Selasa, 30 Juni 2015

FANFICTION PARK CHANYEOL: Because of you... 'White Rose' Chapter 1


FANFICTION PARK CHANYEOL: Because of you... 'White Rose'





Title: Because of you.. 'White Rose'
By : IpoNovi23
PG-15 | Sad & Romance | Chapter | Park Chanyeol & Park Minjung (OC)

Warning!!! Banyak typo dimana-mana.

Mohon maaf jika cerita yang saya buat kurang menarik dan bahkan membosankan.

Tolong dihargai..

Cerita ini murni pemikiran saya. Don't bash!! Don't copy!!

Selamat membaca^^


Terlihat seorang gadis cantik memakai kaos berwarna abu-abu dengan jaket tebal beserta celana jeans tengah duduk di salah satu bangku di dalam bus. Ia mengenakan sebuah topi, kacamata hitam dan masker berwarna biru bergambar doraemon. Ia tampak gusar, takut bila ada seseorang yang mengetahui dirinya.

"Park MinJung-ssi?" ujar salah seorang gadis memakai seragam sekolah.

Sepertinya penyamaran gadis cantik bernama Park MinJung itu akan terbongkar.

"Park MinJung-ssi? Park MinJung-ssi?" hampir seluruh penumpang bus itu memanggil namanya. Seluruh pasang mata menatap ke arahnya menantikan jawaban darinya.

"Apa benar kau Park MinJung-ssi?" tanya seseorang yang berada di samping MinJung.

"Benar. Sangat jelas dia adalah Park MinJung artis terkenal itu." ujar seorang ibu yang membawa anak kecil berumur kurang lebih 3 tahun sambil menunjuk ke arah papan besar yang dipasang di atas sebuah gedung yang sangat tinggi bergambar seorang gadis yang sangat cantik memakai gaun berwarna putih dan sebuah mahkota kecil di rambutnya.

Ya, gadis yang berada di papan besar itu adalah Park MinJung. Ia adalah seorang artis yang sedang diatas popularitasnya.

Ia adalah leader dari sebuah girl band ternama dari NG Entertaiment yang debut 2 tahun lalu, yang beranggotakan Park MinJung (19 tahun), Kim YongIn (18 tahun), Lee HyunHee (20 tahun), dan Jung RaeJin (20 tahun). Mereka sangat populer hampir di seluruh belahan dunia.

MinJung pun mulai panik karena semua orang sudah menyadari keberadaannya.

Bus berhenti~

MinJung bergegas turun dari bus tersebut. Ia menarik ujung topi untuk lebih menutupi wajahnya.

"Park MinJung eonni~!! Park MinJung eonni~!!" teriak segerombolan gadis berseragam.

MinJung yang mendengar itu semakin panik. Ia sedang tidak ingin diganggu. Ia ingin kehidupan yang normal. Ia ingin naik bus dengan tenang seperti dahulu sebelum ia debut.

Semua orang yang berada disana memanggil namanya. MinJung melangkahkan kakinya secepat mungkin. Semakin ia mempercepat langkahnya, semakin cepat pula orang-orang itu mengejarnya.

MinJung pun berlari. Tiba-tiba saja seseorang menarik tangan MinJung dan membawanya masuk ke sebuah restoran yang cukup sepi hanya ada beberapa pengunjung saja.

MinJung terkejut dan melepaskan tangannya dari genggaman orang tersebut.

Plakkk~

MinJung menampar orang tersebut. Mereka menjadi pusat perhatian disana.

"Apa yang kau lakukan?" tanya MinJung dengan suara yang sedikit bergetar. Ia takut.

Orang itu adalah seorang laki-laki yang sangat tampan,berkacamata, dan memakai ransel berwarna hitam yang ia kenakan di punggungnya.

Orang itu mengerutkan keningnya. Ia bingung. Seharusnya MinJung berterima kasih bukan malah menamparnya seperti itu.

"Aku hanya menolongmu. Kenapa kau malah menamparku?!"

MinJung yang menyadarinya menjadi tidak enak hati. MinJung menunduk dan meminta maaf pada orang itu.

"Maafkan aku. Tadi aku sangat panik. Aku benar-benar meminta maaf karena sudah menamparmu. Maafkan aku?" ucap MinJung menyesali perbuatannya. Akan tetapi, karena MinJung memakai masker sehingga orang tersebut tidak dapat mendengar perkataannya dengan jelas.

"Sudahlah." ujar orang itu lalu melangkah pergi.

MinJung melepaskan masker yang ia kenakan. Ia melangkah dan meraih lengan orang itu, menahannya agar jangan pergi.

"Kenapa?" tanya orang itu sambil menoleh ke arah MinJung.

MinJung menurunkan tangannya yang meraih lengan orang itu.

"Bisakah kau jangan pergi sekarang?" lirih MinJung. Ia menunduk dan meremas ujung jaketnya.

"Memangnya kenapa?" orang itu melihat gerak-gerik MinJung yang sepertinya sedang ketakutan.

"Aku takut."

Orang itu terlihat semakin bingung.

"Aku lebih menakutkan." ujar orang itu dan melangkah pergi meninggalkan MinJung.

MinJung mendongak dan mengekori langkah orang itu dari belakang. Orang itu menghentikan langkahnya secara tiba-tiba. Alhasil, MinJung menubruk orang itu dan terjatuh ke tanah.

"Kau baik-baik saja?" tanya orang itu sedikit khawatir.

MinJung tersenyum dan beranjak dari tanah untuk kembali berdiri. "Aku baik-baik saja." ucapnya.

"Sebenarnya apa mau mu?" tanya orang itu.

_kedai es krim_

"Vanila dan coklat." Minjung sedang memesan sebuah es krim. Ia menengok ke arah samping kanannya.

" Kau mau rasa apa?" MinJung bertanya kepada orang itu yang berada di samping kanannya.

" Tidak. Aku tidak mau."

MinJung mengerucutkan bibir tipisnya seperti anak kecil yang sedang marah.

"Ayolah. Aku tidak bisa makan sendiri." rengek MinJung.

"Terserah kau saja." orang itu hanya bisa pasrah.

"Saya pesan dua, ahjuma." ujar MinJung sambil mengangkat tangannya yang membentuk huruf v.

Tak lama kemudian, es krim yang telah dipesan MinJung pun siap untuk disantap.

"Ini." MinJung menyerahkan satu es krim kepada orang itu. Orang itu menerimanya dengan malas.

"Noona, bukankah kau Park MinJung yang ada di koran ini?" Ahjuma penjual es krim itu mengenali Park MinJung. Ia menyodorkan sebuah koran yang terdapat artikel mengenai Park MinJung.

Disana tertulis 'Artis cantik Park MinJung akan meninggalkan dunia hiburan'.

Sekarang, sedang ramai-ramainya pemberitaan mengenai dirinya.

Park MinJung diberitakan akan meninggalkan dunia hiburan yang jelas-jelas itu adalah sebuah kebohongan.

Walaupun MinJung merasa sedikit tertekan, tetapi ia tidak berniat untuk meninggalkan dunia hiburan yang telah susah payah ia raih sampai sesukses sekarang ini.

"Benar bukan? Anda sangat mirip dengan orang yang ada difoto ini." ujar ahjuma itu sambil menunjuk-nunjuk foto yang terdapat di koran tersebut.

"Park MinJung?" gumam orang itu.

"Tentu saja bukan." jawab MinJung kikuk sambil tersenyum masam. MinJung menyenggol lengan orang itu sambil memakan es krimnya.

"Kenapa?" tanya orang itu.

MinJung terus memberi aba-aba yang sama sekali tidak dimengerti oleh orang itu.

"Ayo kita pergi dari sini." bisik MinJung.

Ahjuma itu semakin curiga melihat tingkah MinJung. MinJung hanya bisa tersenyum kikuk. Ia menginjak kaki orang itu.

"Kau ini kenapa eoh?" tanya orang itu.

"Ayo kita pergi dari sini." bisik MinJung lagi.

Orang itu lantas beranjak dari tempat duduk setelah paham apa yang MinJung maksud.

"Ini uangnya. Terima kasih ahjuma." ucap orang itu sambil meraih tangan MinJung dan menggenggamnya. Mereka melangkah pergi begitu saja tanpa memperdulikan teriakan ahjuma itu.



Meraka terus melangkah tanpa ada sebuah percakapan diantara mereka. Tentu saja mereka tidak bepegangan tangan lagi. Mereka sibuk dengan pikiran mereka masing-masing.

"Terima kasih." ujar MinJung memecahkan keheningan.

Orang itu masih menatap lurus ke depan.

"Untuk apa?" tanya orang itu sambil memasukan kedua tangannya ke dalam saku jaketnya.

MinJung menatap orang itu."Semuanya."

Merasa ditatap, orang itu pun menoleh kearah MinJung. MinJung mengalihkan pandangannya dan membenarkan posisi kacamata yang ia kenakan.

"Hm." gumam orang itu. Lalu menatap lurus ke depan lagi.

MinJung teringat sesuatu.
"Eoh!! Siapa nama__"

"Taksi." potong orang itu sambil memberhentikan sebuah taksi yang sedang melintas.

"Cepat masuk." suruh orang itu sambil menggerakan kepalanya mengarah pada mobil taksi itu.

MinJung pun masuk ke dalam taksi tersebut. Ia bergeser untuk tempat orang itu duduk. Akan tetapi, orang itu malah menutup pintu mobil taksi itu.
MinJung terkejut dan membuka penuh kaca mobil taksi itu.

"Kenapa kau tidak masuk?" tanya MinJung sambil mengeluarkan seluruh kepalanya melalui kaca mobil taksi itu.

"Jalan pak!!" ucap orang itu kepada supir taksi dan melangkah menjauh. MinJung yang melihat itu berniat untuk keluar, tetapi mobil taksi itu malah melaju. MinJung berteriak memanggil orang itu sambil melambai-lambaikan tangannya dan setengah badannya keluar melalui kaca mobil taksi itu. Sungguh memalukan.

Orang itu tetap saja acuh dan terus melangkah pergi ke arah yang berlawanan.

"Agashi, bisakah anda tenang?" ujar pak supir dengan sopan.

"Yak!! Mana mungkin aku bisa tenang? Suruh siapa mobil ini melaju?? Eoh?!"

MinJung tanpa sadar membentak ahjussi supir taksi. Ia benar-benar hilang kendali.

MinJung terkejut dengan apa yang baru saja ia lakukan. Ia telah membentak orang tua. MinJung menepuk-nepuk mulutnya dengan tangannya. Lalu, ia memukul-mukul kepalanya sambil bergumam, "Bodoh!! Tidak sopan!! Bodoh bodoh!!" sesalnya.

Pak supir yang melihat tingkah MinJung dari kaca spion merasa tidak enak hati.
"Maafkan saya, agashi." ujar pak supir.

MinJung merasa sangat bersalah dan malu atas perbuatanya.

"Tidak. Seharusnya saya tidak boleh membentak ahjussi. Maafkan saya. Saya benar-benar meminta maaf atas perbuatan saya yang sangat tidak sopan. Saya menyesal." ujar MinJung sambil menundukan kepalanya berulang kali tanda bahwa ia sangat menyesali perbuatanya.

Ahjussi itu tersenyum.

"Tidak apa-apa. Biasanya jika sepasang kekasih sedang bertengkar, akan melupakan segalanya. Yang ada, mereka hanya kesal sepanjang hari dan saling merindukan satu sama lain di malam hari." tutur pak supir. MinJung hanya mengerutkan keningnya. Bingung.

"Sepasang kekasih? Siapa?" tanya MinJung.

"Kalian." ucap pak supir sambil terkekeh.

"Kalian?" gumam MinJung pelan.

"Paman, kau punya kertas tidak?" tanya MinJung.
Pak supir melirik MinJung melalui kaca spion dan mengangguk.

Pak supir mencari buku tersebut di sebuah laci. Ia merogoh laci tersebut dan memberikan sebuah buku bergambar doraemon.

"Wow! Doraemon. Paman suka doraemon juga? Dengan penanya juga paman." MinJung tersenyum. Pak supir tampaknya sedikit kesal dengan sikap MinJung yang kekanak-kanakan, itu tidak sesuai dengan usia dan postur tubuhnya yang tinggi.

"Ini penanya. Itu semua milik anak saya." pak supir menyerahkan sebuah pena yang bergambar doraemon juga.

"Wow!! Anak paman sama seperti saya." ujar MinJung takjub.

Pak supir hanya bisa menggeleng.

"Berhenti di depan paman."

Taksi pun berhenti~

MinJung keluar dari taksi itu dengan senyuman yang mengembang. Ia tampak sangat bahagia.

"Ini paman." MinJung menyerahkan selembar kertas.

Pak supir menerimanya. "Apa ini?" tanyanya.

"Itu adalah tanda tangan saya. Saya adalah artis terkenal dan mendunia. Maaf, saya tidak bermaksud untuk menyombongkan diri. Saat ini, Saya tidak membawa uang cash. Paman bisa menjual tanda tangan saya. Tanda tangan saya sangat mahal dan saya memberikanya dengan cuma-cuma. Paman harus bersyukur. Buku dan pena ini untuk saya. Terima kasih." ujar MinJung panjang lebar yang membuat kepala pak supir sakit mendengarnya.

MinJung memakai kembali masker doraemonya. Ia melangkah pergi begitu saja meninggalkan pak supir yang masih syok atas perbuatannya. MinJung memasukan buku dan pena tersebut ke dalam tas selempengannya dan tersenyum dibalik maskernya.

~

Di sebuah kamar tidur yang sangat luas bagaikan lapangan bola. Disana terlihat banyak pernak-pernik berbau sebuah tokoh kartun berbentuk robot kucing yang mirip musang berwarna biru dan putih abad ke-21. Ya, doraemon. Sepertinya gadis itu memang sangat menyukai tokoh kartun itu. Kamar tidurnya saja, didominasi oleh warna biru dan putih. Banyak sekali barang yang berbentuk tokoh kartun favoritnya itu. Mulai dari boneka, jam tangan, sandal, miniatur dan masih banyak lagi. Jumlahnya yang banyak,hampir memenuhi sebagian ruangan yang sangat luas tersebut.

Akan tetapi, tampaknya gadis itu sedang gusar. Ia terus saja bolak-balik memutari kamarnya yang luas itu. Entah apa yang sedang ia pikirkan. Gadis itu lebih memilih membaringkan diri di kasur empuknya yang lagi-lagi bergambar doraemaon.

Ia terus saja mengganti posisi tidurnya. Ke sebelah kanan, kiri, menyamping, menyerong, sampai ke segala arah telah ia coba sambil terlentang, telungkup, dan tengkurap.

"Aaahh.." teriak gadis bernama Park MinJung itu sambil mengacak-acak rambutnya frustasi.
Ia menatap langit-langit kamarnya.

"Siapa dia?" gumamnya.


~White Rose~

Sabtu, 27 Juni 2015

FANFICTION PARK CHANYEOL: Remorse in December

Title: Remorse in December
By: IpoNovi23
PG-15 | Hurt & Romance | Oneshoot | Park Chanyeol & Park Minjung (OC)

Warning!! Banyak typo bergentayangan dimana-mana!!

Mohon kritik dan saranya..

Selamat membaca^^


24 December 2014


Malam Christmas tahun ini semakin ramai, pohon natal berdiri kokoh di tengah alun-alun kota. Ribuan kado siap dijual di setiap outlet, boneka santa yang menjadi maskot natal tersebar di mana-mana dalam bentuk gantungan kunci hingga boneka setinggi manusia, hiasan lampu, lonceng dan segala macam pernak pernik natal terjual di sepanjang jalan Myeongdong.

Hari ini merupakan hari besar, di mana seluruh keluarrga berkumpul atau beberapa orang memiliki jadwal kencan hingga tengah malam nanti. Tetapi, aku bukan satu dari jenis yang barusan kusebut, malam natal tahun ini aku memiliki acara bertemu teman-teman lama.

Aku sampai di sebuah kafe kecil di ujung jalan. Daripada disebut kafe tempat ini lebih cocok disebut bar minuman ala Meksiko, dengan unsur kayu dan suasana yang menghantarkan atmosfer barat. Aku segera melepaskan mantelku, menyapu area kafe kecil itu dan mendapati wajah-wajah yang tak asing. Memang ada beberapa perubahan dalam tujuh tahun terakhir, tapi tidak banyak. Aku masih mengenali wajah-wajah itu dengan berbagai kenangan pahit dan manis yang pernah kami lalui.

Segera aku menghampiri meja dengan sekumpulan wanita seumuranku yang langsung menyambutku. Sehingga menimbulkan keributan tersendiri, berbeda jauh dengan sekumpulan lelaki yang duduk tenang di seberang meja lain. Dan tepat di seberang kursiku, Chanyeol duduk dengan tenang menikmati minumannya sambil sesekali ikut dalam obrolan para pria.


24 December 2007 #Flashback__


"Kita mau kemana?"
"Sudahlah. Kau hanya cukup diam dan masuk ke dalam mobil." Chanyeol menarikku secara paksa dan mendorongku masuk ke dalam mobilnya. Sangat menjengkelkan. Aku hanya duduk pasrah disamping Chanyeol yang sedang mengemudi dengan begitu serius. Hanya menatap lurus ke depan tanpa ada sebuah perbincangan diantara kami.

Aku melirik ke arah Chanyeol. Aku baru menyadari bahwa penampilannya sangat berbeda malam ini. Ada apa denganya?

Aku tidak ingin berdebat dengannya. Rasa penasaran yang menyeruak di pikiranku,aku biarkan begitu saja. Cukup aku pendam dan membiarkan pikiranku menyimpulkannya sendiri. Ya,aku Park Minjung. Seorang gadis dengan harga diri setinggi langit.

“Jadi, bisa kau ceritakan kenapa kita di sini?” ujarku seraya melihat ke sekeliling. Yang ku tahu kami berada di sebuah restoran di pinggir pantai.

Suasananya penuh dengan lampu hias dengan cahaya remang, terdengar pula suara samar deru ombak di balik kaca jendela. Di hadapanku tersaji sepiring makanan Itali yang terlihat mahal, segelas wine tahun 2004 (dengan kadar alkohol yang paling rendah) dan sebuah lilin aroma yang terbakar di tengah meja. Seorang pria yang baru saja memainkan biola di hadapanku.

Malam ini adalah malam natal di tahun ketiga sekolah ku, dan wow. Kukira, malam natal tahun ini aku dan Chanyeol akan berperang dengan semangkuk mie ramen dan sebotol cola. Namun, entah jenis batu apa yang menimpa isi kepala Chanyeol. Saat ini, lelaki, atau bisa ku sebut pria di hadapanku memakai tuxedo–pakaian formal pria. Rambutnya yang biasa terjatuh menutupi dahi kini tersisir rapih ke belakang. Penampilan yang biasanya terlihat kumal, kini berubah menjadi sangat keren. Bau keringat berubah menjadi bau sebuah parfum mahal, apa ini benar-benar Chanyeol?

Tidak, tidak. Chanyeol tidak mungkin sedang mengajakku berkencan ‘kan? Lagi pula aku hanya mengenakan mantel tebal dengan celana jins dan kaos lengan panjang saja. Ini bukan kencan, ini hanya sebuah permainan kecil yang dia buat.

“Kau suka?” tanya Chanyeol setelah beberapa lama hanya keheningan tercipta, karena dia sama sekali tidak menjawab pertanyaanku sebelumnya, dan hanya tersenyum manis seperti saat ini.

“Apa?” Tentu saja semua ini menakjubkan, bodohnya kau Minjung. Kenapa aku menjadi gugup di saat seperti ini? Oh, tidak. Aku bahkan tak berani menatapnya.

“Ehmmm… aku?” Chanyeol menunjuk ke dirinya sendiri. Aku tersedak sesaat mendengar kata yang barusan kudengar. Chanyeol tak mungkin bersungguh-sungguh mengatakannya, kan? “Maksudku ini semua,” ralatnya sekian detik kemudian.

“Ya, seperti yang kau tahu. Aku suka makanan Itali, biola dan pantai. Dan aku juga suka gayamu hari ini.” Aku tulus mengatakan kalimat terakhir barusan. Kulihat seulas senyum yang hangat di bibirnya. Kurasa dia suka dengan pujianku.

"Jujurlah, kau sedang menjahiliku lagi ‘kan?”

“Minjung, haruskah aku menjahilimu sampai sejauh ini?”

“Kau pernah membayar seseorang untuk menipuku." sindirku, mencoba untuk mengingatkannya betapa sudah keterlaluannya ia menjailiku selama ini.

“Baiklah, itu cerita lama. Sekarang berbeda.”

“Ya, mungkin kau benar. Tapi, bukan berarti hal itu tidak bisa terulang lagi. Jadi, bisa kau jujur padaku? Sekarang!” tuntutku.

“Kau sungguh tidak sabar. Makanlah dulu.”
Tampaknya Chanyeol mulai kesal, tapi sungguh aku yakin dia sedang menyembunyikan sesuatu dariku.

“Dengar, aku bukan Minjung yang mudah tertipu lagi.”

“Kau tidak percaya padaku?”

“Tidak.” Tentu saja tidak, setelah semua penipuan yang pernah kau lakukan. Kaupikir aku bodoh?!
Nada kecewa terdengar jelas dihelaan napasnya.

“Baiklah, tunggu di sini.” Chanyeol beranjak dari tempat duduknya. Namun ku tahan lengannya, aku yakin ada sesuatu.

“Kau mau kemana?”tanyaku.

“Kau bilang aku harus jujur, iya kan?” tanyanya balik.

“Apa kau akan pergi meninggalkanku sendiri disini? Dengan segala tagihan makanan kita?” Aku memicingkan mata,menatapnya tajam. Aku sangat curiga padanya.

Chanyeol bertolak pinggang, matanya seakan-akan mau keluar karena memplototiku tajam.
"Pertama, cobalah untuk percaya padaku. Kedua, berhenti berkhayal yang tidak-tidak. Ketiga, duduk di sini. Tunggu aku, aku pasti kembali.”

Aku menarik tanganku pasrah dari lengannya.

“Baiklah, akan kucoba ketiga-tiganya.”

“Bagus.” Kembali dia berbalik melangkah pergi tetapi kutahan lagi. Aku masih belum yakin benar.

“Pasti kembali?” tanyaku meyakinkan.

“Pasti.” ujarnya penuh penekanan disetiap hurufnya.

“Janji?”

“Janji.”
“Baik. Ingat!! Aku tidak suka menunggu. Jika kau mengingkari janji, aku tidak ingin melihatmu lagi."

“Aku akan mengingatnya, Park Minjung. Aku mohon, percayalah padaku. Okay?” Aku melepaskan lengannya, dia menghilang di tengah meja menuju sebuah dapur. Entah kenapa dadaku terasa … kau tahu? Seperti ada sebuah drum yang dipukul keras-keras di tengah keheningan ini.

Mungkin aku hanya perlu menunggu dan percaya padanya bahwa dia akan kembali. Ya, dia tidak mungkin sejahat itu akan meninggalkan aku sendiri disini dengan 30.000 won di dalam dompetku. Karena kuyakin makanan ini lebih dari 100.000 won per piringnya.

Ketika aku melihat Chanyeol melangkah menghampiriku,semua beban dan pikiran buruk hilang dalam sekejab. Terulas senyum dibibirku. Sepertinya aku bisa bernapas kembali dengan normal.

Tak lama kemudian, sebuah meja dorong yang biasa seorang pelayan bawa untuk mengantarkan pesanan datang kepadaku. Bukan sebuah piring dengan makanan penutup, tapi piring dengan seikat bunga mawar.

Bunga itu diambil oleh Chanyeol. Dia menghirup aroma mawar seraya pelayan yang membawa mawar itu pergi meninggalkan kami. Tanpa disangka, pria itu berlutut di hadapanku sambil memberikan seikat mawar itu, dan tersenyum seraya meraih tangan kananku.

“Park Minjung, maukah kau menikah denganku?”

“Hahahaha … apa ini termasuk dalam perangkapmu? Tidak Chanyeol, aku tidak akan terperangkap.”

“Aku bersungguh-sungguh Minjung.”

“Kita baru kelas tiga, baru musim semi tahun depan kita lulus. Lalu,kau dan aku akan masuk ke Universitas. Dan satu hal lagi, kau ingin menikah muda? Jangan bercanda, aku kenal Park Chanyeol dengan obsesi-obsesinya. Kau tidak mungkin mau menikah, lagi pula kau sendiri pernah bilang tidak mau berpacaran dengan gadis sepertiku ‘kan? Aku bukan tipemu, kau bilang seperti itu. Berhenti bermain, aku ingin pulang.”

Kulepaskan genggaman tangan Chanyeol di tangan kananku. Berdiri dari kursiku, lalu berjalan beberapa langkah menjauh. Namun Chanyeol tak kunjung mengikuti langkahku. Dia masih setia pada posisinya.

“Sebesar itukah kau tak percaya padaku?” lirihnya masih berjongkok tanpa bergeming pada posisinya.

“Ya! Sekarang ayo kita pulang.” Aku menarik lengannya, tetapi Chanyeol menepis lenganku, hingga aku sedikit berjalan mundur. Aku terkejut. Ini pertama kalinya aku melihat wajah Chanyeol yang seperti ini. Sungguh, rasanya sakit. Ekspresi wajahnya mengerikan.


 24 December 2014


“Jadi Minjung mana pacarmu?” goda Yoora. Kalau aku memang punya pacar, aku lebih baik menghabiskan malam natal dengannya dibanding datang ke kafe ini bertemu dengan teman lama yang sudah mempunyai pasangan masing-masing. Sejujurnya,aku merasa terasingkan berada disini.

“Aku tidak punya.”Jawabku sambil menggelengkan kepala. Uh! Menyedihkan.

“Tidak mungkin. Sejak SMA kau selalu dikejar-kejar. Kau itu gadis populer! Memangnya tak ada satupun yang menarik?” timpal Hyera tak percaya. Hyera benar, dan satu hal lagi sampai sekarang pun masih ada yang setia mengejarku plus masih belum ada yang menyangkut di jaring cintaku, atau mungkin takkan ada.

“Tidak ada. Lalu kau sendiri Hyera, kau masih dengan Woohyun?” jawabku mengalihkan pembicaraan pada Hyera yang sejak dulu sudah menjadi prangko si cowok basketnya.

“Sepertinya, hanya kau saja yang belum tahu,” ledek Hyunji.

“Apa? Apa aku ketinggalan sesuatu?” tanyaku penasaran. Walau tak begitu penasaran. Sebenarnya aku tidak terlalu tertarik dengan urusan orang lain, hanya saja daripada mereka fokus pada kehidupan pribadiku, lebih baik membicarakan yang lain, bukan?

“Woohyun dan Hyera akan menikah,” bisik Yoora ditelingaku.

“Oh ya? Wow, selamat Hyera. Sungguh aku tidak tahu, selamat.” Aku menjabat tangan Hyera. Harusnya aku tahu ini, pasangan Hyera dan Woohyun pasti akan menikah, sejak dulu mereka selalu menempel seperti prangko dan surat berjalan, hidup pula.

“Terimakasih Minjung. Lalu, kau dengan Chanyeol?” Hyera, kau benar-benar tahu bagaimana membuatku terjatuh. Kenapa kau tanyakan Chanyeol padaku, tanya saja pada pria bodoh itu!

Yoora yang menyadari perasaanku saat ini menyikut Hyera dan berbisik, “Hyera, kau tidak bisa berbicara seperti itu. Beberapa menit lalu, kita baru saja melihat seorang gadis datang bersama Chanyeol 'kan?” Perkataan Yoora tersebut cukup jelas didengar oleh semua orang di meja perempuan itu.

“Apa? Gadis siapa?”tanyaku penasaran.

“Kau tidak tahu? kukira kau tahu,” jawab Yoora.

“Tidak, aku sudah tidak berkomunikasi lagi dengan Chanyeol selama tujuh tahun terakhir ini.” Semenjak kejadian natal tujuh tahun yang lalu. Aku bahkah tidak pernah bertatap muka langsung dengannya.

“Apa? Kalian masih bertengkar?” ujar Hyunjo terkejut.

“Tidak. Lagi pula kami memang tak memiliki hubungan apapun. Jadi, kalian tak perlu seperti ini.”

“Apa karena kejadian ulang tahun itu?”

“Ehmm… mungkin.”


27 November 2008


Hari ini ulang tahun Chanyeol dan kado untuknya sudah kusiapkan. Bahkan kue coklat dengan lilin-lilinnya sudah kusiapkan dari kemarin. Aku juga membuat sup rumput laut untuknya. Tapi, semenjak kejadian itu, Chanyeol menghindariku, menjauhiku dan tak berbicara padaku. Dia marah. Apa mungkin karena malam natal itu? Tapi, kenapa saat tahun baru dia mengirimi ku kartu ucapan? Tapi, kalau bukan kerena itu, kenapa sekarang dia menjauhiku?

Aku melihat kue yang kubuat kemarin, berbentuk bulat, polos tak ada hiasan krim atau hiasaan lainnya. Hanya kue coklat berukuran sedang yang gosong di bagian bawah. Mungkin seharusnya aku membeli kue yang sudah jadi saja. Chanyeol mana mau makan kue gosong seperti ini. Dan sepanci sup rumput laut dengan udang. Rasanya terlalu asin, tidak mungkin juga dia mau makan makanan yang asin luar biasa ini. Jadi kuputuskan untuk tak membawa kedua makanan itu.

Setidaknya aku membawa kado, aku memberikan dia sepasang sarung tangan. Saat jalan-jalan kemarin aku menemukan sarung tangan kulit ini, dan kurasa ini cocok untuk Chanyeol.

Ketika tiba di sekolah, Chanyeol sudah menjadi pusat perhatian. Mejanya dipenuhi kado berbungkus cantik, dia juga dikelilingi para gadis genit dan para teman lelakinya. Jadi kuputuskan saat istirahat siang nanti aku akan memberi dia kado ini. Sayangnya, istirahat siang pun dia menghilang. Aku mencarinya kelapangan bola, kafetaria, sampai taman belakang sekolah pun tak ada. Jadi pada akhirnya aku memilih menunggu di kelas.

Ketika kembali ke kelas orang-orang mulai berbisik, melihatku dengan ledekan. Layak aku adalah sasaran buli. Aku masuk, dan mendapati Choi Jieun duduk dikelilingi para gadis, dia sainganku dalam pelajaran dan beberapa hal yang rumit. Dia menatapku penuh kemenangan dan mulai berbicara dengan suara sekeras-kerasnya.

“Kalian tahu, Chanyeol sekarang kekasihku. Jadi, takkan kubiarkan siapapun mendekatinya,” ujar si genit dengan kulit putih buatan itu.

Chanyeol berkencan dengan Jieun? Jangan gila, Chanyeol pernah bilang padaku, Jieun itu gadis yang merepotkan. Dia tidak menyukai Jieun. Tapi bagaimana bisa? Wajah Jieun tak menunjukan kebohongan dan tak mungkin dia berani berbicara kebohongan sekeras itu di depan kelas, di depanku dan juga di depan Chanyeol yang hanya duduk di kursinya.

Aku segera menghampiri si bodoh Chanyeol.

“Yak! Kau sungguh berkencan dengan dia!?” tanyaku pada si bodoh yang hanya duduk sambil mendengarkan musik. Lalu, dia melepas earphone di telinganya, menatapku dengan tatapan tak biasa. Dia bukan Chanyeol yang kukenal.

“itu bukan urusanmu.”

“Apa?”

“Dan satu lagi,berhenti memanggilku ataupun berbicara padaku!!"


24 December 2014


“Untuk kebahagian kita bersama, mari bersulang,” kata Seulong seraya mengangkat gelas minumannya ke atas. Bersamaan kami meneguk habis gelas soju yang di campur dengan bir. Tak ada yang lebih baik dari pada minum.

Aku tidak begitu ingat berapa banyak soju yang telah aku habiskan. Yang pasti, minuman-minuman itu membuat kepalaku tenang. Lebih tenang, sangat tenang. Walau begitu aku bukan orang yang mudah mabuk, jadi kesadaranku masih bertahan meski sudah hampir tengah malam. Yang kutahu saat ini, Seulong dan yang lainnya sedang memainkan permainan Truth or Dare.

 Aku sungguh berharap permainan itu memilih ku untuk menjadi korban. Namun, si botol itu terus saja berputar dan berhenti pada orang lain.

“Bagaimana kalau sekarang kita berfoto?” tawar Jongsuk ketika permainan kebenaran atau tantangan itu mulai terdengar membosankan.

“Aku ingin main,” seruku, aku masih cukup sadar untuk mengikuti permainan ini.

“Tapi, permainan sudah berakhir.”

“Dare.” Aku memaksa.

“Baiklah, untuk Minjung yang mabuk.” Jaehyun mencoba memberi kesempatan untukku dengan nada sedikit mengejek.

“Aku tidak mabuk!”

“Kalau begitu, katakan sesuatu pada orang yang …”

“Aku akan mengatakannya pada Chanyeol.” Aku menunjuk ke arah si bodoh Chanyeol.

“Bisakah kau mendengarkan aku bicara sampai selesai dulu?” protes Jaehyun.

“Chanyeol!! … Maafkan aku, untuk malam itu. Aku sungguh minta maaf. Aku menyesal.” Hening, semua orang menatapku dan Chanyeol bergantian. Mungkin mereka tidak mengerti apa yang kukatakan, tapi yang kuperlu pengertiannya hanyalah Chanyeol.

“Minjung, kau baik-baik saja? Ayo, biar kuantar pulang,” tawar Yoora berbisik di telingaku.

“Tidak apa-apa. Aku bisa pulang sendiri.” Air mataku mulai keluar, dan ku yakin eyeliner ku mulai luntur. Kukerjapkan mataku, menunduk dan menghela napas panjang.

Semua orang masih melihat ke arahku, penuh tanya dan rasa penasaran tingkat tinggi. Aku tidak suka orang-orang melihatku seperti itu. “Minjung..,” kata Yoora lagi.

Aku segera mengambil tas tanganku. “Terimakasih untuk hari ini, semuanya.” Aku beranjak dari kursi dan pergi keluar kafe.

Aku berlari, jauh meninggalkan kafe dan aku lupa membawa mantelku. Bodoh. Tak apalah, sebentar lagi juga aku akan mendapatkan taksi. Aku berdiri di tepi jalan sambil mengangkat tangan berharap ada taksi kosong yang bisa ku tumpangi. Namun, ini malam natal di mana seluruh angkutan umum penuh.

Udara malam semakin menusuk tulang, mataku terasa membengkak dan kurasa make up di mataku sudah berantakan. Aku enggan melihat ke cermin, karena ku yakin hal itu hanya akan membuatku semakin terlihat sangat menyedihkan.

Aku tidak tahu kenapa aku berlari, aku juga tidak tahu kenapa saat ini aku merasa depresi. Yang pasti, aku sangat kesal ketika mengingat-ingat kejadian di masa lalu yang kuhabiskan dengan si bodoh Chanyeol. Rasanya sangat munafik jika aku bilang, aku tidak merindukan masa-masa itu.

Saat kami liburan musim panas dan saat kami melihat gerhana bulan di awal musim gugur, semuanya. Aku merindukan sapaan hangatnya, meski sudah tujuh tahun. Aku masih rindu tawa yang selalu bisa menular seperti virus. Aku rindu candaan yang tidak lucu, tetapi anehnya bisa membuat perutku sakit karena tertawa. Awalnya kupikir, aku akan melupakan hal-hal seperti itu cepat atau lambat. Namun, kenyataan itu memang menyebalkan. Tak bisakah kenyataan sesuai dengan harapanku saat ini, sekali saja.

Aku harap aku tidak pernah menolak pernyataannya, aku harap aku yang berada di sampingnya saat ini. Aku harap, aku masih memiliki tempat di hatinya.

Butiran es turun bersamaan dengan cairan bening dari sudut mataku yang mungkin akan membeku. Dingin sekali, tanganku memerah, dan hidungku sudah mulai tersumbat. Ini menyebalkan, aku pasti terlihat sangat menyedihkan.

Tiba-tiba sebuah mantel menutup tubuhku, dan sebuah payung bewarna kuning menutup pandanganku dari langit. Kulihat si pemegang payung. Aku cukup terkejut untuk percaya, Park Chanyeol berdiri di sampingku dengan senyum hangat. Apa aku pernah bilang kalau aku sangat merindukan senyuman hangatnya?

Saat ini, aku berada di sebuah coffee shop, duduk berhadapan dengan si Chanyeol yang bodoh. Sambil menikmati Americano yang anehnya tak sepahit biasanya. Aku tak berani menatap wajah di hadapanku. Keheningan masih berlanjut hingga 20 menit sejak kami duduk di kursi kayu ini.

“Jadi, bagaimana kabarmu?” tanyaku.

“Baik, kau sendiri?” tanyanya balik.

“Begitulah, bagaimana ibumu?”

“Seperti biasa, sibuk dengan usahanya di Jepang. Sekarang kau bekerja di mana?”

“Di bank, menghitung uang setiap harinya. Kau sendiri?”

“Bukankah kau benci matematika?”

“Iya, tapi tak selamanya matematika menyebalkan. Jika itu berhubungan dengan uang, ceritanya berbeda. Kau sendiri, apa yang kau lakukan?”

“Aku bekerja di kantor kejaksaan Gangnam, jika kau membutuhkan pengacara kau bisa meneleponku.” Chanyeol memberikan sebuah kartu nama bewarna putih.

“Baiklah, jika kau perlu konsultasi keuangan silahkan hubungi aku.” Aku pun memberikan kartu namaku juga.

“Sepertinya kita akan terjebak di sini untuk beberapa jam ke depan. Hujan salju semakin lebat,” katanya sambil menerawang keluar jendela. Aku hanya mengangguk, dan kembali meminum Americano.

“Apa tak masalah aku duduk di sini, mungkin kekasih mu akan marah?” Dia kembali menatapku. Tersenyum. Entahlah,sepertinya memang aku sangat merindukan senyuman hangat yang terukir sempurna di bibirnya.

“Tidak, aku tidak punya. Seharusnya aku yang bilang seperti itu. Kudengar dari yang lain kau sudah mempunyai kekasih.”

“Bukan kekasih.”

“Lalu?”

“Dia ….” Aku tidak mau dengar. Sungguh,aku tidak ingin mendengarnya. Aku tidak perduli siapa gadis itu. Aku hanya berharap gadis itu bukan siapa-siapa baginya. Dan semua rumor yang kudengar itu tidaklah benar. Aku mohon..

“Chanyeol, sebelum kau menjawab siapa dia. Boleh aku mengatakan sesuatu?” Chanyeol mengangguk.

“Aku minta maaf, kau tahu saat itu aku terlalu bodoh untuk mengerti perasaanmu, dan aku terlalu naif untuk mengakui semuanya. Jujur saja, aku merasa sangat … menyesal. Aku harap kita bisa memulai lagi dari awal. Meski hanya… teman. Maksudku, seperti sebelumnya, kita teman yang baik ‘kan?”

Chanyeol terdiam, dia tidak mengubah ekspresinya dan meminum Americano miliknya. Kemudian menatapku sesaat.

"Aku terkejut, Minjung yang memiliki harga diri setinggi langit meminta maaf padaku.” ledeknya.

“Aku serius, Chanyeol.”

“Aku juga serius. Kau tahu? Ini bukan masalah penolakanmu. Ini masalah perasaan ku padamu dan sebaliknya. Yang membuatku kecewa bukan penolakanmu … ini soal kepercayaan. Aku sangat percaya padamu, Minjung. Aku … tak bisa terima bagaimana sikapmu yang tak mau membuka diri padaku. Sudah selama tiga tahun aku menunggu dan mencari waktu yang tepat untuk menyatakan perasaanku. Itu tidak mudah.”

“Aku tahu. Maaf.." Aku menunduk, entah kemana harga diri seorang Park Minjung, aku bahkan tak berani menatapnya.

“Tidak, Minjung. Kau tidak tahu.” Aku tersentak dari lamunanku.

“Kau bahkan tak meneleponku atau memberiku ucapan selamat ulang tahun ketika itu,” lanjut Chanyeol.

“Ada beberapa alasan soal itu, kau sendiri berkencan dengan Jieun.” Aku tak terima selalu disalahkan olehnya. Semuanya bukan mutlak kesalahanku. Aku balik menudingnya dengan gosip itu. Gosip? Tidak,maksudku sebuah berita yang aku yakini kebenarannya.

“Dan kau pikir aku benar-benar berkencan dengan perempuan yang merepotkan itu?” Aku terdiam untuk kesekian kalinya.

"Lihat? Kau sama sekali tak percaya padaku. Setiap hari sebelum kelulusan, aku selalu berharap kau berteriak tentang perasaanmu padaku. Tapi, kau terlihat biasa saja, seolah tak peduli. Bersikap bahwa aku tak ada dan hal-hal itu melelahkan bagiku.”

“Kau tak mengerti aku. Aku hanya …”

“Kau pun tak mau mengerti aku, yang kau pikirkan adalah dirimu sendiri … Maaf. Kata-kataku terlalu kasar. Jangan menangis.” Aku baru sadar, aku menangis saat Chanyeol menyebutkannya, entah sejak kapan. Aku merasa sakit, aku tak bisa mengontrol air mataku sendiri, emosiku meluap-luap namun sulit untuk dikeluarkan. Kenyataannya, ini semua adalah kesalahanku sendiri. Menyebalkan. Aku benci mengakuinya.

“Tak masalah, tenang saja. Aku baik-baik saja,” jawabku sambil mengusap pelupuk mata dengan tisu. Seraya mencoba membuka mata selebar-lebarnya.

“Jadi, Minjung.. Aku harap kau tak perlu bersikap seperti ini,” lirih Chanyeol.

“Ya, tentu. Kau pikir kau sedang bicara dengan siapa? Aku Minjung. Park Minjung!!" candaku. Namun, lebih terdengar seperti pembelaan diri yang menyedihkan.

Kembali keheningan yang menyebalkan ini merajai waktu kami yang berharga. Aku tidak tahu harus berkata apa lagi.

“Dia….” Aku mengangkat wajahku. Mungkin Chanyeol mau mencairkan suasana dengan membicarakan orang lain.

“Dia istriku.”

“I–istri?”

“Yang tadi kau tanyakan. Dia istriku sekarang. Aku dijodohkan oleh orang tuaku. Itulah kenapa aku melamarmu ketika itu. Karena ketika itu aku ingin bersama mu ….” Dia menggantungkan kalimatnya. Untuk waktu yang lama, aku tak bisa menjawab, mendengar ataupun fokus terhadap betapa menyedihkannya diriku saat ini.

Aku mengerjapkan mata, kemudian tersenyum sebisa mungkin.

"Selamat atas pernikahanmu. Kau sudah memiliki seorang anak?” tanyaku kaku. Dan dapat kurasakan cairan bening itu mulai memenuhi binar bola mataku.

“Sudah, dia seorang anak laki-laki, berumur 5 tahun. Teman-teman kita tidak banyak yang tahu. Hanya beberapa.”

“Begitukah? Senang mendengarnya langsung darimu.” Aku mencoba tersenyum, sebisa mungkin. Ya Tuhan.. Sakit. Rasanya sangat sakit mendengar itu langsung dari bibirnya. Sungguh,kenyataan seperti ini tidak bisa kuterima. Takdir? Aku tidak ingin mempercayainya. Aku harap esok hari aku terbangun dan melihat Chanyeol sedang tertidur pulas disampingku. Ini semua biarlah menjadi mimpi burukku.. Aku harap ini bukanlah sebuah kenyataan. Aku mohon..

Setidaknya aku tahu, aku pernah menjadi bagian berharga dalam diri seorang Park Chanyeol. Dan kenyataan yang satu ini sedikit menyenangkan. Ya… sedikit menyenangkan. Chanyeol hanya tersenyum, dia mengusap puncuk kepalaku pelan. Hingga airmata yang sedari tadi kutahan jatuh juga pada akhirnya.

Aku tahu, tak seharusnya aku menangis dan terlihat lemah di depan suami orang lain. Hanya saja, aku … tidak tahan lagi menahan rasa sesak yang begitu menyakitkan di dalam hatiku. Aku tak bisa menahan emosiku.

Seandainya aku bisa kembali ke bulan desember tujuh tahun yang lalu..

Park Chanyeol, bagiku kau kenangan yang begitu berharga dalam hidupku. Tidak begitu banyak kenangan manis yang kita buat,tetapi semua kenangan kita itu bagiku adalah sebuah mimpi yang sangat menyenangkan. Rasanya,aku tidak ingin terbangun dari mimpi itu dan melihat kenyataan pahit ini.

Ya,aku menjadi gadis paling bodoh. Lebih bodoh dari seorang pria bodoh sepertimu, Park Chanyeol. Keegoisanku telah menghancurkan mimpi yang menyenangkan itu. Entahlah.. Aku tidak tahu bagaimana kehidupanku nanti tanpa mempercayai sebuah takdir. Takdir bagiku sangat menyakitkan dan terus mempermainkanku.



-END-