda dan bisa diandalkan. Tentu saja dengan senang hati aku mengakuinya sebagai kakak ku. Ia bernama Kim Yong Hwa berusia 25 tahun dengan tinggi 187 cm. Bukankah ia tipe ideal para gadis?

Entahlah, aku rasa iya. Wajahnya juga tidak kalah tampan dari idol k-pop, tentunya tanpa jalur operasi plastik maupun botox yang biasa dilakukan oleh para idol k-pop untuk mendapatkan wajah yang sempurna. Sebagai bonus, bentuk tubuhnya juga bagus, perutnya yang datar dengan bentuk enam kotak kecil-sering disebut six pack-

"Ayo kita pergi. Ini sudah terlalu siang, nanti bisa terlambat." ujarnya sambil melangkah mendekatiku.

"Aku tahu itu, oppa. Kajja eomma! Aku tidak ingin mendengar ocehan Yong Hwa oppa. Hari ini adalah hari bersejarah untuk ku."

Pletak!!

"Tidak sopan. Bersikap dewasa-lah sedikit. Apa kau tidak malu dengan umurmu?!"

Selalu saja seperti ini. Mendapat pukulan dari kakak semata wayangku sudah menjadi menu tetap sarapan ku setiap pagi hari. Sangat lengkap dengan ocehannya yang terasa pedas dan menyakitkan gendang telingaku. Menyebalkan bukan?

Aku mengusap jidatku yang memerah, tentu itu terasa sakit. Lihatlah! Ibu hanya terkekeh melihat anak perempuannya kesakitan.

"Ibu, dia selalu memukulku seperti tadi. Lihatlah! Jidatku memerah karena ulahnya." rengek-ku pada ibu dengan ekspresi se-menyedihkan mungkin.

"Oppa mu tidak bersalah. Kau__"
Ucapan ibu sengaja aku potong. Aku tidak ingin mendengar kelanjutannya, ia pasti akan menyalahkanku dalam kasus pagi ini.

"Apa?! Ibu, sebenarnya kau berada di pihak siapa, eoh?"
Aku melepaskan genggamanku di tangan ibu sebagai bentuk protesku. Aku sedikit menaikkan dagu dan bertolak pinggang menghadapnya.

Pletak!

Satu pukulan lagi dengan mulus mendarat di jidatku yang bahkan masih terlihat memerah akibat pukulan pertama.

"Oppa!! Kenapa kau selalu memukulku?!" teriakku pada kakak semata wayangku. Ia hanya menatap lurus tanpa rasa bersalah telah membuat jidat mulusku menjadi memar.

'Apa salahku, Tuhan? Kenapa aku selalu mendapat takdir buruk seperti ini?' gumamku dengan lirih. Berharap keadilan segara datang menghampiriku se-ce-pat-nya.

"Sudah ku bilang, bersikaplah dengan sopan. Apa kau tidak mengerti perkataanku, adikku tersayang?" ejek Yong Hwa oppa sambil mengacak rambutku yang sudah aku tata rapih selama berjam-jam.

"Ck! A-KU MENG-ER-TI. Dan berhenti mengacak-acak rambutku!!"
Segera ku tepis tangannya dari puncak kepalaku. Aku melipat kedua tanganku di depan dada sambil mengerucutkan bibir tipisku sebagai tanda kekesalanku padanya.

"Sudah. Kalian ini selalu saja bertengar." ujar ibu berusaha menengahi kami. Mungkin, jika tidak ada ibu sebagai orang ketiga, kasus pagi ini tidak akan bisa usai sampai siang atau bahkan larut malam.

"Semua ini tentu salah Yong Hwa oppa. Benarkan bu?"

Aku perlihatkan senyuman terbaik ku pada ibu, berharap kali ini ibu akan membelaku. Dari ujung ekor mataku, aku melirik Yong Hwa oppa dan tersenyum sinis kearahnya. Memperlihatkan bahwa kemenangan sedang berada digenggamanku dengan adanya ibu dipihak ku sebagai sekutu utama.

"Kalian sama saja!" sergah ibu.

Senyumanku memudar. Aku langsung mendelik memicingkan mata menatap tidak percaya kearah ibu. Aku yang tidak terima hendak melontarkan sebuah protes. Namun, dengan sigap ibu langsung 'mencomot' bibir tipisku yang hendak membuka. Aku berusaha memberontak, namun sia-sia. Yong Hwa oppa justru tertawa penuh kemenangan sambil membantu ibu menyeretku keluar kamar.

Sial!!

Aku sama sekali tidak mempunyai sekutu di rumah ini. Sungguh malangnya nasibku. Seharusnya aku dimanja bak putri permaisuri di sebuah kerajaan. Namun apa kenyataannya? Sungguh kejam takdir yang aku dapat di dunia ini.

Author POV.

Sebuah podium telah disiapkan untuk tempat berpidato salah seorang perwakilan kelas 3 yang segera akan dinyatakan lulus secara resmi oleh pihak sekolah. Pemberian gelar akan diterima secara simbolis oleh siswa terbaik dari jurusan musik kelas 3-A bernama Jang Hoseok.

Pria tinggi berwajah tampan itu melangkah menuju podium dengan begitu santai seperti tanpa beban. Sedangkan hampir seluruh murid perempuan berteriak histeris, seakan mereka sedang menghadari sebuah konser boyband. Tak terkecuali gadis bernama Kim Yoora itu, ia bahkan tak berkedip melihat sang pujaan hati memakai seragam kelulusan dengan rambut yang tertata rapih tentunya. Ketampanannya bahkan melebihi kakak semata wayangnya, pikir Yoora.

Gadis itu tetap tidak bisa memalingkan pandangannya dari Hoseok walau hanya sekejap saja. Hyejin, sahabat terdekatnya bahkan tanpa ragu ia abaikan begitu saja. Yoora hanya menatap Hoseok sambil menggigit ujung sedotan dari susu kotak yang sedang ia minum tanpa perduli dengan apa yang sedang pria itu sampaikan.

Melihat Hoseok yang baru saja membungkuk hormat sebagai ungkapan perpisahan, Yoora lantas berdiri dan bertepuk tangan dengan begitu semangat tanpa memperdulikan tatapan heran dari orang lain padanya.

Semua orang menatap Yoora tak terkecuali Hoseok. Pria itu menatap heran dengan apa yang sedang Yoora lakukan.

"Yoora, apa yang sedang kau lakukan? Duduklah!"

Hyejin mencoba menyadarkan Yoora dengan menarik tangan kanan sahabatnya itu agar segera kembali duduk karena ia sudah bertindak sangat berlebihan. Yoora yang tersadar menoleh ke segala arah, dilihatnya para murid perempuan yang sedang menatap sinis kearahnya. Dengan ragu-ragu Yoora kembali duduk sambil memperlihatkan cengiran kuda khasnya. Melihat tingkah Yoora barusan, sudut bibir Hoseok tertarik membentuk sebuah senyuman kecil sebelum ia melangkah pergi meninggalkan podium.

Sesi pemotretan sudah berlangsung sekitar satu jam yang lalu. Tetapi, Yoora masih saja mondar-mandir di depan gerbang sekolahnya menunggu seseorang. Gadis itu terus saja mengecek ponselnya berharap setidaknya ada satu pesan masuk untuknya.

"Sudahlah. Mungkin ayah tidak bisa datang."

Yonghwa menghampiri adiknya yang terlihat sedang gusar menunggu kedatangan ayahnya. Tidak lama setelah Yonghwa mengatakan itu, seseorang yang sedang ditunggu pun akhirnya terlihat sedang berlari mendekat kearah mereka. Tentu saja Yoora tersenyum senang melihatnya.

"Maaf, ayah terlambat."

"Tidak apa-apa. Aku senang ayah datang. Terima kasih, ayah."

Mereka akhirnya berfoto sebagai keluarga yang utuh seperti keinginan Yoora. Hasil foto keluarga yang cukup bagus dengan senyuman yang terukir dari sudut bibir mereka masing-masing.

Yoora tersenyum kecut melihat semua orang setidaknya mendapat satu buket bunga, sedangkan ia sama sekali tidak. Bahkan, kakak dan orang tuanya pun sudah pamit pergi tanpa memberikan sebuket bunga padanya. Menyedihkan sekali bukan?

Dengan langkah yang begitu lesu sambil menunduk, ia lebih memilih duduk sendirian merutuki nasib malangnya di sebuah bangku yang sudah disiapkan oleh panitia untuk para tamu yang hadir. Sebuah kamera tergantung sempurna di lehernya tanpa berniat untuk ia gunakan. Hyejin yang melihat sahabatnya seperti itu, segera menghampiri berniat untuk sedikit menghiburnya.

"Hey! Kenapa kau diam saja? Besenang-senanglah!!"

"Kau mengabaikanku. Aku ingin berfoto."

Hyejin bergidig ngeri mendengar penuturan Yoora. Sahabatnya itu selalu saja bertingkah kekanak-kanakkan dan tidak pernah berubah seiring bertambahnya usia.

"Ayolah! Berhenti merengek seperti itu!"

Hoseok melangkah menghampiri Yoora dengan membawa begitu banyak buket bunga di tangannya. Baru saja beberapa langkah keluar dari pintu, murid perempuan sudah berhamburan menghampiri Hoseok dan membuat langkahnya terhenti. Yoora yang melihat Hoseok berada tak jauh dari tempatnya, segera beranjak untuk menghampirinya.

Hyejin yang paham betul sahabatnya itu hanya bisa menggeleng. Yoora mengurungkan niatnya menghampiri Hoseok karena sudah begitu banyak gadis yang mengerubungi pria itu. Yoora berbalik dan menatap sendu kearah Hyejin. Baginya, Hoseok itu terasa sangat tidak mungkin. Untuk sekedar menyapanya saja sangat sulit ia lakukan. Yoora hanya bisa menatap Hoseok dari jauh dengan segala harapan yang terasa sangat mustahil baginya. Heosok memang berada di dekatnya, namun Yoora merasa seakan-akan mereka berada di dunia yang berbeda.

"Hyejin, apa kau punya uang? Aku lapar. Ayo kita pergi dari sini!"

Hyejin merangkul bahu Yoora untuk memberinya sedikit ketabahan agar bisa menerima kenyataan 'Cinta yang tak terbalas selama tiga tahun' itu.

"Yoora, tunggu."

Mendengar seseorang memanggil namanya, membuat Yoora menoleh. Yoora sontak terkejut melihat Hoseok berdiri tegap tak jauh darinya. Matanya membulat sempurna melihat Hoseok melangkah mendekat kearahnya.

Kini, Hoseok sudah berada tepat di hadapan Yoora. Gadis itu hanya menatap Hoseok dan menelan salivanya yang terasa sangat sulit untuk ia telan. Saking gugupnya, butiran keringat membasahi pelipis gadis itu. Hyejin menyikut lengan Yoora pelan agar sahabatnya itu segera tersadar dan jangan bertingkah memalukan di hadapan Hoseok.

"An-yeong!" sapa Yoora sambil memperlihatkan cengiran kuda khasnya. Ia mengangkat tangan kanannya ragu. Hyejin menunduk malu dan menutup wajahnya melihat tingkah Yoora. Semua gadis menatap sinis Yoora.

"Bisakah aku berfoto denganmu?"

Deg!!

Sebuah petasan meledak tepat dimana jantung Yoora berada. Seakan-akan kembang api menyala di atas langit merayakan kebahagian Yoora saat ini. Yoora hanya terdiam sambil mendongak melihat kembang api khayalannya. Sampai-sampai Hoseok mengulangi pertanyaannya lagi. Melihat Yoora yang tak kunjung merespon, Hoseok menyimpulkan bahwa ia telah ditolak.

"Tak apa jika kau tidak ingin berfoto denganku. Sampai jumpa."

"Tidak!! Tentu saja aku ingin. Hyejin-ah, bisakah kau memotret ku dengan Hoseok?" sergah Yoora yang tentu saja tidak ingin menyianyiakan kesempatan itu.

Yoora menyodorkan kamera yang sedari tadi ia kalungkan di lehernya. Hyejin telah siap untuk memotret. Sedangkan kecanggungan menyelimuti dua orang itu, mereka saling menjaga jarak dan berpose sangat kaku.

"Apa kalian tidak bisa lebih dekat lagi?" goda Hyejin.

Mendengar penuturan Hyejin barusan, Hoseok mencoba mempersempit jaraknya dengan Yoora. Entah kenapa, rasa percaya diri seorang Hoseok tiba-tiba saja lenyap. Pria itu terlihat canggung.

"Apa yang kalian lakukan?! Jika seperti ini, lebih baik kalian tidak berfoto bersama saja!"

Yoora memutar bola matanya, dengan ragu-ragu ia mencoba untuk lebih dekat dengan Hoseok dan perlahan menghilangkan jarak diantara mereka. Bahunya kini menempel dengan lengan Hoseok. Melihat Yoora yang terlihat sangat gugup, Hoseok tersenyum kecil. Secara tiba-tiba, Hoseok merangkul bahu Yoora. Menurutnya, menggoda Yoora dan melihat kedua pipi gadis itu memerah adalah hal yang menyenangkan.

Yoora yang terkejut menelan salivanya berulang kali. Pipinya memanas dan detak jantungnya terasa tidak normal. Gadis itu menoleh dan mendapati Hoseok tengah tersenyum. Yoora merasa ia sedang melayang dan tidak lagi menapak di bumi.

"Bagus. Yoora, tersenyumlah!!"

Hyejin bersiap untuk memotret dan sedang memilih posisi yang terbaik. Yoora hanya tersenyum hambar menatap lensa kamera.

"Aku menyukaimu." ujar Hoseok bersamaan dengan Hyejin yang sedang berhitung untuk memotret.

Yoora yang mendengar penuturan Hoseok sontak menoleh tepat disaat Hyejin memotret mereka. Hasil foto yang sempurna dengan ekspresi keterkejutan Yoora yang luar biasa aneh.

"Yak!! Ada apa denganmu?!" kesal Hyejin. Yoora mengerjapkan matanya berulang kali, sedangkan Hoseok justru melangkah pergi begitu saja. Hoseok memasukkan tangan kirinya ke dalam saku celananya, ia tersenyum tanpa sepengetahuan Yoora.

Yoora POV

Tok tok tok
"Hey!! Gadis malas!! Bangunlah!!"

Tidur nyeyak ku terusik mendengar teriakkan seseorang di balik pintu yang terdengar begitu menggelegar, suara bass miliknya dan gedoran pintu begitu bergema yang membuat gendang telinga ku sakit karenanya.

Aku meraih guling kesayanganku untuk menutupi lubang telingaku agar teriakkan dari kakak semata wayang terdengar mengecil. Namun tetap saja, volume suaranya memang luar biasa sampai-sampai bisa menembus ketebalan guling yang aku gunakan. Aku menarik selimut doraemonku agar menutupi seluruh tubuhku. Aku benar-benar terusik olehnya.

"Ya ya ya!! Aku bangun!! Berhentilah berteriak!!!"

Aku terduduk di atas kasur dengan mata yang masih terpejam karena rasa kantuk. Saat aku rasa kakak sudah berhenti berteriak, aku memilih untuk kembali berbaring.

"Jika kau kembali tertidur, aku tidak akan memberimu uang saku lagi."

Aku langsung beranjak dan secara spontan mataku terbuka lebar dengan begitu mudah ketika mendengar kata 'uang'.

"Aku bangun!!!"

Author POV

Yoora menuruni anak tangga dan menghampiri meja makan dengan handuk yang masih mengikat di atas kepala menggulung rambutnya yang baru saja ia cuci. Tepat disaat Yoora menduduki kursi kosong bagiannya, semua anggota keluarga yang lain beranjak pergi. Yoora menatap heran mereka. Namun, sedetik kemudian ia tak menghiraukan mereka dan kembali beralih pada makanan di atas meja untuk mengisi perutnya yang kosong.

"Yak!! Kenapa tidak ada sisa makanan untukku?!"


      oOo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar